Setelah pilkada serentak 2018, muncul diskusi pilkada serentak 2025 yang mengundang perhatian sejumlah kalangan, terutama perihal kesiapan penanganan konflik di daerah rawan.

Pilkada serentak juga mengundang kritik terkait asimetrisitas desentralisasi Indonesia. Tak semua daerah di Indonesia tepat dengan pilkada langsung yang sekarang berjalan. Dalam praktik desentralisasi asimetris di Indonesia, timbul kecemburuan beberapa daerah terhadap otonomi khusus (otsus) untuk DKI Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua. Terutama akibat adanya konsekuensi fiskal dari penyelenggaraan otsus. Empat provinsi itu dipandang memiliki legitimasi kuat untuk diberi status khusus sehingga terjadilah desentralisasi asimetris di Indonesia.

Persoalan internal daerah-daerah yang berstatus khusus itu juga tak sederhana. Mulai dari konflik soal urusan pemerintahan, kinerja pemda, kualitas perda yang dihasilkan, kelembagaan, identitas setempat, sampai soal konflik keuangan. Persoalan yang berdampak hukum nasional pun tak sederhana. Lebih rumit lagi ketika terkait pelaksanaan pilkada langsung dan kecemburuan nasional. Karena itu, layak diperhatikan dalam kancah penyelenggaraan otonomi di Indonesia.

Perkembangan konsep

Perkembangan konsep desentralisasi asimetris dalam kancah praktik otonomi Indonesia tidak timbul dalam waktu singkat, tetapi mengalami proses panjang dan terkait rasionalitas bangsa Indonesia. Rupanya dalam hal desentralisasi yang tak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan otda, bangsa Indonesia selalu tak puas atas konsep generik yang dikaji para pakar. Dari sejak lama kata otonomi selalu diembel-embeli frasa di belakangnya karena ketakpuasan bangsa Indonesia atau untuk menunjukkan makna superlatif. Contohnya, di masa Orde Baru terdapat kata "otonomi yang bebas dan bertanggung jawab", masa Reformasi "otonomi seluas-luasnya", dan seterusnya.

Desentralisasi asimetris tak terlepas dari konsep generik desentralisasi. Kata desentralisasi secara sederhana mengotonomikan masyarakat di wilayah tertentu yang menjelma jadi daerah otonom yang bersandar pada konstitusi (Hoessein: 2011). Di Indonesia ada daerah otonom provinsi, kabupaten dan kota sesuai UUD. Desentralisasi dalam istilah generik membuat keberanekaragaman masyarakat tertampung, terpelihara, serta berkembang.

Celakanya dalam praktik Indonesia terdapat dispute dan anomali. Pakar desentralisasi dari berbagai universitas mengkaji untuk direvitalisasi. Bahan rujukan internasional juga beraneka ragam. Semula, jika kita menyebut desentralisasi, sepadan dengan kata devolusi atau desentralisasi politik dalam referensi internasional. Di samping itu, terdapat instrumen yang bersama-sama dipraktikkan di semua negara bangsa, yakni terkait adanya unit pusat di daerah atau administrasi lapangan yang dikembangkan dengan mekanisme dekonsentrasi. Istilah dekonsentrasi sering disebut oleh pakar dengan desentralisasi administratif.

Kedua asas berdampingan dipraktikkan di semua negara yang menganut desentralisasi karena terdapatnya kewajiban pemerintah pusat mengatur, mengurus, dan melayani masyarakat hingga pelosok wilayah sehingga berdampingan dengan unit otonom di negara itu. Terjadilah simultan antara kedua unit dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah.

Dominasi dekonsentrasi menyebabkan ketidakpuasan para pengkaji desentralisasi dari banyak negara, termasuk para pakar Indonesia. Indonesia sering disebut baru mempraktikkan desentralisasi secara administratif belaka, belum secara politik. Pendapat ini muncul pula di Indonesia. Salah, tetapi telanjur kaprah karena Indonesia telah mempraktikkan desentralisasi politik hanya masih lemah.

