Sejak reformasi, kasus rumah ibadah, konflik Ahmadiyah, dan terorisme merupakan tiga isu konflik keagamaan paling mendominasi di Tanah Air.

Sudah banyak upaya yang dilakukan, tetapi berbagai upaya itu tampaknya belum cukup efektif. Konflik rumah ibadah, Ahmadiyah, dan terorisme masih terus saja terjadi, seakan menjadi determinan konflik yang akan terus terjadi di masa depan.

Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia pernah melaporkan terjadinya ratusan kasus penutupan, perusakan, dan penyerangan gereja di banyak daerah. Di beberapa wilayah di Indonesia timur, gangguan terhadap pembangunan masjid juga banyak terjadi. Konflik Ahmadiyah juga hampir setiap tahun terus terjadi di banyak daerah dengan skala berbeda. Sementara aksi-aksi terorisme tampaknya masih terus menjadi ancaman serius.

Banyak analisis yang menyimpulkan, konflik keagamaan itu didasari adanya sikap intoleran dan radikalisme yang tumbuh di sebagian masyarakat. Banyak pihak kemudian mengamini, bahwa moderasi keagamaan menjadi solusi. Namun, meski sudah banyak program diujicobakan, persoalan seakan tidak jadi hilang. Simplikasi dalam menyikapi persoalan tersebut tampaknya menjadi persoalan tersendiri.

David Hume, tokoh empirisme, pernah mengingatkan, hubungan sebab-akibat tidak bisa ditetapkan secara simplistik; ketika bola biliar hitam menggelinding karena terkena bola putih, tidak bisa disimpulkan bahwa menggelindingnya bola hitam hanya karena hantaman bola putih. Sama halnya ketika setiap pagi peternak membuka pintu belakang rumahnya untuk memberi makan ayam, tidak bisa kemudian disimpulkan bahwa terbukanya pintu dan kedatangan si peternak adalah penyebab datangnya makanan yang dirindukan ayam. Bisa saja, suatu saat, terbukanya pintu dan keluarnya si peternak justru menyebabkan ayam-ayam mati tersembelih.

Narasi bias persepsi

Pertanyaan penting untuk dijawab: mengapa berkembang sikap intoleran dan radikalisme pada sebagian masyarakat? Studi oleh Ichsan Malik (2017) terhadap aksi-aksi terorisme menemukan, selain ideologi jihad, ada narasi bias persepsi, stereotip, dan stigmatisasi yang hidup dalam masyarakat.

Narasi tersebut diwariskan secara turun-temurun. Bangsa Irlandia yang Katolik, sebagian meyakini mereka pernah diperlakukan tak manusiawi oleh Inggris yang Protestan. Sebagian bangsa Serbia punya memori kolektif penyerangan Muslim atas mereka di bawah Ottoman-Turki. Masyarakat Muslim dan Kristen umumnya memelihara memori Perang Salib menurut versi masing-masing. Narasi-narasi itu diwariskan dan didaur ulang hingga melahirkan kebencian dan menunggu waktu untuk balas dendam.

Dalam kasus terorisme, radikalisme bisa subur dalam individu yang tumbuh dalam lingkungan yang mengembangkan narasi bias persepsi. Distorsi sejarah mudah muncul karena alasan untuk mendorong spirit keagamaan. Sejarah semua bangsa selalu dibumbui kisah-kisah heroik para pendahulunya.

Hal yang paling berbahaya adalah pemalsuan sejarah. Dalam bentuknya yang ekstrem akan memunculkan demagogi, yaitu kebencian yang sangat berlebihan terhadap orang asing (beda kebangsaan atau agama). Ketika kebencian itu dibungkus baju agama, pembunuhan sadis sekalipun bisa dianggap sebagai upaya jihad yang suci.

Bersandar pada data

Konflik juga bisa lahir karena ketiadaan data yang menyebabkan kurang informasi, perbedaan interpretasi, dan salah komunikasi. Dalam kasus rumah ibadah, interpretasi yang muncul: kehadiran gereja baru identik kristenisasi, sementara masjid identik dengan islamisasi.

Dari hasil kajian Balitbang Kementerian Agama terhadap kasus pendirian rumah ibadah, tak pernah ditemukan unsur pemurtadan—baik kristenisasi maupun islamisasi—seperti disangkakan. Kalaupun ada kasus konversi, dipastikan bersifat individual dan kasuistik, tidak dilakukan secara sitemik, terstruktur, dan masif. Data BPS pada 1970-2010 bisa dijadikan rujukan: tak ada angka yang menunjukkan fluktuasi jumlah setiap pemeluk agama. Adanya isu konversi agama Islam ke agama lain dalam hitungan jutaan per tahun seperti beredar di media sosial adalah contoh hoaks yang bisa diluruskan dengan data yang ada.

Demikian halnya dalam kasus Ahmadiyah. Perbedaan interpretasi yang menjadi sumber konflik muncul karena ketiadaan data.

Kasus terakhir konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng, Lombok Timur, terjadi perusakan dan pengusiran warga Ahmadiyah di sana pada 19 Mei 2018. Aksi oleh sekelompok massa ini karena menduga warga Ahmadiyah melanggar diktum dalam SKB, yaitu adanya penyebaran paham Ahmadiyah dengan bukti bertambahnya jumlah pengikut yang tadinya hanya empat orang, kini menjadi delapan keluarga. Hal itu dibantah oleh mubalig Ahmadiyah, Soleh Ahmadi, yang menyatakan jemaah di Gereneng itu bukan jemaah baru, tetapi beberapa jemaah yang dulu pasca- pengusiran pada 2002 pasif, kini aktif kembali. Dugaan adanya penyebaran paham dan penyangkalannya sulit dibuktikan karena ketiadaan data yang valid.

Untuk menjawab penyelesaian kasus konflik keagamaan selama ini, hal yang penting adalah pelibatan lembaga keagamaan. Kasus penanganan konflik di Afrika Selatan bisa jadi inspirasi. Rekonsiliasi yang digagas Nelson Mandela dilakukan dengan melibatkan lembaga keagamaan yang terorganisasi dengan baik dan memiliki sistem kepemimpinan yang jelas dan terstruktur, yaitu Katolik. Lembaga keagamaan ini untuk sementara dapat meredam keinginan balas dendam. Selain itu, secara tidak langsung bisa menarik partisipasi masyarakat lainnya untuk aktif melakukan rekonsiliasi.

Dalam konteks Indonesia, ada kesan pemerintah kurang melibatkan lembaga keagamaan dalam penyelesaian konflik. Padahal, lembaga seperti NU dan Muhammadiyah penting dilibatkan untuk menjadi agen penyelesaian konflik secara kultural (di luar peradilan). Secara kultur, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mematuhi para guru agama mereka. Melalui peran lembaga keagamaan dan para tokoh agama, bisa diagendakan upaya mengikis narasi bias persepsi, pelurusan hoaks dan rumor yang selama ini jadi "pupuk" intoleransi dan radikalisme.

Uraian di atas kiranya dapat menjadi refleksi bersama, kadang ada faktor lain yang sering luput dari perhitungan sebab-akibat dalam kajian kasus konflik keagamaan selama ini. Dengan tidak menafikan temuan berbagai kajian yang selama ini ada, penelusuran akar persoalan melalui kajian empiris yang saksama dan terus diperbarui sangat penting dilakukan agar bisa ditemukan "obat mujarab" bagi penanganan konflik keagamaan dan tak mengulang kegagalan serupa.