KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko Widodo dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim (kedua kanan) saat meninjau Posyandu Kenanga 2 yang dilaksanakan di Halaman SDN Tangkil 1, desa Tangkil, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Rabu (4/7/2018). dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo memperlihatkan berbagai cara yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi stunting di seluruh Indonesia.

Sembilan juta anak balita Indonesia bertubuh pendek akibat kurang gizi. Tantangan ini harus diatasi karena manusia sumber daya yang paling berharga.

Anak berusia di bawah lima tahun (balita) dengan tinggi badan tidak sesuai dengan usia pertumbuhannya (stunting) telah lama menjadi tantangan pembangunan Indonesia. Kondisi fisik pendek pada hampir 30 persen anak balita tersebut disebabkan masalah gizi kronis.

Anak balita bertubuh pendek kembali menjadi perhatian seiring kedatangan Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim ke Indonesia hari Rabu (4/7/2018). Salah satu tujuan kunjungan Kim adalah membahas cara mengatasi anak bertubuh pendek bersama Pemerintah RI dan melihat capaian Indonesia.

Persoalan ini kerap terabaikan sebab dampaknya tidak langsung terlihat. Anak balita bertinggi tubuh pendek masih dapat beraktivitas fisik normal.

Banyak penelitian menunjukkan, anak-anak bertubuh pendek perkembangan otaknya tidak optimum dengan akibat menurunkan kecerdasan serta mengalami gangguan metabolisme dan pertumbuhan fisik. Dalam jangka panjang, kemampuan kognitif dan prestasi belajar rendah, lebih mudah sakit, dan meningkatkan risiko penyakit degeneratif dengan akibat kalah bersaing di tempat kerja. Secara nasional, dampaknya pada rendahnya produktivitas nasional dan daya saing terhadap bangsa lain.

Anak balita pendek menggambarkan masalah kurang gizi kronis. Penyebabnya, antara lain, kesehatan fisik dan kesiapan reproduksi ibu atau calon ibu, saat janin di dalam kandungan, dan setelah anak lahir hingga usia lima tahun.

Gizi kronis memperlihatkan masalah lebih luas dan dalam dari hanya sekadar kekurangan gizi. Ada masalah kemiskinan, akses ibu pada informasi dan pendidikan, perilaku masyarakat, seperti mendorong perkawinan usia anak.

Menurut Kementerian Kesehatan, hanya 30 persen penyebab anak balita karena masalah kesehatan. Sisanya disebabkan, antara lain, ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, kemiskinan, masalah sosial, dan pendidikan. Salah satu program dari empat program prioritas Kementerian Kesehatan 2014-2019 ialah menurunkan angka prevalensi anak balita pendek dan penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi.

Dari berbagai penyebab masih tingginya jumlah anak balita pendek, kita melihat prevalensi kejadian tidak bisa turun apabila penanganannya hanya dengan memberi makanan tambahan kepada ibu hamil, memberi ASI eksklusif kepada bayi hingga usia enam bulan, dan memastikan anak mendapat cukup gizi hingga usia dua tahun yang merupakan periode emas pertumbuhan.

Kerja lintas sektoral harus dilakukan, mulai dari menyediakan tenaga kesehatan penolong persalinan, menyediakan air bersih dan sanitasi, memberi informasi oleh tenaga terlatih bagi calon ibu, kemampuan mengakses pangan bergizi, hingga pendidikan.