Imajinasi (demi) Tuhan di balik motif para pelaku tindak kekerasan menyebabkan manusia sebagai subyek beragama beserta nilai-nilai kemanusiaan bukan saja tereduksi, melainkan juga tidak bermakna dalam beragama. Meski demikian, antroposentrisme beragama dalam konteks ini harus dibedakan dengan konsep antroposentrisme dalam konteks teologi lingkungan (konsep eko-teologi).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Umat lintas agama berkeliling ke dalam Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018). Berkumpulnya umat lintas agama di saat Hari Lahir Pancasila ini menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya kebersamaan lintas iman yang penting menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagaimana jamak diketahui, kerusakan lingkungan di mata banyak ilmuwan disebabkan oleh dominasi paradigma antroposentrisme dalam beragama (Gotlieb, 2006; Boddice, 2011). Lebih tepatnya, eksploitasi alam dan lingkungan sekitar berbanding lurus dengan pemuasan hasrat libidinal manusia atas dasar ukuran-ukuran hedonisme dan pragmatisme manusia.

Paradoks beragama

Tentu saja, berbagai tindak kekerasan yang berdimensi agama harus ditempatkan dalam perspektif nilai guna, manfaat, dan maslahat agama bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dimensi inilah yang sering kali absen dari imajinasi kaum teosentris (baca: para teroris) dalam beragama. Mereka hanya memaknai ibadah dan agama hanya dalam perspektif "memuaskan hasrat ketuhanan" sembari mengabaikan nilai kegunaan agama bagi manusia (antroposentrisme).

Dalam bahasa agama, konsep ibadah dimaknai sebagai upaya "membahagiakan" Tuhan dengan berbagai aktivitas ritual dalam pengertiannya yang sempit (ibadah vertikal/mahdlah). Sementara itu, berbuat baik kepada sesama manusia (ibadah horizontal/ghayru mahdlah) tak dimasukkan dalam kategori ibadah. Bagi para teroris, membuat Tuhan "bahagia" itu mutlak sekalipun harus dilakukan dengan cara yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan atau menumpahkan darah sesama manusia.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Sejumlah tokoh lintas agama membacakan Ikrar Damai Umat Beragama saat Peringatan ke-7 Tahun Wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Haul Gus Dur ) di kediaman Almarhum Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, Jumat (23/12/2016). Ikrar disampaikan untuk mengingat pesan kedamaian dan perayaan atas keberagaman yang kerap disampaikan Gus Dur semasa hidup.

Oleh karena itu, kaum teroris menyebut bom bunuh diri sebagai amaliyah istisyhadiyah yang bernilai ibadah (mahdlah). Penyebutan bom bunuh diri hanya berlaku bagi kaum antroposentris. Dalam konstruksi mereka, bom bunuh diri dilakukan untuk membela atau menolong Tuhan dari rongrongan para musuh-Nya, yakni manusia yang berbeda keyakinan. Dalam imajinasinya, Tuhan bisa saja "kalah" menghadapi para musuh-Nya, terutama jika tidak ada kaum Muslim yang berusaha membantu atau menolong-Nya.

Sekilas tindak kekerasan para teroris terkesan sejalan dengan perintah agama dan Tuhan. Namun, konsep ketuhanan yang dimiliki para teroris tentu saja penuh paradoks. Pertama, bukankah Tuhan menciptakan agama untuk menata kehidupan manusia agar lebih tertib, damai, dan sejahtera (yang dalam terminologi Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin)?

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Peserta dari berbagai organisasi, pegawai pemerintah, aparat keamanan hingga pelajar mengikuti Apel Kebhinekaan Cinta Damai di Jalan Pemuda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (18/11/2016). Acara tersebut diadakan untuk mensosialisasikan gerakan cinta damai di tengah keberagaman masyarakat.

Dalam Islam, menghilangkan satu nyawa dianggap sama dengan menghilangkan seluruh umat manusia di bumi. Itu artinya, agama sangat mengapresiasi dan menjunjung tinggi sakralitas nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan (the sanctity of life).

Kedua, Tuhan ditempatkan sebagai pihak lemah dan, karena itu, harus ditolong atau dibela. Konsep ketuhanan yang demikian bertentangan dengan profil Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Mencukupi, dan Maha-maha yang lain. Dalam Islam, konsep ketuhanan kaum teosentris sangat bertolak belakang dengan profil Tuhan dalam al-asma al-husna(nama-nama Tuhan yang baik) yang berjumlah 99.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Bendera merah putih dikibarkan di tengah-tengah acara pembukaan Pekan Gawai Dayak XXXII di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (20/5/2017) sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI. Acara itu mengusung tema "Tingkatkan Toleransi dalam Keberagaman".

