Untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak era Reformasi, pemerintah tidak mengajukan anggaran perubahan—yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)—kepada DPR. Praktik APBN tanpa perubahan ini perlu diapresiasi dan dipertahankan.
Tidak adanya APBN Perubahan tidak saja memberikan sinyal positif bagi pasar (Kompas, 12/7/ 2018), tetapi juga menunjukkan semakin baiknya penyusunan rencana anggaran oleh pemerintah dan tertutupnya celah korupsi anggaran yang kerap terjadi pada siklus APBN Perubahan.
Penyusunan APBN selama ini mengalami dua kali pembahasan antara pemerintah dan DPR. Pemerintah yang telah mengajukan APBN pada tujuh bulan sebelum tahun anggaran berjalan biasanya kembali mengajukan APBN Perubahan pada bulan Juli sampai Agustus. Praktik yang terjadi, APBN sengaja didesain untuk dapat dilakukan perubahan.
Asumsi akan adanya APBN Perubahan sudah melekat di kalangan kementerian/lembaga maupun anggota DPR yang melakukan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebelum tahun anggaran berjalan. Kerap kali terdengar dalam pembahasan anggaran, kementerian/lembaga yang anggarannya dikurangi atau dipotong dijanjikan untuk diajukan kembali anggarannya pada APBN Perubahan.
Pengajuan APBN Perubahan tidak diharamkan menurut undang-undang (UU). Pemerintah diperkenankan mengajukan perubahan anggaran jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro yang tidak sesuai dengan perkembangan, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan perlu ada pergeseran anggaran antarunit organisasi, kegiatan, serta jenis belanja.
Berbeda dengan UU lain, RUU APBN maupun APBN Perubahan merupakan satu-satunya inisiatif UU yang berasal dari Presiden. Bahkan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD memberikan diskresi kepada pemerintah.
Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan. UU memberikan batasan perubahan jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal satu persen di bawah asumsi yang telah ditetapkan dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10 persen dari asumsi yang telah ditetapkan.
Defisit membengkak
Alih-alih melakukan penyesuaian anggaran, APBN Perubahan kerap berimplikasi pada buruknya tata kelola anggaran. Dari hasil penelusuran dokumen anggaran kurun waktu 2005 sampai 2014, adanya perubahan anggaran justru berakibat pada membengkaknya defisit anggaran. Pembengkakan defisit umumnya disebabkan oleh peningkatan alokasi belanja, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Tambahan anggaran pada APBN Perubahan dengan sisa waktu yang terbatas pada akhirnya menyebabkan rendahnya serapan realisasi anggaran, baik di pusat maupun daerah.
Berbeda dengan pembahasan RAPBN yang melalui dua kali tahapan pembahasan—pembicaraan pendahuluan dan pembahasan RAPBN—waktu pembahasan APBN Perubahan yang relatif singkat juga membuka ruang terjadinya penyimpangan anggaran. Dalam waktu satu bulan, RAPBN Perubahan yang diserahkan pemerintah sudah harus disahkan DPR.
Tidak mengherankan deretan kasus korupsi anggaran besar selalu terjadi pada saat perubahan anggaran. Sebut saja kasus korupsi KTP-el yang memperoleh tambahan alokasi pada APBN Perubahan, tambahan anggaran pengembangan wisma atlet, kasus korupsi pengadaan Al Quran dan dana penyesuaian infrastruktur, dan lain-lain.
Potensi korupsi pada pembahasan APBN Perubahan kerap menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK mencatat, sekurangnya terdapat 10 kasus korupsi yang terjadi pada saat APBN Perubahan. Kasus-kasus korupsi ini terjadi melalui bagi-bagi fee kepada anggota Dewan pada saat pembahasan anggaran untuk meloloskan tambahan anggaran pada APBN Perubahan yang diajukan untuk memuluskan proyek tertentu.
Anggaran tanpa perubahan mempersempit celah perburuan rente sebagai amunisi para elite politik memasuki tahun politik. Mereka akan berupaya memperjuangkan agar anggaran dapat melayani kepentingan politik masing-masing, meskipun untuk yang terakhir ini acap kali dikemukakan dengan bahasa atau kemasan teknokratik.
Sudah menjadi rahasia, meskipun dana aspirasi telah ditolak, dana ini telah berjalan secara diam-diam. Dana aspirasi yang kerap digunakan membangun patronase politik di daerah pemilihan diperoleh dari pengarahan dan tambahan anggaran kementerian/lembaga ke daerah pemilihan tertentu dan dana transfer daerah.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, pada tahun anggaran 2017 menemukan 20 persen tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik di 322 daerah tidak sesuai formula dan berdasarkan usulan DPR. Tidak diajukannya APBN Perubahan 2018 oleh pemerintah telah menghilangkan kesempatan anggota DPR memperoleh modal untuk Pemilu 2019.
Sementara, mengharapkan APBN 2019 kecil peluangnya. Pemilu legislatif akan diselenggarakan bulan April, sedangkan APBN 2019 akan belum banyak yang direalisasikan untuk dijadikan biaya politik.
Pemerintah percaya diri
Dengan tidak diajukannya APBN Perubahan 2018, ini menunjukkan kepercayaan diri pemerintah terhadap kondisi perekonomian Indonesia di tengah ancaman perang dagang global dan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat.
Meskipun dua asumsi ekonomi makro pada APBN 2018, yakni kurs rupiah dan harga minyak dunia per barrel, telah melampaui target, pemerintah masih berkeyakinan APBN masih realistis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tanpa harus melakukan perubahan.
Tidak adanya APBN Perubahan 2018 juga mengindikasikan penyusunan anggaran yang kredibel. Artinya, APBN 2018 yang disusun pemerintah telah mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang terjadi dan berbasis target pendapatan dan kemampuan belanja yang lebih realistis.
Langkah pemerintahan Jokowi untuk tidak melakukan perubahan anggaran didasarkan atas kinerja APBN 2018 yang cukup membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi pendapatan dan belanja, realisasi penerimaan pajak dan penyerapan anggaran mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2017.
Dari sisi defisit anggaran, diperkirakan hanya 2,12 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau berada di bawah target pada APBN 2018, yaitu 2,19 persen dari PDB. Pemerintah juga berhasil menjaga surplus keseimbangan primer meskipun terus meningkat. Artinya, penerimaan negara dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang mengalami surplus. Pemerintah tidak lagi berutang untuk membayar bunga utang. Penerimaan negara kini lebih besar dari yang dibelanjakan.
Rakyat perlu memperoleh informasi fiskal yang simetri sehingga dapat menilai apakah kebijakan fiskal sesuai dengan realitas. Prestasi APBN tanpa perubahan patut dipertahankan kembali untuk tahun-tahun anggaran mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar