KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menyortir telur ayam di salah satu agen di Jembatan Lima, Jakarta, Rabu (11/8/2018). Dalam sepekan terakhir harga jual eceran telur di sejumlah pasar masih tinggi, mencapai Rp 28.000 per kilogram.

Hari raya Idul Fitri 1439 Hijriah atau Lebaran 2018 telah berlalu. Lazimnya, harga bahan kebutuhan pokok turun, seiring berkurangnya permintaan. Namun, tidak demikian dengan telur ayam ras, satu dari delapan komoditas pangan yang harganya diatur Peraturan Menteri Perdagangan 58 Tahun 2018.

Regulasi itu menetapkan harga acuan pembelian telur ayam ras di tingkat peternak Rp 17.000-19.000 per kilogram (kg) dan penjualan di tingkat konsumen Rp 22.000 per kg. Akan tetapi, seperti regulasi serupa sebelumnya, harga acuan seringkali diabaikan pasar. Sebab pasar hanya tunduk pada "hukum besi" penawaran dan permintaan.

Berbeda dengan situasi dua tahun sebelumnya, harga telur ayam ras tahun ini justru naik setelah Lebaran. Harga rata-rata telur ayam ras di pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta naik dari Rp 23.919 per kg pada 14 Juni 2018 (sehari jelang Lebaran) menjadi Rp 27.860 per kg pada 12 Juli 2018. Kenaikannya mencapai 16,4 persen dan tercatat sebagai yang tertinggi sejak 1 Januari 2018.

Situasi serupa terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga telur ayam ras naik dari Rp 24.800 per kg pada 13 Juni 2018 jadi Rp 27.000 per kg pada 12 Juli 2018. Naik 8,8 persen. Kenaikan juga terjadi di sentra produksi seperti di Jawa Timur dengan kenaikan 21,8 persen selama kurun itu, Jawa Tengah 19,7 persen, dan Jawa Barat 19,4 persen.

Tahun 2017 atau tahun 2016 beda. Harga telur ayam ras tercatat turun setelah Lebaran. Beberapa pekan setelah Lebaran 2017, harga telur ayam ras di tingkat peternak anjlok hingga Rp 16.000 per kg, lebih rendah dari ongkos produksinya yang diperkirakan Rp 18.000 per kg.

Demikian pula dengan situasi tahun 2016. Setelah naik 5,86 persen pada Juni 2016, sekaligus jadi salah satu komoditas utama penyumbang inflasi bulan itu, harga telur ayam berangsur turun. Peternak pun "berteriak" meminta pemerintah menjaga harga agar stabil di atas ongkos produksi demi menjaga kelangsungan industri perunggasan dalam negeri. Harapannya, harga telur berkisar Rp 16.975-19.400 per kg, atau 3,5-4 kali harga pakan ayam petelur ketika itu.

Selain anomali, situasi saat ini juga penuh kontradiksi. Prognosa Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Kementerian Pertanian, produksi telur ayam tahun ini diperkirakan 2,96 juta ton, sementara kebutuhannya 2,76 juta ton. Artinya, ada kelebihan sekitar 202.000 ton.

Data yang dipublikasi menjelang Lebaran 2018, ketersediaan telur ayam disebut mencapai 521.335 ton selama Mei-Juni 2018, sementara kebutuhannya hanya 485.831 ton atau surplus 35.504 ton. Stok diklaim aman sehingga harga disebut "tak perlu naik". Nyatanya, harga telur ayam justru naik.

Apa yang memicu kenaikan itu? Kalangan peternak  pada rembuk nasional di Jakarta, Jumat (6/7/2018) menyebutkan, ada penurunan produktivitas, antara lain dipicu oleh penyakit. Selain itu, ada banyak kasus kematian ketika ayam belum mencapai masa produksi.

Pelemahan nilai tukar rupiah juga dianggap berpengaruh. Situasi itu membuat harga pakan naik. Sebab sekitar 35 persen bahan baku pakan masih diimpor. Selain pelemahan rupiah, harga bahan baku impor juga naik pada saat bersamaan. Di sisi lain, sejumlah pelaku industri pakan  menyebut bahan baku jagung  sulit ditemui di lapangan. Padahal, porsi jagung mencapai 50 persen pada komposisi pakan ayam petelur dan pemerintah menghentikan impor karena produksi diklaim surplus.

Penurunan produktivitas juga dikaitkan dengan larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan mulai tahun 2018. Selain meninggalkan residu berbahaya bagi kesehatan manusia, pemakaian antibiotik meningkatkan kekebalan kuman terhadap antimikroba sehingga kontraproduktif bagi ketahanan pangan di masa depan.