Dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2018 terdapat 11 kabupaten/ kota yang hanya diikuti satu pasangan calon. Setidak-tidaknya terdapat empat faktor penyebab fenomena pasangan calon tunggal.

Pertama, parpol peserta pemilu gagal melaksanakan salah satu fungsi utamanya, yaitu mempersiapkan (perekrutan dan kaderisasi) calon pemimpin. Kedua, proses pencalonan yang diatur dalam UU Pilkada belum bersifat terbuka dan kompetitif. Proses penentuan pasangan calon tak melibatkan anggota dan pimpinan pusat partai lebih kuasa dalam menentukan paslon daripada pimpinan partai tingkat daerah.

Ketiga, di seluruh Indonesia komposisi keanggotaan DPRD berdasarkan partai cenderung terfragmentasi (kursi DPRD terbagi secara relatif merata kepada 9-12 partai, tak ada parpol yang memiliki kursi mayoritas di DPRD) sehingga jarang sekali satu partai mampu memenuhi ambang batas pencalonan. Untuk mencapai ambang batas pencalonan, suatu partai harus bekerja sama dengan beberapa partai lain. Partai lain bersedia bekerja sama mendukung suatu paslon jika paslon itu bersedia membayar "mahar" atau "uang perahu" yang jumlahnya konon mencapai Rp 1 miliar untuk satu kursi.

Keempat, agar menjadi paslon tunggal (sehingga keterpilihan sebagai kepala dan wakil kepala daerah menjadi lebih pasti), suatu paslon "membeli" semua partai lain agar tidak mengajukan paslon. UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) telah memuat dua ketentuan yang bertujuan mencegah paslon tunggal.

Pertama, ketentuan pidana dengan sanksi penjara dan denda, dan ketentuan administratif dengan sanksi pembatalan paslon dan larangan mengajukan calon pada pilkada berikutnya, untuk mencegah parpol peserta pemilu memberikan uang atau materi lain untuk mendapatkan dukungan atau menerima uang atau materi lainnya untuk memberikan dukungan pencalonan. Kedua, ketentuan pidana yang berisi larangan bagi paslon untuk mengundurkan diri sebagai calon dalam proses penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi, dalam UU Pilkada belum ada ketentuan yang mencegah kemunculan paslon tunggal dalam masa pencalonan.

Kedua ketentuan pidana dalam UU No 10/2010 juga dimuat dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Akan tetapi, dalam Pasal 229 Ayat (2) UU No 7/2017 terdapat dua ketentuan untuk mencegah paslon tunggal sejak tahapan pencalonan dalam pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres). KPU akan menolak pendaftaran paslon bila (a) seluruh parpol peserta pemilu mengajukan satu paslon, dan (b) bila gabungan parpol peserta pemilu mengajukan satu paslon yang menyebabkan partai lain tidak bisa mengajukan paslon. Sebagai ilustrasi untuk konteks politik sekarang, KPU akan menolak pendaftaran paslon yang diajukan oleh sembilan parpol karena parpol yang lain tidak akan mampu memenuhi ambang batas pencalonan.

Siapa yang dirugikan jika dalam pemilu/pilkada hanya ada satu paslon? Setidaknya ada dua pihak yang paling dirugikan, yakni pemilih dan kualitas negara-bangsa. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Pasal 6A, Pasal 18 Ayat (3), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C Ayat (1) menegaskan presiden dan wakil presiden dan anggota DPRD, DPR, dan DPD dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Pasal 18 Ayat (4) UU No 10/2016 menegaskan gubernur, bupati/wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Para pemilih tak hanya memilih peserta pemilu, tapi juga memilih rencana kebijakan publik (visi, misi dan program).

Prinsip asas kedaulatan rakyat

Para ilmuwan yang menggunakan pendekatan minimalis bahkan merumuskan demokrasi sebagai "persaingan antar-peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih agar memilih mereka menduduki jabatan publik". Demokrasi bagi pendekatan minimalis ini mengandung dua konsep utama, yaitu persaingan antar-peserta pemilu dan partisipasi. Untuk meyakinkan pemilih, tiap peserta menawarkan kelebihan calonnya dan kelebihan rencana kebijakan publik yang diajukan. Bila dalam pemilu hanya ada satu peserta, maka tak akan ada persaingan. Jika dalam suatu pemilu/pilkada hanya ada satu peserta, pemilih tak dapat memilih penyelenggara negara dan tak dapat memilih rencana kebijakan publik karena hanya ada satu peserta dan satu rencana kebijakan publik.

