/ AFP PHOTO / NICHOLAS KAMM

Presiden AS Donald Trump.

Pertemuan puncak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berlangsung panas. Presiden AS Donald Trump terus mengkritik anggota lain.

Trump memang selalu mengeluhkan minimnya porsi anggaran yang dialokasikan oleh para anggota NATO. Dari 29 anggota organisasi tersebut, saat ini hanya beberapa dari mereka yang telah mendanai pertahanan sebesar 2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka 2 persen itu merupakan target di antara anggota NATO untuk 10 tahun ke depan.

Menurut media nytimes.com edisi 26 Maret 2014, pada tahun 2013, Jerman yang sejahtera hanya membelanjakan 1,3 persen PDB untuk pertahanan, Perancis 1,9 persen, Turki dan Polandia 1,8 persen, sedangkan Italia 1,2 persen. Media theguardian.com edisi 21 Juni 2018 menulis, selain AS yang mengalokasikan 3,5 persen PDB untuk pertahanan, hanya Inggris, Estonia, dan Yunani yang telah menyisihkan minimal 2 persen PDB bagi urusan pertahanan. Karena itu, tidak mengherankan, NATO memperkirakan, hanya 15 dari 29 anggota organisasi itu yang akan memenuhi target 2 persen pada tahun 2024.

Situasi ini tidak disukai oleh AS dan selalu dijadikan alasan oleh Trump untuk menyerang Kanselir Jerman Angela Merkel ataupun Presiden Perancis Emmanuel Macron. Selama berbulan-bulan, Trump yang memiliki gaya retorika tidak lazim itu mengkritik para anggota NATO yang tak memenuhi target pembiayaan pertahanan sebesar 2 persen dari PDB.

Kondisi panas di tubuh NATO terjadi saat Rusia disebutkan melancarkan perang hibrida, yakni serangan memanfaatkan kemampuan militer nontradisional, seperti serbuan siber, disinformasi, dan kampanye propaganda. Dengan kata lain, soliditas NATO sedang diuji justru ketika situasi tantangan di sekeliling mereka mengalami perubahan, yang tentu saja memerlukan respons cepat dan tepat dari organisasi pertahanan tersebut.

Dibentuk pada tahun 1949 dan menjadi organisasi strategis untuk membendung pengaruh serta ancaman Uni Soviet selama Perang Dingin, NATO sekarang berada di dunia yang berubah sangat cepat. Selain ancaman militer asing yang tetap ada dan sangat dirasakan oleh salah satu anggotanya, yakni Latvia, NATO sesungguhnya juga menghadapi ancaman yang tidak berwujud kekuatan bersenjata.

Gelombang nasionalisme anti-Eropa—berkembang pesat pasca-kedatangan gelombang besar migran Timur Tengah serta Afrika—menjadi ancaman nyata baru bagi tatanan Barat di benua tersebut. Kelompok-kelompok nasionalis yang berada di belakang kekuatan anti-Eropa itu dikabarkan memiliki relasi positif dengan Rusia.