Merambah dari satu linimasa ke linimasa lain. Menjalar, merayap dan menyergap dari satu dinding ("wall") ke dinding lain. Bergerombol tak ubahnya sehimpunan serigala lapar di grup WhatsApp, dan mereka yang berbeda bersiaplah dimangsa. Biasanya dua binatang itu dihidupkan dalam satu tarikan napas penuh makian. Melambangkan sebuah umpatan narasi kebencian.
Hubungan keduanya nyaris sudah berhadap-hadapan. Seolah tidak ada titik temu yang mampu menyatukan. Politik disikapi sebagai kalah dan menang, benar salah, setan dan Tuhan, poros Mekkah dan Beijing.
Media sosial menjadi medan paling nyaman untuk mempertontonkan ekspresi kebinatangan dan wilayah paling potensial menyalurkan otak primitif reptilian kita. Yang diperlukan bukan lagi kelengkapan data, kekokohan argumentasi, ketajaman dan kedalaman sudut pandang, akan tetapi kepandaian retorika dan selebihnya keterampilan merisak secara membabi-buta.
Kalau Anda mengidap penyakit jantung janganlah coba-coba singgah di belantara medsos tak bertuan, apalagi sambil melempar isu sensasional, dalam waktu singkat akan di-bully haters atau atau dipuji lovers. Menjadi santapan empuk laskar buzzer yang mungkin diciptakan Tuhan sengaja sebagai begundal penebar fitnah, hoaks dan kebohongan.
Kata Reza AA Wattimena (2017), pada dunia pasca-fakta, di rimba medsos orang tak lagi mencari kebenaran, politik bukan lagi dijangkarkan pada roh otentisitas dan kehendak mulia menciptakan kehidupan berbudi luhur, akan tetapi justru pada kehebohan, pada dusta dan citra, "Fakta dan data tidak lagi penting.
Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi. Berita di media sosial lebih berpengaruh ketimbang data dan fakta tentang kenyataan. Ini semua lalu menjadi pembenaran dan kedangkalan pikir."
Hari ini kita tak lagi sering mendengar tawuran siswa SMP atau SMA di jalanan, sesuatu yang—tentu saja—patut disyukuri bersama. Namun, sayangnya, ternyata semangatnya tak lenyap sama sekali. Justru jejaknya tampak di medsos, malah dirayakan dengan benderang oleh semua kelompok umur dengan dampaknya yang tidak kalah mengerikan.
Tawuran antar-siswa masih mudah didamaikan dan secara teritorial lokasinya terbatas. Akan tetapi tawuran jenis yang kedua bersifat masif, awet, dan melibatkan hampir seluruh warga. Yang dikerahkan bukan lagi parang, celurit, rantai dan golok, tetapi pelintiran kebencian.
Termasuk ayat dan mayat pun menjadi pentungan. Karena tidak ada perjumpaan fisik, maka umpatannya lebih nyaring, garang, di luar kendali dan tampak sangat berani.
Kalau dalam ilmu hadis (ulumul hadits) ada kategori sahih, hasan dan daif, maka nyaris percakapan di dunia maya itu kebanyakan masuk kriteria daif (lemah) dan atau bahkan maudhu' (palsu). Tipologi sahih menjadi barang langka dalam suasana perbincangan yang tergesa-gesa, gampang marah, fanatisme ugal-ugalan dan beban berat kepentingan yang tak henti dipikul.
Apalagi kabar berderajat tinggi, "mutawatir", kini semakin terpuruk. Karena kabar seperti ini mensyaratkan sikap amanah, tanggung jawab, perjumpaan dengan sumber berita, dan kelengkapan data. Padahal martabat "mutawatir"-lah yang akan menjadi jiwa peradaban, pencerah kemanusiaan dan sel darah merah ilmu pengetahuan.
Dalam spirit ke-'mutawatir'-an yang ditemukan adalah kesejatian, hubungan kemanusiaan yang saling memuliakan, keagamaan yang lapang, politik welas asih, ekonomi menyejahterakan dan kemajemukan yang membawa kemaslahatan.
