REUTERS/EDGAR SU/FILE PHOTO

Warga berfoto dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit di kawasan pusat bisnis Singapura, pada10 September 2015.

Tahun lalu terdapat isu tentang serangan teknologi informasi fenomenal pada serangan virus ransomware, yang meminta uang tebusan pada komputer yang diserang.

Kali ini peretas mencuri sekitar 1,5 juta data pribadi penduduk Singapura, atau kurang lebih seperempat dari jumlah penduduk negara tetangga ini.

Sebagaimana diberitakan BBC, mengutip keterangan pemerintah, peretas menerobos pangkalan data kesehatan pemerintah dalam serangan yang "disengaja, terarah, dan terencana baik".

Data yang diambil mencakup nama dan alamat, tetapi bukan rekam medis. Namun, yang mencuri perhatian adalah peretas menyasar data Perdana Menteri Lee Hsien Loong, termasuk informasi tentang obat-obat rawat jalannya. Sekadar catatan, PM Lee lolos dari serangan kanker dua kali.

Ada beberapa catatan yang bisa kita tuliskan tentang kejadian ini. Pertama, penegasan tentang realitas pahit menyangkut ketergantungan kita pada teknologi informasi-komunikasi (TIK), yang kini mewujud dalam jaringan global yang di satu sisi memberi manfaat, tetapi di sisi lain menciptakan kerawanan.

Dalam hal pemanfaatan, semakin banyak pihak—negara, korporasi, dan individu—menggunakan teknologi ini. Yang sering tidak disadari adalah risiko dan upaya yang harus dilakukan untuk pengamanan sistem yang digunakan.

Kedua, ada yang heran mendengar Singapura—yang dikenal sebagai negara kaya dan maju—terkena serangan peretas. Namun, kita juga menyadari, sebagaimana serangan ransomware, AS dan Inggris pun tidak imun dari serangan. Dalam hal Singapura, ada komputer milik SingHealth, satu dari dua badan layanan kesehatan utama negara ini, yang terinfeksi virus, yang memungkinkan peretas mendapatkan akses ke pangkalan data.

Menghadapi serangan yang terjadi, SingHealth telah mengambil langkah pengamanan, antara lain untuk sementara menerapkan larangan bagi karyawan untuk menggunakan akses internet melalui komputer kerjanya.

Guna menghadapi ancaman serangan siber, sebenarnya Singapura telah menerapkan langkah pengamanan, seperti diskoneksi internet di sejumlah kementerian penting. Ini tentu didasarkan pada pengalaman, tahun lalu Kementerian Pertahanan Singapura pernah terkena serangan. Laman resmi PM Lee juga pernah diserang oleh grup peretas yang menamakan diri Anonymous pada tahun 2013. Kelompok ini sebelumnya mengancam akan menyerang infrastruktur di Singapura.

Jadi, jika melihat bahwa negara semaju Singapura, juga Jerman, AS, dan Inggris, tidak imun dari serangan siber, maka ini juga berarti memang tidak ada negara di dunia yang bisa mengklaim diri aman dari ancaman serangan siber.

Pelaku bisa berwujud kelompok seperti Anonymous, tetapi juga bisa negara, yang kini juga gencar mengumpulkan informasi intelijen melalui jaringan informasi global yang, meski telah diupayakan pengamanannya, bagi pakar TIK tidak ada yang tidak mungkin untuk membobolnya.