KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Arief Budiman (keempat kiri), Ketua Badan Pengawas Pemilu, Abhan (kedua kanan) bersama jajarannya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi 2 Dewan Perwakilan Rakyat di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018). Dalam rapat itu, KPU dan Bawaslu menyampaikan pagu indikatif RAPBN 2019.

Polemik seputar Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang terjadi dua bulan belakangan ini patut jadi perhatian. Setidaknya ini mencerminkan betapa masih semrawutnya sistem hukum kita.

Sebagai lembaga negara independen, KPU memang sangat butuh wadah bagi pengaturan teknis penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) adalah jawaban atas itu. Namun, mekanisme pembentukan PKPU mengharuskan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM sehingga dapat dibaca kemandirian KPU masih bergantung pada kemauan politik pemerintah.

Ditambah lagi tak adanya rentang waktu yang ditentukan UU kepada Menteri Hukum dan HAM untuk menandatangani suatu PKPU, seperti halnya dalam pembentukan UU di mana suatu UU yang telah disetujui DPR akan berlaku secara otomatis jika tidak ditandatangani presiden dalam rentang 30 hari.

Akibatnya, jika Kementerian Hukum dan HAM tidak punya kemauan politik untuk menandatangani suatu PKPU, PKPU itu akan terbengkalai, tak jelas arah rimbanya. Padahal, keberlangsungan tugas KPU sekaligus keberlangsungan pemilu bergantung pada keberadaan PKPU sebagai wadah KPU melaksanakan tugas-tugasnya.

Pokok masalah muncul atas perbedaan pendapat komisioner KPU dengan Menteri Hukum dan HAM. KPU menghendaki pembentukan PKPU yang substansinya melarang bekas narapidana korupsi mencalonkan diri jadi anggota legislatif pada Pemilu 2019. Wacana ini memang ditolak sebagian pihak, tetapi penolakan bukan terhadap substansi pelarangan bekas terpidana korupsi mencalonkan diri. Penolakan ialah terhadap wadah peraturan yang hanya diletakkan dalam PKPU, padahal mengandung norma yang sangat krusial, yang sejatinya diwadahi dalam peraturan setingkat UU.

Harus diakui bahwa wacana KPU ini juga mendapat banyak dukungan mengingat—menurut mereka—keinginan untuk melarang bekas narapidana jadi calon anggota legislatif sulit diwujudkan dalam wadah UU karena kemauan politik dari DPR sendiri yang rendah. Di sisi lain, Kementerian Hukum dan HAM berpandangan ketentuan yang diwacanakan oleh KPU bertentangan dengan UU dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Sistem hukum kita tidak menyediakan mekanisme penyelesaian atas masalah ini. Akibatnya terjadi kebuntuan. KPU belum dapat menjalankan tugasnya, padahal tahapan Pemilu 2019 harus dimulai beberapa bulan lagi.

Akhirnya, atas masukan dari beberapa ahli hukum, KPU berencana mengesahkan PKPU tersebut meski tanpa persetujuan Kementerian Hukum dan HAM. Adapun penyebarluasan peraturan dapat dilakukan dengan memanfaatkan laman KPU. KPU menilai kalau memang ada masyarakat yang menganggap PKPU itu bertentangan dengan UU ataupun Putusan MK, biarlah masyarakat yang mengajukan uji materi (judicial review).

Kalau jalan itu yang ditempuh, masalahnya di mana masyarakat dapat melakukan uji materi terhadap PKPU tersebut? Pasal 7 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memasukkan PKPU sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan sehingga tak jelas di mana PKPU tersebut dapat diuji. Dalam Pasal 8 memang diakui adanya peraturan yang dikeluarkan lembaga yang dibentuk dengan UU, tetapi sifatnya hanya pengakuan semata, tidak memberi isyarat pengujian terhadap peraturan itu.

Jalan terbaik yang mungkin dilakukan adalah komunikasi aktif antara KPU dan Kementerian Hukum dan HAM. Selama ini tampak jelas bagaimana jarak di antara kedua lembaga itu, yang berdampak pada keberlangsungan Pemilu 2019. Sebaiknya tidak lagi membahas argumentasi mana yang paling benar, tetapi tanya rakyat langsung mana yang dikehendaki. Sebab, hakikat sebuah peraturan adalah artikulasi dari kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.