KOMPAS/RIZA FATHONI

Suasana di kantor Samsat Polda Metro Jaya, Jakarta. Foto diambil, Senin (31/7/2017).

Sistem Layanan Samsat

Pada hari Kamis, 21 Juni 2018 (hari pertama kerja pasca-cuti Lebaran), saya sempatkan membayar pajak tahunan kendaraan bermotor sekaligus pergantian pelat nomor kendaraan setiap lima tahun sekali, di Samsat Rembang, Jawa Tengah. Namun, saya kecewa terhadap model pelayanan yang berlangsung di situ.

Pertama, sistem pembayaran di kasir dengan pemanggilan beberapa wajib pajak sekaligus, berdasarkan nomor antrean. Hal ini sangat berisiko terjadi human error seperti yang saya alami. Petugas kasir menanyakan kepada saya apakah saya sudah menyerahkan uang pembayaran, padahal uang sudah saya serahkan bersama dengan wajib pajak lain yang dipanggil secara bersamaan itu.

Jika petugas di Kantor Samsat Rembang tidak bisa menangani dengan baik pembayaran secara manual, sebaiknya pihak Samsat bekerja sama dengan bank atau pihak lain untuk mengelola pembayaran ini sehingga human error yang merugikan wajib pajak bisa diatasi.

Kedua, setelah pembayaran, pelat nomor kendaraan tidak bisa langsung diambil oleh wajib pajak. Dibutuhkan waktu tiga bulan setelah pembayaran, baru bisa mengambil pelat nomor tersebut.

Padahal, pemerintah mengharuskan para wajib pajak membayar pajak tepat waktu dan memberikan sanksi jika telat membayar pajak. Namun, di sisi lain, pemerintah—dalam hal ini Samsat dan Pemprov Jateng—ternyata tidak memenuhi hak wajib pajak dengan baik.

SupriyantoMagersari, Rembang

 

Siasat Manfaatkan Jalur Tol

"Tata Ulang Ekonomi Jalur Nontol di Jawa", demikian judul berita di Kompas (19/6/2018). Berita ini menginformasikan, 68%- 70% pengusaha restoran di kawasan pantura tutup, 20%-39% pendapatan warung kecil turun, juga 70% omzet SPBU.

Berikutnya berita "Ekonomi Jalur Nontol: Kreativitas Jadi Kunci agar Daerah Tak Mati" (Kompas, 20/6). Dua berita itu memberikan gambaran akibat jalur tol yang akan menyambung Jakarta-Surabaya.

Sebagai pelaku UMKM dan penikmat jalur tol Jawa, saya ingin berbagi perspektif agar UMKM di jalur pantura dapat menikmati kehadiran tol, tentunya dengan keikutsertaan pemda dan badan lainnya.

Saran saya adalah memperbanyak rest area atau area istirahat. Sekarang area istirahat tersedia setiap 20-25 kilometer sehingga daya tampung sangat terbatas, baik untuk pengemudi maupun untuk UMKM.

Jika titik area istirahat dibuat lebih pendek, misal setiap 10 km, pengemudi akan lebih tersebar, demikian juga ruang untuk UMKM dapat diperbanyak.

Alokasi terutama diprioritaskan pada UMKM yang tadinya beroperasi di sepanjang jalur nontol, tentu dengan subsidi sewa sebagai cara pemerataan kesempatan berusaha.

Bangun pula sentra UMKM di dekat jalur keluar tol. Pengemudi dalam perjalanan di jalur tol sering punya keinginan mampir di sepanjang jalur kenangan pantura. Namun, jika terlalu jauh dari jalur keluar, terasa membuang waktu.

Jika pada ujung jalur keluar dapat dibebaskan dari permukiman, lalu di situ dibangun sentra ritel oleh-oleh dan makanan khas daerah, pengemudi akan dengan senang hati melipir sebentar, menikmati wisata kuliner, dan membeli oleh-oleh khas, lalu sesudahnya memutar balik masuk kembali ke jalur tol untuk melanjutkan perjalanan.

Kawasan ini bisa dianggap semacam "rest area", tetapi di jalur keluar. Bagi yang berminat melanjutkan ke dalam kota, pilihan juga jadi terbuka.

Buat digitalisasi data sentra UMKM dan wisata di sekitar jalur tol. Banyak potensi wisata budaya, kuliner, dan alam, termasuk kalender kegiatan seni unik di daerah sepanjang jalur tol, agar terinformasi secara meluas. Pemda bisa mendorong start up lokal untuk membuat aplikasi yang bisa merangkum semua potensi daerah.

Data tersebut dapat diintegrasikan dengan aplikasi lain, seperti Google Maps atau Waze. Dengan demikian, di sepanjang jalur tol pengemudi mempunyai banyak pilihan untuk singgah dan membelanjakan uangnya.

Ted SamuelJalan Elang 2, Bintaro Jaya Sektor 9, Tangsel

K‎ompas, 4 Juli 2018