Simbolik
Kalau pascareformasi sampai hari ini banyak anggota Dewan dan kepala daerah ditangkap tangan, termasuk gubernur di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariat Islam, kemungkinan besar karena diam-diam satwa itu telah berubah wujud menjadi manusia. Sifat tamak jadi tabiat dan korupsi diam-diam menjadi jati diri. Apalagi dalam dunia politik sering kali yang menjadi rujukan diksinya adalah satwa. Sebutlah semisal kutu loncat, buaya darat, muka badak, anjing menggonggong kafilah berlalu, tikus-tikus kantor, dan lain sebagainya.
Tanpa sadar sesungguhnya memori kolektif politikus telah mengasosiasikan dirinya dengan serba satwa. Maka, tidak heran kalau satwa satu per satu bermigrasi ke ruang publik. Dengan segala atribusi negatifnya, kata kecebong dinisbahkan kepada segenap pendukung pemerintah, dan kampret disematkan pada kelompok oposisi yang di matanya tak ada satu kebaikan pun yang telah ditorehkan penguasa.
Bagi saya ini bukan hal sepele, akan tetapi sejatinya sebuah alamat jalan kebudayaan yang buntu, semakin terjal, penanda hilangnya daulat nalar, punahnya daya argumentasi, dan lenyapnya demokrasi deliberatif lengkap dengan elemen diskursifnya.
Politik tak lagi diproyeksikan untuk mengurus persoalan harian, tetapi percakapan lima tahunan dan diringkus semata hanya pemenuhan demokrasi elektoral. Hal-hal substansial pun hilang. Akhirnya, orang kalah tak berbesar hati menerima kekalahan, dan para pemenang sering kali jemawa dengan kekuasaannya.
Tahun 2019 adalah puncak tahun politik. Akan ada hajat besar pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota legislatif. Tentu suhu politik akan semakin panas. Mesin partai sudah mulai dihidupkan, bahkan semenjak 27 Juni 2018 saat pilkada serentak dilangsungkan. Isu baik dari kalangan pemerintah atau kelompok oposisi mulai dimainkan. Siapa berpasangan siapa sedang diujicobakan, di lempar ke pasar sebelum pada 4-10 Agustus mendatang secara resmi didaftarkan.
Petahana tentu membangun sejumlah alasan tentang pentingnya kekuasaannya dilanjutkan dengan mengedepankan prestasi yang telah dilakukannya sehingga khalayak teryakinkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi benar-benar bekerja. Sementara pihak yang belum berkuasa mematahkan semua alasan itu, mereka akan bikin daftar kegagalan pemerintah.
Di titik ini semua berjalan lazim, apalagi kalau satu sama lain mengedepankan argumentasi berbasis data, program dan rasionalitas kokoh. Menjadi absurd dan berbahaya apabila yang dimainkan banalitas politisasi identitas, mengarak isu agama secara serampangan, menggoreng sentimentalisme etnik seperti yang terjadi saat pemilihan gubernur paling buruk DKI Jakarta yang sampai saat ini trauma psikologisnya masih terasa.
"Zoon politicon"
Mencermati teologi, tampaknya Tuhan juga senang membuat alegori meminjam dunia satwa. Dalam Al-Quran, misalnya, ada banyak sekali surat yang menating kata binatang entah itu sapi betina (Al-Baqarah), semut (An-Naml), dan gajah (Al-Fiil). Dalam ajaran Kristen malah domba-domba lengkap dengan penggembalanya dianggit sebagai metafora tautan-tautan religius epifani spiritual. Ernst Cassirer menyebutnya "animal symbolicum".
Misalkan manusia yang tak lagi memuliakan kehidupan, disebut tak ubahnya binatang, bahkan lebih sesat. Mungkin sudah nasib binatang menjadi simbol kejahatan, walaupun binatang tak pernah berbuat curang kepada manusia. Justru sebaliknya, kebaikan yang sering kali dipersembahkannya bahkan lewat cara yang paling tragis sekalipun, disembelih atas nama agama (kurban).
Benar ketika Aristoteles berujar bahwa manusia adalah hewan bermasyarakat (zoon politicon). Namun juga tak terlampau keliru kalau hari ini masyarakatnya hilang, yang tersisa sekawanan hewan. Sebuah paradoks yang tak pernah selesai: manusia berada dalam ketegangan etik dan kesadaran kehewanan seperti dalam Animal Liberation: A New Ethics for Our Treatment of Animals (Peter Singer). Inilah situasi miris yang dibilang Hannah Arendt sebagai "animalisasi manusia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar