Konsistensi itu prasyarat terwujudnya kehidupan adil makmur, bahagia dunia-akhirat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, konsistensi wajib dimaknakan sebagai ketaatan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Pada Pancasila terdapat nilai ketuhanan. Posisinya berada di puncak semua nilai-nilai lain. Berfungsi sebagai penggaransi keutuhan dan keharmonisan, serta terwujudnya sistem nilai sebagai pandangan hidup bangsa.

Dalam bernegara hukum ada kewajiban pada penyelenggara negara untuk mampu menjabarkan nilai-nilai Pancasila menjadi asas-asas hukum. Lebih lanjut, dari asas-asas hukum dikonkretkan menjadi norma-norma hukum operasional dalam bentuk berbagai perundang-undangan. Hukum demikian itulah yang semestinya ada dan dilaksanakan serta ditegakkan.

Apabila konsistensi demikian senantiasa dilakukan pada semua aspek kehidupan, dapat diyakini bangsa ini akan meraih kebahagiannya. Segala kebutuhan lahir batin—dalam skala pribadi, sosial, nasional, sampai ke ranah internasional—pasti terwujud. Keyakinan demikian bertolak pada nilai ketuhanan itu sendiri. Di dalamnya telah tersirat janji Tuhan akan limpahan rahmatNya: bila manusia-manusia di muka bumi ini konsisten taat terhadap perintah-perintah-Nya, sekaligus menjauhi larangan-larangan-Nya, maka tak perlu bersedih hati, khawatir akan masa depannya. Kebahagiaan merupakan bagian dan muara dari konsistensi tersebut.

Beberapa contoh

Dalam uraian lebih konkret, perihal arti penting konsistensi ini dapat dikemukakan contoh-contoh berikut.

Pertama, konsistensi dalam pembuatan perundang-undangan. UU atau peraturan pemerintah (PP) itu bagian dari hukum negara. Jumlahnya sangat banyak, bahkan sudah obesitas.

Pada tataran formal, setiap UU dan PP hanya sah apabila diberi irah-irah, "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa". Irah-irah bernuansa ideologis itu bukan sekadar pemanis bunyi UU atau PP, melainkan sebuah klausul pengingat agar proses pembuatan dan substansi UU atau PP yang bersangkutan senantiasa sarat nilai-nilai Pancasila. Para pembuat UU atau PP mesti sadar amanat ini, konsisten menuangkan, mengonkretkan, dalam pasal-pasal serta ayat-ayat. Dengan demikian, dalam pembuatan UU atau PP tidak boleh sekali-kali melalaikan nilai-nilai Pancasila.

Kedua, konsistensi antara ucapan dan tindakan. Dalam keutuhannya, manusia normal memiliki jiwa dan raga. Kedua unsur tersebut terjalin interaksi sepanjang waktu. Ucapan dan tindakan merupakan pengejawantahan suasana hati, ketajaman akal, dan dorongan nafsu.

Nilai-nilai kemanusiaan dalam Pancasila mengajarkan bahwa awalnya semua manusia terlahir dalam keadaan fitrah, bersih, berpotensi menjadi manusia bermartabat. Pantang, manusia mana pun berbohong, berbuah jahat, apalagi mencla-mencle, esuk dele sore tempe. Pelaksana hukum telah disumpah untuk taat pada Pancasila dan hukum negara. Ucapan dalam sumpah itu wajib diwujudkan secara konsisten dalam tindakan. Amat disayangkan jika penyelenggara negara berkata "ini demi rakyat", padahal di balik itu dia sedang berkampanye demi partainya. Ini kebohongan.

Ketiga, konsistensi penegakan hukum. Muara dari penegakan hukum adalah terwujudnya keadilan. Pada setiap vonis hakim, wajib dicantumkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Irah-irah demikian semestinya dijadikan panduan bagi penegak hukum agar dalam proses peradilan senantiasa berada di jalur ideologis-religius itu. Penegak hukum mestinya sadar dan berbuat maksimal agar apa pun yang dilalukannya berorientasi demi terwujudnya keadilan substantif.

Dengan kata lain, tidaklah cukup vonis hakim sekadar hasil utak-atik pasal-pasal hukum formal saja. Apabila itu yang terjadi, vonis hakim hanyalah produk dari aktivitas mekanis, formal-prosedural penerapan teks-teks perundang-undangan. Hasilnya hanya keadilan formal, bukan keadilan substantif. Hakim mesti sadar, pertanggungjawaban atas vonisnya tidak hanya horizontal kepada pencari keadilan, masyarakat, dan negara, tetapi kelak dipertanggungjawabkan juga ke hadirat Tuhan Yang Maha Adil.

Keempat, konsistensi dalam pemberantasan korupsi. Korupsi itu perilaku jahat. Mesti diperangi. Upaya pencegahan mesti dilakukan sedini mungkin. Upaya itu, antara lain, membentengi lembaga-lembaga negara dari kemungkinan masuknya orang- orang jahat, eks narapidana, eks koruptor, dan sejenisnya. Sudah tepat dan konsisten ketika Komisi Pemilihan Umum membuat kebijakan pelarangan orang- orang jahat mendaftar sebagai calon anggota legislatif.

Sebaliknya, perlu dipertanyakan konsistensinya kepada pihak-pihak yang mengotot menentang kebijakan itu. Benarkah mereka Pancasilais? Mesti dijaga bergeloranya semangat pemberantasan korupsi sejak akar-akarnya, semangat bernegara hukum dengan moralitas tinggi, semangat menggapai kebahagiaan bangsa dalam naungan rida Ilahi. Jangan sekali-kali dikorbankan demi kepentingan politik.

Sumber daya alam

Kelima, konsistensi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai ketuhanan.

Bangsa ini diberi sumber daya alam melimpah. Bak zamrud khatulistiwa. Semestinya bangsa ini bersyukur atas karunia-Nya itu. Pengaturan, pengelolaan, penguasaan, dan pemanfaatannya mesti diawasi agar senantiasa diorientasikan demi terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Pasal ini merupakan asas hukum sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila secara utuh.

Konsekuensinya, negara mesti berposisi dan bertindak sebagai organisasi publik terhadap sumber daya alam. Sungguh tidak dibenarkan, bahkan inkonstitusional, jika negara bertindak sebagai organisasi privat. Pada persoalan Freeport ataupun sumber daya alam lainnya semestinya negara betul-betul hadir selaku organisasi publik. Karena itu, kontrak karya—sebagai manifestasi aktivitas privat—tidak boleh dilakukan negara. Kewenangan negara adalah memberikan dan mencabut perizinan.

Alangkah bagus jika kita mau introspeksi: siapa konsisten dan siapa inkonsisten dalam bernegara hukum. Salam Pancasila.