Rakyat/pemilih tak hanya berdaulat dalam menentukan siapa penyelenggara negara, tetapi juga berdaulat dalam menentukan rencana kebijakan publik. Karena Indonesia mengadopsi demokrasi perwakilan (demokrasi tak langsung), rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menentukan siapa yang mewakilinya dan apa saja rencana kebijakan publik yang akan diputuskan oleh wakil itu. Pemilu/pilkada yang hanya diikuti satu paslon merugikan pemilih karena tak memberikan kesempatan kepada rakyat/pemilih untuk memilih. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dipaksa mencoblos paslon yang ditentukan pihak lain. Singkat kata, pemilu/pilkada dengan satu paslon tak menempatkan rakyat sebagai pihak yang berdaulat dan karena itu bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat.

Bagaimana suatu negara diselenggarakan merupakan salah satu ukuran kemajuan suatu negara. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang berisi bagaimana bangsa-negara diselenggarakan adalah Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3). Berdasarkan kedua ayat ini, bangsa-negara Indonesia diselenggarakan berdasarkan dua prinsip, yaitu demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum). Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus berdasar hukum, tetapi proses pembuatan hukum juga harus demokratis.

Agar pemilu/pilkada menjamin hak rakyat/pemilih untuk memilih paslon dan untuk memilih rencana kebijakan publik, maka UU yang mengatur pemilu/pilkada tidak hanya harus menjamin hak memilih tersebut, tetapi juga mengatur agar peserta pemilu yang bersaing memperebutkan kepercayaan rakyat (memperebutkan kursi) itu harus lebih dari satu. Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang paslon tunggal untuk pilkada pada dasarnya memberi kesempatan kepada rakyat/pemilih untuk memilih dalam pilkada, yaitu memilih paslon ataukah memilih kotak kosong. Negara demokratis lain, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Filipina, langsung mengesahkan calon tunggal tanpa melalui pemilihan. Hal ini tidak lain karena prosedur dan proses pencalonan di negara itu sudah terbuka dan kompetitif.

Kotak kosong di pilkada

Karena prosedur dan proses pencalonan di Indonesia belum terbuka dan kompetitif, maka MK mengharuskan paslon tunggal bersaing dengan kotak kosong. Tetapi, kotak kosong tidak bisa berbicara menyatakan siapa dirinya dan apa rencana kebijakan publik yang hendak ditawarkan. Agar rakyat/pemilih bisa memilih, maka kotak kosong itu harus dibuat berbicara. Di sinilah letak pentingnya negara hukum. UU harus menjamin kesempatan bagi berbagai unsur dalam masyarakat untuk menyuarakan alternatif penyelenggara negara dan alternatif rencana kebijakan publik. Yang dimaksud dengan kalangan masyarakat adalah partai politik, organisasi masyarakat sipil (seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, pemantau pemilu, pengamat, dan akademisi), dan berbagai kelompok masyarakat.

Karena hanya parpol dan perseorangan yang memenuhi syarat yang berhak mengajukan pasangan calon, parpol yang tidak memenuhi syarat mengajukan calon dan berbagai organisasi masyarakat sipil dapat mengajukan bukan hanya sejumlah kriteria penyelenggara pemerintahan daerah, melainkan juga hasil penilaian bahwa paslon tunggal tersebut tak memenuhi kriteria itu. Parpol dan organisasi masyarakat sipil tak hanya berhak mengkritisi rencana kebijakan publik (visi, misi, dan program) yang diajukan paslon tunggal, tetapi juga berhak menawarkan alternatif rencana kebijakan publik sebagai tandingan terhadap rencana dari paslon tunggal. UU harus menjamin kesempatan bagi parpol yang tidak memenuhi syarat mengajukan calon dan berbagai organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan kedua hal itu.

Yang harus dijamin tidak hanya kesempatan menyuarakan, tetapi juga sarana menggunakan kesempatan tersebut. UU Pemilu di banyak negara demokrasi lainnya bahkan mengizinkan berbagai unsur organisasi masyarakat sipil mencari dana sesuai dengan ketentuan untuk membiayai kegiatan kampanye mereka untuk menyuarakan alternatif calon dan alternatif rencana kebijakan publik. Akan tetapi, berbagai kelompok ini wajib mengajukan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada KPU.

Kotak kosong pada Pilkada Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dengan satu paslon pada 2016 disuarakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Akan tetapi, karena UU Pilkada belum menjamin hak dan kesempatan menyuarakan alternatif calon dan alternatif rencana kebijakan publik, maka kegiatan pihak kedua ini masih terbatas. Paslon tunggal memenangi pemilihan, sedangkan kotak kosong juga mendapat suara cukup signifikan. Paslon tunggal mengalami kekalahan pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Kotak kosong didukung dua kalangan, yaitu pendukung paslon yang didiskualifikasi dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Alternatif kriteria calon dan alternatif rencana kebijakan publik yang ditawarkan kedua kelompok ini lebih dipercaya para pemilih.

Karena kotak kosong "bersuara", Pilkada Makassar 2018 tak hanya menjamin hak pemilih untuk memilih alternatif calon dan rencana kebijakan, tetapi juga sesuai dengan asas kedaulatan rakyat.