KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Sejumlah keluarga korban insiden KM Sinar Bangun, yang tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara, berdoa dan menaburkan bunga di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Sumut, Selasa (3/7/2018). Operasi SAR Basarnas berakhir Selasa dan akan dilanjutkan pemantauan dari melalui tim dari Pos SAR Parapat. Hingga kemarin, 164 dilaporkan hilang, 21 selamat, dan tiga tewas.

Ingatan historis tentang bangsa pelaut, dipadu jiwa bahari, dan visi tol laut, poros maritim, niscaya menggugah semangat kejiwaan kita tentang jati diri bangsa.

Jati diri bangsa ini akrab dengan air, dahulu, sekarang, dan nanti. Namun, musibah Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara, disusul musibah terdamparnya KM Lestari Maju di perairan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, yang menyebabkan 26 orang tewas, memperlihatkan berbagai sisi yang mengusik jargon kebaharian patriotik itu.

Ternyata untuk mewujudkan berbagai semboyan indah itu ada pekerjaan rumahnya. Ada disiplin, tuntutan profesionalitas, dan tentu saja investasi. Hampir dua pekan silam, tatkala memberi catatan tentang upaya mengevakuasi KM Sinar Bangun, kolom ini menyinggung salah satu investasi yang perlu dilakukan, yakni terkait teknologi penyelamatan korban saat terjadi musibah.

Ini kita singgung mengingat musibah masih acap kali terjadi, baik oleh faktor cuaca buruk maupun lain, serta makin meningkatnya mobilitas warga, sementara perairan kita demikian luas dan tidak sedikit pula yang sangat dalam. Meski logistik yang sarat dengan teknologi, adalah elemen penting dalam menjamin keamanan dan keselamatan transportasi perairan, tetapi sebenarnya ada sejumlah faktor lain yang tak kalah penting. Bahkan, menurut prioritas ada di posisi hulu, yaitu kompetensi atau profesionalisme kita menangani pelayaran rakyat ini.

Prioritas kita sekarang adalah mengevakuasi korban KM Lestari Maju dan memberikan layanan terbaik kepada keluarga korban. Namun, kita juga mesti segera memeriksa kondisi kapal motor yang masih dipakai untuk memberi jasa angkutan pelayaran. Terlalu tuakah kapal untuk dioperasikan? Bagaimana kelengkapan keselamatannya? Selain perangkat keras, yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita mengoperasikan armada kapal motor itu. Mumpung masih dekat dengan saat kejadian, musibah berturut di danau dan laut—selain fakta musibah—jadi momen tepat untuk mengangkat pertanyaan terkait dengan manajemen penyelenggaraan moda transportasi ini.

Sekadar mengingat sosok KM Sinar Bangun, tebersit pertanyaan apakah desain kapal itu tidak terlalu jangkung sehingga mudah oleng saat diempas ombak besar atau angin kencang?

Pertanyaan lain, sudah ketatkah kita mengawasi jumlah penumpang kapal? Musibah akibat kelebihan muatan menjadi kerisauan besar. Kecermatan membuat manifes mestinya menjadi disiplin awal untuk mengetahui beban kapal. Saat ada musibah tak jarang dilaporkan, jumlah penumpang berlebih daripada yang tertera di manifes. Dua musibah kapal terakhir kiranya lebih dari cukup untuk meneguhkan komitmen kita segera memperbaiki mutu jasa pelayaran. Pembuat kapal perlu meninjau ulang desain kapalnya. Otoritas jasa pelayaran rakyat juga perlu lebih tegas menegakkan disiplin operator kapal.