Pakar UNDP, Cohen dan Peterson (2005), kemudian mengeluarkan daftar bentuk desentralisasi. Berkembang kembali jauh dari hasil seminar internasional ahli politik awal 1980-an. Desentralisasi menurut kedua pakar itu terdiri dari desentralisasi administratif, desentralisasi ekonomi, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi politik. Apa yang disebut desentralisasi administratif, menurut mereka, terdiri atas empat bentuk: devolusi, dekonsentrasi, delegasi, dan privatisasi.

Desentralisasi ekonomi adalah mekanisme penyerahan pengaturan hukum-hukum pasar ke pemerintah di bawahnya. Desentralisasi fiskal terkait assignment sumber-sumber pendapatan pemda, desentralisasi politik mengindikasikan adanya peluang federalisme, dan desentralisasi asimetris antar-daerah tergantung komunitas politik lokal.

Dari sini pula timbul pemikiran mengenai asimetrisitas dan simetrisitas antar-daerah. Semula, menurut Katorobo (2004), bicara desentralisasi asimetrik dan simetrik ditujukan dalam pandangan hubungan pusat-daerah. Dalam negara kesatuan, sebetulnya pusat-daerah adalah asimetrik, sedangkan di negara federal antara pemerintah federal dan negara bagiannya cenderung simetrik. Menurut Katorobo, faktanya banyak pemda di banyak negara-bangsa menginginkan keadaannya sama sebangun dengan apa yang ada di pusat pemerintahannya (simetrik) yang seharusnya adalah asimetrik.

Belakangan para pakar lebih banyak membicarakannya dalam kaitan antar-daerah. Ketidakpuasan praktik desentralisasi di Indonesia juga membuat istilah ini menguat terkait desain desentralisasi antar-daerah. Menurut mereka, antar-daerah harus berbeda (asimetrik), tak boleh simetrik (sama). Para pakar ini sama halnya dengan bangsa Indonesia secara umum, tak yakin dengan konsep desentralisasi yang secara mendasar adalah alat untuk menampung keberanekaragaman sehingga perlu embel-embel "asimetrik".

Ketaksamaan antar-daerah menurut para pakar Indonesia memiliki spektrum luas, dari soal menampung identitas lokal lebih dalam, termasuk hukum adat serta indigenous-wisdom and knowledge, juga mampu menampung perbedaan kewenangan antar-daerah, mekanisme pilkada, aspek kelembagaan, termasuk fiskal yang dapat diatur berbeda-beda antar-daerah.

Pro dan kontra

Kalangan yang sependapat dengan perlu diterapkannya desentralisasi asimetrik di Indonesia didasari alasan berikut. Pertama, desentralisasi asimetrik akan memuaskan berbagai elemen di daerah dan dapat meningkatkan dukungan daerah kepada pemerintah pusat. Kedua, daerah maju dengan kekhasan masing-masing dapat tertampung lebih luas. Ketiga, insentif untuk daerah terasa lebih kuat.

Namun, sebagian kalangan menolak desentralisasi asimetrik dengan alasan: pertama, dalam desentralisasi seharusnya menciptakan asimetrisitas yang dimaksud terutama jika yang diharapkan adalah kewenangan daerah, dengan sendirinya tercipta perbedaan antar-daerah, tanpa perlu embel-embel istilah asimetris. Kedua, pola asimetris menciptakan ketakpastian hukum lebih luas terutama di negara kesatuan, mendorong kekhususan-kekhususan yang cenderung tak beraturan, dan memancing keinginan daerah lain lebih luas. Ketiga, pengawasan dengan standar nasional akan lebih lemah. Keempat, kemampuan pemerintah pusat di negara kesatuan terutama jadi melemah dalam mengoordinasi kinerja pemda, beda di negara federal yang dapat diikat keberagamannya dalam basis negara bagian.

Semua perdebatan harusnya memasukkan elemen tipe pemerintahan daerah yang dianut Indonesia. Indonesia adalah negara dengan tipikal prefektur terintegrasi (dual function, gubernur itu kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat). Jika dibuat berbeda antar-daerah (asimetrik), beranjaklah dari sistem itu agar kontekstual dengan keadaan Indonesia.

