KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)

Enny Sri Hartati

Sepanjang Januari-Mei 2018, satu-satunya surplus neraca perdagangan hanya terjadi pada Maret, sedangkan pada Mei 2018 kembali defisit 1,52 miliar dollar AS. Padahal, ekspor bulan Mei mencapai rekor 16,12 miliar dollar AS atau tumbuh 12,47 persen dalam setahun. Namun, impor menembus 17,65 miliar dollar AS atau naik 28,12 persen dalam setahun.

Logikanya, di tengah tekanan depresiasi rupiah, hal ini semestinya dengan sendirinya akan menekan laju impor secara alamiah. Kenyataannya justru sebaliknya, tekanan terhadap depresiasi rupiah justru dipicu laju impor yang tidak terbendung. Semua jenis impor naik fantastis pada bulan Mei 2018.

Impor migas mencapai 2,82 miliar dollar AS atau naik 57,17 persen dalam setahun dan impor nonmigas 14,83 miliar dollar AS atau naik 23,77 secara tahunan. Anomali tersebut terjadi karena struktur impor Indonesia tergolong kebutuhan pokok.

Kenaikan impor migas ataupun nonmigas tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari upaya stabilitas harga untuk memenuhi kebutuhan pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Lonjakan impor migas merupakan konsekuensi dari ketergantungan pemenuhan energi yang masih didominasi bahan bakar minyak (BBM).

Celakanya, Indonesia merupakan negara pengimpor bersih BBM. Pertamina tentu harus menaikkan cadangan dan menjamin ketersediaan cukup di semua stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Dampaknya, pada Mei 2018, impor minyak mentah naik 20,92 persen secara tahunan, minyak olahan naik 17 persen secara tahunan, dan impor gas naik 6,62 persen dalam setahun.

Sementara itu, dari sisi penggunaan, dominasi impor masih berupa bahan baku dan bahan penolong. Namun, rekor kecepatan pertumbuhan impor terjadi pada barang konsumsi. Selama empat tahun terakhir, rata-rata impor barang konsumsi meningkat 8,6 persen per tahun, sedangkan bahan baku penolong hanya 1,3 persen per tahun. Demikian juga untuk bulan Mei 2018, impor barang konsumsi naik 34 persen, bahan baku naik 24,55 persen, dan barang modal naik 43,40 persen, semua secara tahunan.

Sering kali banyak yang terkecoh dan menganggap kenaikan impor merupakan kabar baik untuk aktivitas perekonomian. Apalagi jika yang naik adalah impor bahan baku dan barang modal. Tentu harus ada telaah yang lebih detail dari klasifikasi jenis barang dan pemanfaatannya. Selama Januari-Mei 2018, nyatanya nilai impor terbesar diduduki mesin dan mekanik yang tumbuh 31,97 persen, mesin dan peralatan listrik naik 28,16 persen, besi baja naik 39 persen, kendaraan naik 29,11 persen, serta serealia naik 29,4 persen dalam setahun.

Dari lima besar produk impor tersebut, dengan mudah dapat diperoleh jawaban. Impor bahan baku dan bahan modal meningkat, tetapi pada saat yang sama justru terjadi deindustrialisasi. Peningkatan impor barang modal yang cukup masif tidak sepenuhnya masuk ke sektor industri, tetapi untuk memenuhi percepatan proyek-proyek infrastruktur. Padahal, jika proyek infrastruktur disiapkan dengan perencanaan dan peta jalan yang matang, tentu hal itu akan memacu industrialisasi.

Setidaknya, dengan berbagai insentif, dapat menarik investasi pada industri yang mendukung infrastruktur di dalam negeri. Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tingkat kandungan dalam negeri proyek infrastruktur berkisar 60-70 persen. Dengan demikian, cadangan devisa dapat dihemat serta ada akselerasi pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja.

Tantangan

Kondisi tekanan neraca perdagangan itu semakin menghadapi tantangan dengan potensi perang dagang Amerika Serikat-China. Indonesia tentu akan menerima getahnya karena sebagai negara pemasok bahan baku ke AS ataupun China. Di samping itu, China tentu akan mencari pelampung untuk produk-produk ekspornya. Apalagi, China dengan sengaja mendevaluasi mata uangnya.

Tentu itu merupakan salah satu strategi untuk menjaga agar produk ekspornya tetap memenangi kompetisi pasar. Indonesia harus benar-benar mengantisipasi penetrasi impor China. Sebab, selama Januari-Mei 2018, porsi impor China telah mencapai 18,36 miliar dollar AS atau 27,87 persen dari total impor, melampaui total impor dari ASEAN yang hanya 20,41 persen dari total impor.

Tekanan terhadap neraca perdagangan Indonesia memang cukup kompleks. Namun, di balik musibah selalu terbuka banyak pintu berkah. Kuncinya, memanfaatkan depresiasi nilai tukar sebagai momentum untuk menyehatkan neraca perdagangan. Lebih serius lagi, untuk melakukan transformasi struktural. Tidak hanya mendorong industri substitusi impor, tetapi juga menggalakkan hilirisasi industri agar tidak terus bergantung pada ekspor komoditas.

Target utama adalah masuknya investasi langsung di sektor riil, bukan sekadar aliran modal masuk portofolio. Yang juga penting, memastikan implementasi serta konsistensi kebijakan dan insentif keuntungan investasi yang konkret diterima investor.