Di antara nama-nama yang beredar ada Mahfud MD, Airlangga Hartarto, Tuan Guru Bajang (TGB), Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani Indrawati, dan lain-lain. Sempat muncul beberapa kali nama Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Bahkan ada pula ketua partai yang berkampanye dengan memasang poster dan billboard di mana-mana sambil mengancam akan menarik dukungan bila tak terpilih sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Kepentingan umum
Tulisan ini akan mencoba mengulas figur seperti apa sebenarnya yang paling layak untuk mendampingi presiden petahana agar terpilih kembali. Kira-kira pertimbangan apa saja yang perlu diambil oleh presiden. Meski bobot utama pada pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) adalah kualitas calon presidennya, cawapres yang mampu memberi nilai tambah akan sangat membantu keterpilihan calon presiden (capres).
Pilihan Jusuf Kalla (JK) sebagai pendamping Jokowi pada pilpres yang lalu terbukti sangat ampuh mendukung seorang Jokowi yang sebenarnya belum merata dikenal pada tingkat nasional.
Ada dua sisi pertimbangan yang tidak selalu paralel dalam menentukan pilihan cawapres. Pertama sisi kepentingan umum serta warga negara, dan kedua sisi politik. Dari sisi kepentingan umum dan warga negara jelas yang diinginkan oleh rakyat adalah seorang wapres yang bukan saja cakap tetapi berintegritas, dengan rekam jejak yang jelas dan baik, mampu bekerja sama dengan presiden, dan tidak menimbulkan perpecahan di antara presiden dan wakil presiden yang dapat berakibat instabilitas.
Cawapres ideal ini diharapkan juga datang dari yang belum berusia lanjut dan nantinya sekaligus dapat disiapkan sebagai calon presiden pada 2024. Bila ada kemauan, sebenarnya mereka yang memenuhi syarat di atas cukup banyak dan dapat diambil dari (mantan) pejabat di lembaga negara atau kepala daerah yang telah membuktikan baik integritas maupun prestasinya.
Sayang sekali memang, bahwa presiden baru dapat sepenuhnya bebas menentukan cawapresnya sesuai dengan pilihan "ideal" bila dia percaya diri dan merasa bahwa keterpilihannya tidak bergantung kepada dukungan konstituen cawapres. Inilah yang terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode kedua memilih Boediono sebagai wapresnya. Pada kasus presiden Jokowi hal ini masih bisa dipertanyakan.
Sisi politik
Dalam kehidupan nyata, khususnya dalam kiprah politik, sisi idealisme memang tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan untuk mencapai kemenangan. Seorang presiden tak mungkin menghindar dari pertimbangan politik dalam berbagai keputusannya.
Pertama, Jokowi akan memilih non politisi bila dia beranggapan calon punya dukungan luas di masyarakat maupun ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pilihan ini sekaligus untuk tidak mengecewakan partai pendukung yang calonnya tak terpilih dengan memberi kesan bahwa dia tidak pilih kasih di antara partai pendukungnya.
Kedua, pilihan akan jatuh kepada petinggi salah satu partai politik pendukung bila presiden beranggapan mesin partainya akan sangat efektif membantu dalam mendukung keterpilihannya. Pilihan ini berisiko mengecewakan partai pendukung lain yang wakilnya tak terpilih dan bisa berdampak kepada sikap mereka di DPR nantinya.
Ketiga, pertimbangan Jawa luar Jawa juga tak kalah penting. Meski tak selalu dan bergantung pada kualitas cawapres, suara luar Jawa cenderung untuk memilih calon dari suku non Jawa karena presidennya sudah dari suku Jawa.
Keempat, memerhatikan perkembangan politik belakangan ini di mana ada kecenderungan primordial keagamaan sebagai akibat eksploitasi politik oleh kelompok tertentu, cawapres yang tidak diragukan riwayat keislamannya bisa menjadi pertimbangan yang krusial.
Kelima, Jokowi mungkin juga akan mempertimbangkan kemungkinan mantan petinggi TNI atau Polri sebagai cawapres. Hal ini mengingat keamanan dari republik ini juga bisa menjadi fokus perhatian masyarakat yang kuatir atas kekerasan dan radikalisme agama yang berkembang beberapa waktu yang lalu.
Keenam, bisa saja Jokowi menaruh point penting pada chemistry dan karakter cawapres yang cocok dengannya dalam pertimbangannya karena lancarnya hubungan presiden dan wapres akan membantu jalannya pemerintahan yang efektif. Tentu saja kesamaan Ideologi dan visi menjadi pertimbangan juga.
Ketujuh, di luar semua itu, dalam pilpres mendatang isu hangat yang akan diperdebatkan diperkirakan menyangkut perkembangan dan kedaulatan ekonomi, penegakan hukum, dan radikalisme agama. Cawapres yang menguasai permasalahan di atas akan sangat membantu dalam kampanye terbuka pilpres.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut dan dari nama-nama yang beredar di masyarakat pembaca barangkali bisa memperkirakan siapa kira-kira yang layak terpilih sebagai cawapres Jokowi.
Siapapun yang terpilih diharapkan mendapat dukungan penuh dari partai-partai pendukung, khususnya restu dari ketua umum PDI Perjuangan. Di sini kita berharap bahwa partai-partai pendukung akan lebih menonjolkan sikap kenegarawanan daripada menekankan kepada kepentingan politik sempit masing-masing.
Memecah dukungan
Dalam proses menjelang pendaftaran capres cawapres bulan depan partai-partai lawan akan terus berupaya memecah dukungan kepada Jokowi dengan menawarkan posisi-posisi yang menggiurkan bila menang. Dalam kelompok koalisi partai-partai pendukung Jokowi diperkirakan ada satu-dua parpol yang mudah goyah imannya.
Hasil pilkada serentak baru-baru ini juga perlu dianalisis dengan saksama dalam pertimbangan mencari sosok calon wakil presiden yang tepat. Khususnya bagi kawasan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan yang mengindikasikan kerawanan politik bagi Jokowi.
Di sini kepiawaian Jokowi akan diuji. Namun melihat gaya dan karakter presiden kita sejauh ini, tampaknya beliau bukan tipe pemimpin yang haus akan kekuasaan. Mudah-mudahan meski pertimbangan politik praktis tak terhindarkan, prinsip-prinsip utama yang sahih dalam memilih pemimpin bangsa juga tak dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar