KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2018.

Tanggal 9 Februari 1946 yang jadi dasar penetapan Hari Pers Nasional, melalui Keppres No 5/1985, adalah sebuah peristiwa besar.

Pihak-pihak yang tak menyukai HPN karena 9 Februari adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengatakan, untuk apa memperingati hari kelahiran organisasi yang terkooptasi di era Orde Baru, yang tak lagi relevan karena kini ada puluhan organisasi wartawan, tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi yang dikandung dalam UU No 40/1999 tentang Pers. Tak juga sesuai karena sebelum PWI lahir telah banyak berdiri organisasi wartawan di zaman penjajahan, seperti Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia). Bahkan, seperti ditulis Leo S Batubara, ada orang seperti Tirto Adhi Surjo yang mendirikan Medan Prijaji, Dja Endar Moeda yang mendirikan Pertja Barat sampai Pewarta Deli. Dikaitkan pula dengan lahirnya Kantor Berita Antara oleh Adam Malik, Soemanang, AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena, yang misinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang mungkin pantas diperingati sebagai Hari Pers.

Dengan logika Leo S Batubara di atas mungkin tidak salah pula bila ada yang mempersoalkan mengapa Hari Pahlawan ditetapkan 10 November karena ada begitu banyak pertempuran setelah kemerdekaan RI yang merenggut banyak nyawa bangsa Indonesia. Mengapa pula kita menerima 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional karena banyak peristiwa yang sangat relevan sebagai peristiwa pendidikan, seperti berdirinya sekolah untuk perempuan yang digagas Ruhana Kuddus atau Dewi Sartika.

Kongres di Surakarta

Tentang kongres yang diikuti 180 wartawan di Surakarta, sebagaimana diberitakan di harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, ada beberapa hal yang membuatnya istimewa dan patut jadi tanggal HPN. Pertama-tama harus diingat, pada saat itu Indonesia yang sudah diproklamirkan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 kembali diduduki Belanda dengan membonceng tentara Sekutu yang mencopoti kekuasaan Jepang. Pemerintahan RI terpaksa berpindah ke Yogyakarta dan sebagian besar wilayah republik sudah dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jakarta. Pergerakan orang-orang dibatasi, khususnya lagi mereka yang dicurigai, termasuk untuk pergi ke luar Jakarta untuk masuk ke wilayah yang dikuasai republik.

Dalam kondisi ini, maka perjuangan 180 wartawan dari Sulawesi dan Kalimantan, serta daerah lain di Jawa, untuk berkumpul bukanlah urusan mudah. Manai Sophiaan perlu waktu 35 hari untuk masuk ke Surakarta setelah naik kapal rakyat dari Makassar dan turun di pantai utara Jawa. Tetapi, kekuatan tekad membuat akhirnya 180 orang yang hadir mengikuti kongres.

Hal kedua adalah representasi. Walaupun disebutkan 180 orang yang hadir dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, sebenarnya itu sudah mewakili sebagian besar wartawan dan media top Indonesia. Ada Sumanang (Antara), Harsono Tjokroaminoto (Al Djihad), Soemantoro (Kedaulatan Rakyat), Djawoto (Antara) yang hadir dan akhirnya menjadi pengurus pertama PWI. Yang disebut dari Jawa, misalnya, termasuk BM Diah (Merdeka), Sjamsudin St Ma'moer (Rakyat) yang berasal dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Media republikan menggalang pendapat umum, menyatukan semua kelompok untuk tetap setia kepada republik dan pemimpinnya. Rakyat marah dan merencanakan demonstrasi besar untuk merayakan 6 bulan kemerdekaan pada 17 Februari 1946. Di berbagai pelosok Tanah Air terjadi gerakan mendukung pemerintahan Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir karena bertepatan dengan dibahasnya Indonesia dalam sidang PBB di New York.

Berita utama Merdeka, 12 Februari 1946, berjudul "Tjita—Tjita Indonesia Djangan Dihalangi Kekerasan Sendjata"—Kata Manuilsky, mengutip pidato utusan Ukraina di PBB, Dr Dmitri Manuilsky, yang meminta PBB mengirim komisi ke Indonesia. "Tidak ada orang bisa menyangkal bahwa tentera Inggris telah menyerang penduduk Indonesia di Djawa pada waktu beberapa bulan yang lampau dengan mempergunakan tank-tank, kapal terbang dan lain-lain alat militer". Terkait dengan keadaan Indonesia, ada berita berjudul "Tegak di Belakang Presiden" sebagai hasil Kongres Pejabatan Pos, Telegrap dan Telepon seluruh Jawa dan Madura yang diadakan di Madiun 10, 11, dan 12 Februari. Ada berita berjudul "Gerakan Republik Indonesia Soerakarta Menjatakan Kepertjajaan 100%" terhadap pemerintah yang dijalankan oleh Kabinet Sjahrir.

Dalam suasana itulah kongres wartawan di Surakarta pada 9-10 Februari. Mereka menunjukkan keberpihakan karena yakin media punya peran besar untuk menunjukkan sikap rakyat Indonesia, termasuk ke pihak luar yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, ditegaskan sikap wartawan ialah "Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara". Seperti juga unsur bangsa lain yang tengah berjuang mempertahankan negaranya yang dijajah lagi, wartawan menempatkan diri sebagai pejuang sekaligus. Dan, menyadari besarnya politik adu domba Belanda, mengingatkan bahwa dalam bekerja mereka harus memikirkan persatuan dan kedaulatan negara.

Butir lain hasil kongres adalah kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah percetakan dan penerbitan koran sebagai alat produksi dan juga alat perjuangan. Sebab, hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang juga coba dikuasai oleh Belanda. Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui diikuti berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), pada Juni 1946 di Yogyakarta.

Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional. Sebab, tanggal itu bukan sekadar hari lahir PWI, tetapi bersatunya wartawan untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam keberadaannya agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti yang kita saksikan saat ini.

Semangat reformasi

Dalam pertemuan yang dilakukan Dewan Pers untuk membahas HPN atas usulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJTI) dan dihadiri pemangku kepentingan, April 2018, sebagian besar peserta berpendapat sebaiknya organisasi wartawan dan pers lebih memikirkan tentang berbagai persoalan yang melanda jurnalisme saat ini. Mulai dari merosotnya performa media cetak karena digerus news aggregator; kian dipinggirkannya etika jurnalistik atas nama rating, kecepatan memberitakan, dan menurunnya kualitas wartawan. Juga soal semakin banyak orang mengaku wartawan yang sama sekali tidak dibekali pelatihan keterampilan jurnalistik apalagi pemahaman Kode Etik Jurnalistik.

Wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja untuk kepentingan publik, dalam hal ini mengontrol kekuasaan, menyampaikan informasi, mengajak mereka berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan dengan membuka ruang diskusi. Wartawan bukan politisi yang sibuk berpolitik, yang sibuk menuding dan mencari-cari kesalahan orang, mempersoalkan yang tidak penting, karena rasa tidak suka atau cemburu.

Dewan Pers yang memiliki SDM dan anggaran terbatas seharusnya dibantu konstituen agar kemerdekaan pers Indonesia dapat terpelihara sesuai semangat reformasi, apalagi saat ini tengah digerogoti pihak-pihak yang mengaku wartawan tetapi tidak bekerja dalam koridor kode etik yang telah disepakati bersama oleh komunitas pers. Juga untuk mengamendemen UU Pers agar pers kembali ke rezim izin dan sensor, dengan alasan kemerdekaan pers sudah kebablasan karena media mengungkap kebobrokan kinerja aparat eksekutif, anggota parlemen, maupun penegak hukum lainnya.