TOTO SIHONO

Kepemimpinan

Tidak jarang orang menabukan kata benci, bersikap intoleran terhadap kebencian, menaklayakkan tindakan membenci. Lantas manusia menganggap dengan berbuat seperti itu dirinya dapat menghindari benci dan mengatasi perbuatan membenci.

Di sisi lain, ada orang yang membiarkan kebencian terjadi karena menganggap betapa tiada satu pihak pun yang dapat mencegah, apalagi melarang, seseorang untuk memiliki perasaannya sendiri, termasuk apabila perasaan itu adalah benci. Perasaan yang berkembang dalam jiwa dianggap sebagai buah kewajaran hidup. Maka, rasa benci yang berlangsung dalam hati pun dianggap biasa saja.

Lawan benci adalah cinta. Uniknya, hidup manusia sejak dulu kala ditandai keberdampingan cinta sekaligus benci. Manusia merasa cinta pada seseorang sekaligus menyimpan bersit-bersit rasa benci kepadanya. Keberdampingan cinta-benci terjadi pada tingkat individual. Seseorang yang mencintai Joko Widodo (atau pemimpin lain) wajarnya juga memiliki corak-corak rasa tak suka padanya. Secara alamiah jarang perasaan manusia itu tunggal, misalnya, cinta saja, atau benci melulu. Yang biasa berlangsung adalah cinta sekaligus benci.

Keberdampingan benci dan cinta perlu dilihat sebagai bagian dari kenyataan hidup umat manusia. Ia tak terhindarkan. Beberapa dasawarsa sebelum Masehi (mungkin 84-54 SM), penyair Latin di Republik Romawi, Gaius Valerius Catullus, telah menyuarakan penderitaan batinnya yang dikurung benci sekaligus cinta. Odi et amo, "Saya membenci dan saya mencintai", menjadi judul puisinya.

Kata Catullus: Odi et amo; quare id faciam fortasse requiris; nescio, sed fieri sentio et excrusior. ("Aku membenci dan aku mencintai; mengapa aku melakukannya, itulah yang dipertanyakan; saya tidak tahu, tetapi saya merasakannya dan tersiksa olehnya").

Dalam psikoanalisis, hubungan mendua cinta sekaligus benci (love-hate relationship) dibahas setidaknya oleh Sigmund Freud, Melanie Klein, Ian Suttie dan Edith Jacobson. Bahasan Freud bertitik berat pada konflik dua drive atau kendara yang berlawanan, yaitu libido (yang merupakan sumber cinta) dan agresi (yang berpaut dengan kebencian).  Uraian Klein berpusar pada pemisahan (splitting) antara "obyek yang berkenan di hati" (sebagai asal mula cinta) dan "obyek yang mengecewakan" (yang adalah sumber rasa benci). Penjelasan Suttie tentang ambivalensi cinta-benci menggarisbawahi pengalaman relasional (yang memuaskan atau yang menyakiti) sebagai sumbernya. Pendapat Jacobson tentang relasi cinta-benci juga bertitik berat pada pengalaman relasional, terutama dalam kehidupan dini.

Integrasikan cinta-benci

Keempat teoretis-praktisi itu menggarisbawahi pengalaman hubungan insan belia dengan pengasuh utamanya di masa kehidupan awal sebagai "tanah tempat tumbuh" bagi ambivalensi cinta-benci di satu sisi, atau integrasi pengalaman realistis kaya nuansa, di sisi lain. Dan, pemaduan keempat pandangan yang berbeda itu pun dapat terjadi di tengah perenungan berbalut pengalaman klinis, bermuara pada amaring (understanding)bahwa realitas kemanusiaan ditandai pengalaman memuaskan sekaligus pengalaman mengecewakan (bandingkan dengan libido dan aggression, Freud; good object dan bad object, Klein;  fulfilling relationship dan frustrating relationship, Suttie, Jacobson).

Perkara yang penting pada perspektif ini adalah bagaimana manusia dapat menerima sesamanya sebagai pribadi yang layak diapresiasi karena kebaikannya sekaligus menerimanya pula sebagai pribadi yang mengandung keburukan yang patut dikritik demi perbaikan. Masalah psikis dapat beranak pinak dari penghayatan liyan sebagai "yang memuaskan saja", atau "yang mengecewakan melulu". Sementara tumbuh kembang psikis yang baik dapat terjadi dari penghayatan dan penerimaan atas liyan sebagai "yang dapat sekali waktu memuaskan, kadang kala mengecewakan pula".

Salah satu tugas penting setiap pribadi dalam perkembangan menuju kedewasaan adalah mengintegrasikan cinta dan benci sehingga ia dapat menghayati dan menerima setiap orang lain sebagai "insan yang memuaskannya, tetapi sekali waktu mengecewakannya". Integrasi tersebut membebaskannya dari splitting (pemilahan tidak realistik) atas liyan sebagai "yang sepenuhnya baik (dengan demikian dicintai mati-matian)" atau "yang seluruhnya buruk" (karena itu habis-habisan dibenci).

Integrasi inilah sesungguhnya yang jadi sumber toleransi dan sikap adil terhadap liyan di tengah pergaulan antarmanusia. Orang yang berhasil mengatasi ambivalensi cinta dan benci akan dapat menghargai pemimpin karena kebaikan dan prestasi tinggi yang diwujudkannya, walau ia secara tegas tidak menyukai keburukan, kelemahan, dan kekurangannya.

Karena itu, apa yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia hari kini, terutama di seputar kurun waktu pilkada dan pilpres, calon pemimpin berupaya mengalahkan calon lain yang jadi pesaingnya menuju tampuk kekuasaan dengan mengajak masyarakat untuk membencinya habis-habisan. Politik dijadikan ajang penumbuhkembangan pribadi kerdil yang dipaksa men-split cinta dan benci, menjadi cinta seluruhnya kepada seorang calon pemimpin dan benci habis-habisan terhadap calon pemimpin yang lain.

Proses politis seperti itu merusak pribadi. Semestinya setiap calon pemimpin meneladankan kepemilikan pribadi dewasa yang ditandai sikap santai, tetapi adil dalam menghadapi setiap calon pemimpin pesaingnya: Ada rasa cinta kepadanya, karena kebaikan, integritas dan prestasi kerjanya yang tinggi, kendati pula ada rasa tidak suka terhadap kelemahan dan kekurangannya, rasa benci atau tak suka itu dijadikan sumber kekuatan untuk mendorong upaya mengoreksi kelemahan dan kekurangannya, bukan untuk menghabisinya.