Ketiga, ibadah diceraikan dari dimensi manusia dan kemanusiaan. Konsep ibadah yang demikian sejalan dengan konsep pengabdian dalam pengertian persembahan (offerings) dan pengorbanan (sacrifice). Padahal, konsep ibadah yang bersifat antroposentris meniscayakan nilai kegunaan dan kebermanfaatan ibadah tersebut bagi para pelakunya. Manusia perlu beribadah bukan karena Tuhan membutuhkannya, melainkan karena dalam setiap jengkal ibadah terkandung nilai kegunaan, manfaat, dan maslahat bagi manusia.

Humanisme beragama

Dalam konteks ini, marilah kita kritisi model keberagamaan kaum teosentris dalam lanskap keberagamaan kita: adakah seluruh ritual kita terlepas sama sekali dari dimensi manusia dan kemanusiaan? Adakah ibadah salat, puasa, zakat, dan sedekah, misalnya, tidak memiliki relevansi dan signifikansi dengan nilai-nilai kemanusiaan? Adakah seluruh ibadah itu berimplikasi pada pembinasaan manusia? Refleksi semacam ini penting karena model keberagamaan kaum teosentris cenderung menihilkan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penutupan Sekolah Guru Kebhinekaan 2017 – Para guru mengikuti upacara Penutupan Sekolah Guru Kebhinekaan (SGK) 2017 di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (9/12/2017). SGK yang dimotori oleh Yayasan Cahaya Guru tersebut diharapkan bisa meningkatkan kaspasitas dan peran guru sebagai nilai-nilai keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Dalam Islam terdapat banyak konsep kunci yang mengandung implikasi pentingnya posisi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Konsep pertama adalah maslahat dan manfaat yang memiliki konotasi nilai guna setiap ajaran agama, termasuk ibadah mahdlah, bagi umat manusia. Berbagai bentuk pelarangan (misal minuman keras) bukan semata-mata karena Tuhan menghendaki pelarangan tersebut, melainkan ada mafsadat (nilai kerusakan) di dalamnya.

Begitu juga dengan pelarangan lain seperti makan bangkai, minum darah, dan seterusnya. Banyak kalangan umat Islam yang memahami pelarangan tersebut hanya dari perspektif teosentris; dilarang hanya karena Tuhan melarangnya. Padahal, pelarangan itu sangat dekat dengan konsep humanisme dalam beragama: penghormatan Tuhan atas aspek-aspek kemanusiaan yang ada di dalamnya. Tuhan melarang manusia makan bangkai karena Dia menghormatinya. Demikian pula dengan larangan minum darah (manusia) karena Tuhan menyakralkannya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Siswa sekolah dari TK hingga SMA Kebondalem serta warga Tionghoa mengikuti arak-arakan menyambut Imlek di Kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (4/2/2016). Imlek menjadi momentum mempererat persaudaraan di tengah keberagaman sebagai bangsa Indonesia.

Konsep kunci lainnya adalah al-dhaririyat al-khams (lima hal penting) dalam beragama sebagaimana dirumuskan Al-Shatibi (w 790H) dalam bukunya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari'ah; memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara properti. Para pakar hukum Islam juga sering menyebut kelima hal penting ini maqashid al-shari'ah atau aspek-aspek yang menjadi tujuan dalam penetapan hukum Islam: yakni manusia sebagai subyek dalam beragama.

Sayangnya, cara beragama kaum teosentris sering terceraikan dari aspek manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian integral dalam setiap ibadah yang mereka lakukan. Bagi mereka, ibadah adalah pengabdian, persembahan, atau pengorbanan manusia kepada Tuhan. Konsekuensinya, cara beragama seperti ini cenderung mengabaikan sakralitas nyawa dan kehidupan, dua aspek penting—selain manusia—yang membentuk tripod dalam beragama.

KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Wakil Presiden Keenam Republik Indonesia Try Sutrisno (tengah) berbincang dengan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo di sela kunjungan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) ke Gereja Katedral Jakarta, Minggu, (24/12/2017).

Oleh karena itu, bisa dipahami jika para pelaku tindak kekerasan dalam kasus-kasus radikalisme dan terorisme justru berasal dari kalangan yang sangat taat beribadah (secara mahdlah). Pembunuh sahabat Ali, Abdullah bin Muljam, konon adalah seorang Muslim yang sangat taat beribadah sekaligus penghafal Al Quran! Alhasil, teosentrisme beragama terjadi karena mereka mengimajinasikan kepentingan Tuhan vis-À-vis kepentingan manusia yang diandaikan tidak akan pernah bertemu.

Setelah Ramadhan berlalu, inilah hikmah terbesar di balik seluruh rangkaian ibadah yang disyariatkan Allah kepada umat Muslim: antroposentrisme beragama! Bahwa kepentingan manusia dan kepentingan Tuhan tidak boleh saling diceraikan, tetapi keduanya berada dalam sebuah tarikan napas yang sama.