Darius Rucker

Sejarah itu tertunda, atau batal karena sesuatu yang tak terduga, oleh siapa pun. Jepang seharusnya menjadi wakil (satu-satunya dari) Asia (dan Afrika) pada perempat final Piala Dunia 2018 menaklukan timnas peringkat tiga FIFA, Belgia.
Ketakterdugaan itu terjadi ketika bek Belgia Jan Vertonghen melambungkan bola dari sisi kanan gawang Jepang ke area berbahaya (depan gawang), namun ternyata bola itu tak terjangkau oleh siapa pun termasuk Eiji Kawashima, kiper Jepang, dan "secara kebetulan," menurut komentar Alan Shearer, masuk ke ujung kiri gawang Jepang.

REUTERS/MURAD SEZER

Sayap serang Belgia, Nacer Chadli (22), mencetak gol pada menit terakhir yang memupuskan harapan Jepang lolos ke perempat final Piala Dunia 2018 pada babak 16 besar di Rostov Arena, Rostov-on-Don, Rusia, Selasa (3/7/2018) dini hari WIB.

Itulah gol yang cukup "ajaib", menjadi rekor bola lambung tertinggi (18,6 meter) sejak Piala Dunia 1966, yang akhirnya bukan hanya mengubah skor menjadi 1-2 bagi Belgia, tetapi juga menjadi momentum kebangkitan generasi emas negeri yang terbelah dua bangsa itu untuk melewati fase knock-out pertama.
Hal serupa terjadi pada pada pertandingan Swedia lawan Swiss, yang dalam banyak perhitungan Swiss diperkirakan akan mengungguli kesebelasan Nordik yang harga total pemainnya yang "termurah" di antara semua peserta Piala Dunia 2018.

Namun ternyata, Swedia menang dan lolos ke perempat final, lewat satu-satunya gol yang dicetak Emil Forsberg menit ke-66. Bukan. Saya kira papan skor keliru mencatat nama pemain nomor punggung 10 itu, karena sesungguhnya itu adalah gol bunuh diri (own goal) karena ia menyentuh lebih dulu pemain nomor 5 Swiss, Manuel Akanji, sebelum menjebol gawang Yann Sommer. Sebuah ketakterdugaan atau "kebetulan" yang lain? Tentu saja.

AFP/PIERRE-PHILIPPE MARCOU

Striker Uruguay, Edinson Cavani, merayakan gol yang dicetaknya ke gawang Portugal pada babak 16 besar Piala Dunia 2018 di di Stadion Fisht, Sochi,Minggu (1/7/2018) dini hari WIB

Bagaimana kemudian kita sebagai penonton menilai kejadian itu? Jepang yang salah strategi dan sial, atau Belgia yang menang bukan hanya karena strategi dan materi juga terutama karena keberuntungan (luck)? Swiss yang hebat itu tiba-tiba hilang kehebatannya, atau Swedia yang menang "beruntung"?

Bagaimana dengan saat Korea Selatan memaksa Jerman Barat kalah 2-0 dan membuatnya terbenam di juru kunci. Islandia yang hanya menguasai 24 persen pertandingan menahan imbang Argentina, Rusia yang sebelumnya dihajar 3-0 oleh Uruguay malah menaklukan raksasa Spanyol untuk mencatat sejarah, masuk perempat final pertama kalinya.

Kejadian semacam itu tentu saja terjadi berulang kali dalam ajang sepakbola mana pun, dan umumnya orang –penonton dan pengamat—menganggap hal tersebut sebagai "kelumrahan": itulah sepakbola sesungguhnya. Faktor "kebetulan" dan "keberuntungan" adalah variabel independen yang punya pengaruh desisif dalam permainan, sepakbola, bahkan hampir semua olahraga pertandingan. "Sudah pasti," ujar Don Shula, pelatih ternama Amerika, "keberuntungan sangat penting dalam sepakbola".

REUTERS/LUCY NICHOLSON

Kiper Korea Selatan, Cho Hyun-woo, menghalau bola yang akan disundul penyerang Swedia, Marcus Berg, pada penyisihan Grup F Piala Dunia 2018 di Stadion Nizhny Novgorod, Rusia, Senin (18/6/2018).

"Tak ada gunanya semua prediksi. Percuma membuat spekulasi, karena tak ada yang terpahat di atas baru dan segalanya dapat berubah setiap saat dalam sepakbola." Kata-kata peraih lima Balon d'Or Ronaldo ini menjadi penegas bagaimana sepakbola adalah sebuah hidup yang sama sekali tidak dapat dihitung secara matematis apalagi statistis. Bukan hasil yang didapat di atas meja perhitungan, tapi dari lakon di lapangan. Tempat di mana semua perhitungan cerdas dapat diabaikan, dan seekor gurita, Paul di Piala Dunia 2014 dan Regina di 2018, lebih dipercaya karena ia membuat "ramalan" yang jauh lebih jitu, ketimbang semua pengamat atau teori.

