Menarik juga laporan wartawan harian ini Senin (16/7/2018). Tim Kroasia yang mengusung slogan "Mala Zemlja, Veliki Snovi" (Negara Kecil, Impian Besar) tampil di final Piala Dunia 2018 dengan perjuangan berat. Tiga laga hidup mati sejak babak 16 besar dijalani hingga perpanjangan waktu, dua di antaranya dengan adu penalti. Terpancar daya juang tinggi, seperti hidup di medan perang. Ini mengingatkan orang pada kerasnya kehidupan rakyat Kroasia semasa Perang Kemerdekaan 1991-1995.

Namun, kehebatan para kesatria yang ditempa pengalaman ini belum kuasa merobohkan sepak bola yang dimainkan para seniman Perancis yang mengusung semboyan "Votre Force, Notre Passion, Allez Les Bleus" (Kekuatan Anda, Gairah Kami, Ayo Les Bleus) dan didukung pemain-pemain muda berbakat.

Lebih dari sekadar bakat, dalam Piala Dunia Rusia ini muncul pula inovasi dalam seni main bola. Misalnya tampak pada yang diperlihatkan oleh Kylian Mbappe dengan larinya yang amat kencang, bak sprinter, membuatnya sulit dikejar, dan seketika sudah di dekat gawang lawan. Ia sungguh pemain yang berbahaya.

Kita tentu juga bisa berpanjang kata mendiskusikan teknik, taktik, dan strategi, yang dipraktikkan tim-tim yang bertanding di arena Rusia. Apakah sepak bola indah seperti "joga bonito" Brasil masih ampuh untuk menghadapi sepak bola efektif, yang tidak semata menonjolkan keindahan, tetapi efektif dalam menghasilkan gol?

Lampu stadion di Rusia telah dimatikan, tetapi kenangan dari Rusia masih akan hidup di benak para pemain, warga 32 negara yang bertanding di sana, serta jutaan warga bangsa lain yang menikmati suguhan menghibur dari 14 Juni hingga 15 Juli lalu.

Sajian sepak bola di ajang Rusia kiranya juga baik menjadi bahan refleksi dan kajian di Tanah Air. Bisa juga kita munculkan pertanyaan, mengapa bangsa berpenduduk 260 juta ini belum kunjung berhasil mengumpulkan 22 warganya yang berkaki emas untuk tampil di gelanggang dunia?

Mungkin sebelum merujuk pada tim Eropa atau Amerika Latin, kita bisa menengok ke Jepang dan Korea Selatan. Apa yang dilakukan oleh dua bangsa Asia ini hingga bisa tampil di panggung sepak bola terakbar dunia? Apakah ada sistem pembinaan yang lebih profesional, ada kompetisi antarliga yang lebih bagus?

Mungkin ada yang berkomentar, mungkin Indonesia—yang untuk level regional masih acap kerepotan ketika harus melawan Thailand atau Malaysia—kurang berbakat dalam sepak bola. Mungkin bakatnya lebih ke bulu tangkis. Akan tetapi, ini pun bisa dibantah, lho, kok, tiba-tiba bisa muncul sosok Lalu M Zohri?

Kita mengangkat topik ini untuk menggugah semangat olahraga bangsa, yang sebulan lagi akan ikut berlaga dalam ajang Asian Games Ke-18 di Jakarta dan Palembang. Kita berharap pelajaran dari ajang Piala Dunia, atau kemunculan fenomena Zohri, dapat menjadi inspirasi.

Kita percaya melalui olahraga dapat ikut lahir insan bangsa yang berjiwa sportif, fair, dan cinta prestasi.

Kompas, 17 Juli 2018