Rancangan asimetrisitas untuk Indonesia masa depan adalah diatur bahwa di banyak daerah yang ada dapat diterapkan prefektur terintegrasi, sementara sebagian daerah yang lain tak menganut sistem itu. Pertimbangan utamanya terkait pilkada langsung. Pilkada langsung tak tepat untuk negara yang menganut prefektur terintegrasi seperti Indonesia. Dengan demikian, jika pilkada langsung diterapkan, buatlah prefektur ini tak berlaku. Kenyataannya, beberapa daerah masih membutuhkan sistem ini sehingga dapat dibuat asimetrisitas atas dasar hal tersebut.

Bertepatan pula terdapat pengaturan Provinsi DI Yogyakarta yang dikepalai seorang raja. Sesungguhnya seorang raja juga tak tepat dijadikan sebagai wakil pemerintah. Meski di Yogyakarta tak dilakukan pilkada langsung, raja juga tak tepat dijadikan wakil pemerintah seperti di Inggris, hubungan ratu dengan lord atau raja vassal (raja kecil) tak pernah menjadikannya wakil ratu Inggris. Oleh karena itu, di Inggris tidak dikenal wakil pemerintah.

Di daerah yang tak dikenal adanya wakil pemerintah, sistem pilkadanya pun dapat bersifat langsung atau tak langsung. Contohnya Papua, yang mengenal sistem Noken sangat tak cocok dengan pilkada langsung. Pilkada tak langsung sesuai teori politik, itu pun dinilai demokratis dan tak mencabut hak konstitusional warga negara. Kalau dinilai tak konstitusional, lebih banyak negara di dunia yang dinilai tak konstitusional, termasuk Inggris, Australia, sebagian besar negara bagian di AS, dan hampir semua negara ini tak ada pilkada langsung untuk kepala daerahnya. Di daerah yang ada wakil pemerintah, pilkada diselenggarakan untuk menentukan usulan daerah kepada pusat sebagai bakal calon karena intervensi pusat harus tetap ada, namanya juga wakil pemerintah.

Dengan demikian, pilkada serentak 2025 jika asimetrisitas dianut, maka terdapat spektrum sistem pilkada: (1) melalui usulan DPRD untuk ditetapkan untuk kasus seperti DIY, (2) melalui DPRD tidak mutlak atau usulan DPRD dilanjutkan sistem seleksi, (3) melalui DPRD mutlak, dan (4) pilkada langsung. Tugas berat untuk menciptakan desentralisasi asimetrik yang membuat desentralisasi makin kontekstual adalah pemetaan mana yang perlu prefektur terintegrasi, mana yang tak perlu. Pemetaan ini berkonsekuensi pada unit Kemendagri yang makin kompleks.

Asimetrisitas dapat dikaitkan bukan saja ke pilkada, melainkan dapat pula kepada mekanisme manajemen ASN, fiskal, kelembagaan, dan persoalan lain. Sebetulnya asimetrisitas yang sudah berjalan sejak masa Hindia Belanda, bahkan yang paling rasional justru di tingkat otonomi terendah, yakni rumusan pemerintahan perkotaan dan perdesaan yang berbeda. Asimetrisitas antar-daerah dapat pula dikaitkan dengan perbedaan jumlah urusan. Materi asimetrisitas dapat ditampung dalam UU pembentukan daerahnya.

Di daerah yang tak dikenal adanya wakil pemerintah, sistem pembagian urusan dengan mekanisme rincian menganut ajaran otonomi riil sangat cocok. Kontrol pusat yang sektoral harus kuat untuk memastikan daerah mampu menyelenggarakan urusan ini. Sebaliknya, di daerah yang ada wakil pemerintah di samping kontrol kementerian sektoral, kontrol wakil pemerintah harus berjalan. Di sini pun dapat dikembangkan ajaran otonomi riil. Perangkat hukum tingkat operasional tentu kian ruwet dan kompleks. Kemendagri juga harus menyesuaikan diri. Inilah desentralisasi asimetrik masa depan Indonesia.