KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A. Prasetyantoko

 

Bagaikan pesawat, perekonomian kita tengah menghadapi turbulensi dan tekanan berat angin depan (headwinds). Akibatnya, perjalanan terasa mendebarkan dan sulit terakselerasi. Itulah situasi yang kita hadapi dengan gejolak nilai tukar yang sempat menyentuh Rp 14.400-an per dollar AS dan pertumbuhan yang sulit didorong lebih tinggi dari 5,1 persen.

Terhadap gejolak yang meningkat ini, tak banyak pilihan kebijakan yang tersedia. Sesuai dengan prediksi, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga referensi (BI-7 Day Reverse Repo Rate) sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen atau kenaikan ketiga dalam enam minggu. Soal kenaikannya, tak banyak yang mempersoalkan. Soal besarannya, berbagai pihak tak menduga BI akan seprogresif itu. Ada yang beranggapan BI agak berlebihan. Benarkah demikian?

Sebenarnya, sikap Gubernur BI Perry Warjiyo sudah sangat jelas sejak pelantikan. Ia selalu menegaskan di berbagai kesempatan, dirinya ingin menjalankan kebijakan moneter secara preemptivefront loading, dan ahead the curve. Artinya, kebijakan yang oleh sebagian kalangan dianggap berlebihan itu memang by design, bukan panik. Pertanyaannya, seberapa besar sebenarnya urgensi "kebijakan moneter progresif" ini?

Beberapa hari menjelang pengumuman suku bunga acuan BI, nilai tukar terus melemah. Selain mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, pasar juga bereaksi terhadap kebijakan relaksasi moneter Bank Sentral China yang mengalami tekanan pasar keuangan sekaligus tekanan perdagangan. Studi dari lembaga pemikir terkemuka, National Institution for Finance & Development (NIFD), di China yang bocor ke publik menyimpulkan negara ini berpotensi menghadapi financial panic (Bloomberg, 27/6/2018).

Potensi perang dagang yang diikuti perang nilai tukar antara China dan AS, kenaikan harga minyak, serta ketidakpastian global telah membuat pasar keuangan di negara berkembang begitu sensitif. Bagi negara yang ketergantungannya pada likuiditas asing tinggi, maka gejolaknya lebih tinggi.

Persoalan fundamental

Sejak awal tahun, rupiah terdepresiasi sekitar 5 persen. Ada banyak negara yang mengalami depresiasi lebih dalam, seperti India (7 persen), Turki (17 persen), dan Argentina (33 persen). Namun, beberapa negara tetangga tak mengalami gejolak seburuk kita. Mata uang Thailand terdepresiasi kurang dari 2 persen, sementara ringgit Malaysia menguat 0,1 persen sejak awal tahun.

Menghadapi situasi global yang sama, mengapa Thailand dan Malaysia tak mengalami gejolak seperti kita? Secara umum bisa disimpulkan, negara dengan defisit neraca transaksi berjalan lebih besar akan mengalami fluktuasi nilai tukar lebih tajam. Pada triwulan I-2018, defisit neraca transaksi berjalan kita setara dengan 2,2 persen produk domestik bruto (PDB) dan Argentina defisit 5,3 persen PDB. Thailand mengalami surplus 10,2 persen PDB dan Malaysia dengan surplus 3,2 persen PDB pada periode yang sama (The Economist, edisi 2/6/2018).

Neraca transaksi berjalan merangkum seluruh kewajiban luar negeri sebuah negara mulai dari beban impor, membayar jasa asing, pembayaran utang dan bunga, hingga dividen yang ditransfer ke negara asal. Defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan tingkat ketergantungan kita pada modal asing. Dengan tingkat ketergantungan pada modal asing yang tinggi, setiap gejolak global menimbulkan risiko pelarian modal keluar. Dalam suasana seperti ini, keputusan menaikkan suku bunga acuan 0,5 persen tampaknya bisa diterima.

Dampaknya bisa segara terlihat, rupiah menguat 0,6 persen terhadap dollar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,5 persen begitu keputusan kenaikan suku bunga diambil (Bloomberg, 29/6/2018). Apakah kebijakan ini cukup? Pasti tidak. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan sangat prostabilitas dan punya risiko menghambat pertumbuhan. Salah satu cara untuk mengompensasi kenaikan suku bunga adalah melonggarkan aturan kredit pemilikan rumah (KPR) melalui revisi aturan rasio pinjaman terhadap aset (LTV) yang mulai berlaku 1 Agustus 2018. Harapannya, meski ada potensi kenaikan suku bunga kredit, pasar properti tetap menggeliat.

Stabilitas global

Terkait situasi global akhir-akhir ini, Nouriel Roubini, Guru Besar Ekonomi Stern Business School, New York University, pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Economics Crisis (2010), "…far from being exception, crisis are the norm, not only in emerging but in advanced economy." Jika pada periode 1980-an hingga 2000 situasi tergolong normal, hanya kadang-kadang saja terjadi gejolak, periode pasca-2008 hingga kini justru sebaliknya: kadang-kadang stabil, umumnya penuh gejolak (krisis).

Konteks inilah yang tampaknya perlu dipahami bahwa turbulensi perekonomian global akan menjadi konsisten setiap kali terjadi, hanya derajatnya yang berbeda. Untuk itu, tanpa perlu panik terhadap setiap perkembangan situasi yang penuh gejolak, kita wajib menyiapkan diri. Tatkala situasi penuh gejolak, mau tidak mau orientasi kebijakannya harus prostabilitas. Justru pertanyaannya, saat situasi mulai reda dan relatif tenang, apakah kita mengerjakan pekerjaan rumah kita?

Secara alamiah inovasi kebijakan lebih sering terjadi saat krisis. Saat tenang, semuanya kembali pada urusan biasanya. Di satu sisi, saat gejolak terjadi kita perlu pahami, kebijakan moneter memang harus ketat. Namun, bagaimana ketika situasi mereda? Pada saat itu, kebijakan yang progresif juga perlu diterapkan dalam mempersiapkan ketidakpastian.

Kewajiban BI, sebagaimana diatur dalam undang-undang, fokus pada stabilitas nilai tukar dan inflasi. Namun, ada banyak faktor struktural yang memengaruhi stabilitas nilai tukar dan inflasi yang berada dalam ruang lingkup BI. Untuk itu, saat situasi aman, kebijakan progresif perlu diambil dalam rangka menyiapkan diri menghadapi situasi penuh gejolak di masa depan yang tampaknya akan semakin intensif.

Perjalanan ke depan akan penuh turbulensi. Selain krisis akan menjadi normalitas baru, instabilitas juga ada dalam "diri kita" sendiri. Seperti kata Hyman Minsky (1986), pemikir nonkonvensional yang lama dilupakan, "Instability is a normal result of modern financial capitalism."