Komisi Pemilihan Umum telah menutup pendaftaran calon anggota legislatif untuk diproses lebih lanjut.

Tahapan lain yang tak kalah penting, mulai awal Agustus 2018, KPU akan memproses pengajuan pasangan kandidat yang hendak berlaga pada Pemilihan Presiden 2019. Konsentrasi semua pihak ke pemilu serentak 2019 pun semakin tinggi seiring masuknya tahapan-tahapan penyelenggaraannya.

Rutinitas demokrasi

Sejak pilpres pertama kali yang dilakukan secara langsung pada 2004, kegiatan tersebut merupakan hal yang rutin semata. Demokrasi kontestatif secara nasional dan lokal semakin terasa telah jadi rutinitas. Rutinisasi demokrasi yang tergambar dari ajeknya pelaksanaan pemilu berkala, sejak 1999, secara prosedural sesungguhnya telah menandai fase konsolidasi demokrasi.

Sudah lazim dalam demokrasi kita, dan di mana pun, kontestasi pemilu berkala menjadi ukuran. Memang para pencinta dan penilai demokrasi kerap merasakan kelemahan-kelemahan praktik demokrasi prosedural, yang adakalanya sering bertolak belakang dengan prinsip-prinsip demokrasi substansial. Akan tetapi, keberhasilan penyelenggaraan pemilu, bagaimanapun, tetap dipandang yang terpenting bagi sebuah negara demokrasi.

Pemilu merupakan proses bagi kemungkinan perguliran kekuasaan yang dilakukan secara damai dan beradab. Ada prinsip-prinsip universal yang dikaitkan dengan hak politik warga negara untuk dapat dipilih dan memilih. Ada perangkat aturan demokratis yang disepakati penentu kebijakan tingkat teknis merujuk perundang-undangan pemilu. Rekayasa elektoral (electoral engineering) merupakan keperluan nyata di negara demokrasi mana pun. Karena itu, regulasi pemilu bersifat dinamis. Kata kuncinya, mencari kecocokan.

Dari segi aturan main, posisi kekuatan-kekuatan nonformal masyarakat juga penting kendati dalam mekanisme sistem politik posisi mereka sekadar kelompok kepentingan dan penekan. Kekecewaan mereka terhadap aturan main memperoleh ruang kesempatan uji materi ke MK. Ruang tersebut lazim dimanfaatkan jadi mekanisme yang berujung keharusan bagi yang kalah untuk legawa. Di atas segalanya, pasca-pilpres atau yang lain, yang terpenting ikhtiar kembali ke normalisasi kehidupan masyarakat. Semua harus menghadapi realitas politik baru, tak meneruskan atau memperpanjang konflik.

Merujuk pengalaman pemilu nasional era Reformasi pada 1999, 2004, 2009, dan 2014, serta pilkada sejak 2005 hingga 2018, secara umum dapat dicatat bahwa telah terjadi rutinisasi demokrasi secara baik. Demokrasi elektoral telah jadi bagian dari "darah daging" kepolitikan sehari-hari masyarakat. Indonesia telah menemukan bentuknya dalam berdemokrasi, kendati tidak bersifat statis, mengingat perubahan bagi penyempurnaannya masih terus terbuka.

Meski demikian, kita juga mencatat hal-hal yang membuat praktik pemilu kurang ideal. Misalnya, fenomena tingkat partisipasi pemilih yang begitu rendah dalam pilkada sehingga sesungguhnya bermasalah secara legitimasi. Kita juga memiliki pengalaman pilkada yang oleh berbagai kalangan disorot sebagai peristiwa yang memunculkan fenomena eksploitasi politik identitas. Isu-isu lain, seperti ekses politik dinasti, selain praktik pragmatisme-transaksional tentunya, juga belum kunjung henti. Namun, demokrasi elektoral telah mampu membawa proses perubahan dan respons politik masyarakat secara damai.

Hakikat demokrasi elektoral tak sekadar berhenti pada keberhasilan penyelenggaraan pemilu. Jauh dari itu, ini terkait erat dengan kepemimpinan politik yang berkarakter atau berwatak demokratis. Haruslah selalu kita ingat dan catat bahwa demokrasi elektoral bukan tanpa celah bagi munculnya secara ironis elite-elite politik baru yang justru berwatak antidemokrasi. Masyarakat dunia, pada 2016 misalnya, dikagetkan oleh kemenangan Donald Trump pada pilpres AS. Trump dianggap, dan memang dalam banyak hal, menunjukkan kecenderungannya berwatak antidemokrasi melalui ujaran dan kebijakan.

Berbagai buku yang membahas perkembangan demokrasi masa kini tak lepas menyinggung—langsung tak langsung—fenomena Donald Trump. Perspektifnya beragam, tetapi yang umum berkembang ialah populisme politik dan kelemahan demokrasi digerogoti oleh kaum demagog. Buku-buku itu antara lain How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) serta How Democracy Ends oleh David Runciman (2018). Fenomena AS menunjukkan hasil proses demokrasi yang membelah sikap masyarakat demikian dramatik.

Runciman melihat fenomena Trump sekadar gejala masalah, dari melemahnya demokrasi Barat yang di bawah kondisi baru, sistemnya "dapat dilubangi dan mulai gagal". Premis ini bisa dipakai untuk meninjau kembali klaim Francis Fukuyama tentang the end of history. Namun, memang demokrasi bukan tanpa celah kelemahan pada praktiknya. Banyak pakar telah mengingatkan hal tersebut.

Manajemen kebangsaan

Celah kelemahan terbukanya kesempatan calon-calon pemimpin berwatak demagog atau fasis sesungguhnya merupakan salah satu pelajaran penting praktik demokrasi abad ke-20. Kehadiran Hitler di Jerman dan Benito Mussolini di Italia sering dijadikan ilustrasinya. Dalam banyak ulasan, fenomena Donald Trump dikaitkan dengannya kendati konteksnya berbeda. Namun, gema keresahan bahwa pengalaman praktik dan ekses demokrasi abad ke-20 itu akan bisa hadir sewaktu-waktu di abad ke-21 ini semakin mengeras.

Karena sistem demokrasi mengandung celah kelemahan, kita harus menjauhkan karakter antidemokrasi dalam menemukan pemimpin. Hakikat demokrasi elektoral, karena itu, terkait erat dengan kesadaran masyarakat untuk tidak larut dalam labirin berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian. Kita hidup di zaman digital baru yang memberikan kesempatan luas bagi individu untuk berpartisipasi luas dalam politik dengan mengandalkan media sosial.

Dalam dunia yang serba cepat dewasa ini, sering kali akal budi tertinggal di belakang. Orang sering menyimpulkan sesuatu dengan cepat, seiring berlimpahnya informasi, tetapi sering kali tidak mampu mengecek kebenarannya secara cepat pula. Di situlah hoaks bekerja, mengelabui semua. Maka, demokrasi berkualitas tentu memerlukan kesabaran dan kecerdasan akal budi bagi semua aktor yang bertanding ataupun pemilih.

Selain keperluan untuk selalu melek demokrasi di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks dan menyuguhkan pengalaman-pengalaman baru, demokrasi Indonesia perlu diletakkan dalam koridor manajemen kebangsaan. Intinya, proses demokrasi kita jangan sampai dibiarkan mengarah pada perpecahan bangsa. Variabel integrasi bangsa seharusnya kita tempatkan sebagai hal yang terpenting.