 Hidup dengan kesalahan

Ketika sebuah peristiwa, gejala atau kehidupan itu sendiri dipercaya dan dihayati lebih dari sekadar dianalisa atau diperhitungkan, sebenarnya mereka yang ada di dalamnya berada dalam realitas yang tak (seluruhnya) logis. Logos atau akal sehat hanya bekerja pada bagian atau mungkin level/tahap tertentu. Ada hal yang tak masuk atau di luar akal ternyata turut menentukan apa yang kita lakukan atau terjadi di lapangan.

Satu faktor desisif yang tak logis (unlogic) atau di atas (beyond) kenyataan aktual (factual reality) yang sejarah manusia menyebutnya sebagai hal yang mistis, atau bisa juga bersifat magis. Saya kira, hampir tidak ada bangsa atau negara di atas bumi ini, terlebih bangsa bahari seperti negeri kita, yang luput dari pemahaman juga penghayatan hidup yang diselimuti mistik tersebut.

FIFA.COM

Penjaga gawang Eslandia Hannes Halldorsson menahan penalti bintang Argentina Lionel Messi pada Sabtu (16/6/2018), di Stadion Spartak, Moskwa, Rusia. Kegemilangan Halldorsson membuat Eslandia mampu menahan finalis Piala Dunia 2014 Argentina.

Termasuk sepakbola. Karena di dalam hidup seperti itu, perhitungan tertajam atau terinci bagaimana pun tidak mungkin meluputkan manusia dari kesalahan, satu hal yang selalu kita hindari namun selalu terjadi dan ternyata berperan dalam membentuk peristiwa, juga sejarah kita. Kesalahan adalah inti lain dari kehidupan, bahkan barangkali ia identitas lain (identik dengan) hidup itu sendiri. Hidup ternyata adalah sejumlah kesalahan yang secara nurtural kita mainkan. Bila hidup itu seni, dia adalah seni memainkan kesalahan.

Bagi pelatih legendaris klub Arsenal, Inggris, Arsene Wenger, sepakbola –sebagaimana sebuah tarian—adalah karya seni. Ia tercipta ketika sepakbola dimainkan dengan (cara yang) benar. Artinya, ketika sepakbola (hidup) itu dijalankan secara sejati (benar), ia menjadi seni. Siapa pun mafhum, kesenian menempatkan perhitungan eksak atau matematis dalam porsi yang tidak menentukan, di samping –katakanlah—faktor emosi (perasaan), hati (intuisi) atau tubuh. Seni adalah hidup yang tak terduga, adalah salah satu ekspresi dari kandungan mistik seseorang.

Dalam kesenianlah, kesalahan menjadi bagian integral bahkan kerap jadi kelebihan dalam sebuah karya seni. Dalam sepakbola? Pemain dan pelatih legendaris asal Belanda yang mengucapkannya, "Sepakbola adalah permainan kesalahan,"game of mistakes, "siapa melakukan kesalahan paling sedikit dia memenangkan pertandingan". Siapa yang mampu memainkan kesalahan, membuatnya tereduksi habis atau memilinnya justru jadi kelebihan, dia yang memenangkan pertarungan (hidup).

AP PHOTO/RICARDO MAZALAN

Bintang Argentina, Lionel Messi, mencoba menguasai bola dalam laga kedua Grup D Piala Dunia 2018 melawan Kroasia, Kamis (21/6/2018), di Stadion Nizhny Novgorod, Rusia. Di laga itu, Argentina menelan kekalahan 0-3.

Prinsip seperti itu juga yang jadi dasar strategi pelatih fenomenal Liverpool, Jurgen Klopp yang yakin, "sepakbola adalah olahraga yang tak dapat kamu mainkan tanpa kesalahan". Dengan kesalahan-kesalahan itulah, seseorang harus hidup (play), bukan untuk tertaklukan tapi justru untuk memenangkan. Kesalahan yang terpilin menjadi kekuatan adalah modal dasar ketakterdugaan, awal dari "keberuntungan", dimensi ekspresional dari mistisisme, mistika sepakbola.

Bukankah begitu pula sebuah gol, sebagai tanda atau momen kemenangan yang selalu diselebrasi berlebihan, terjadi dalam situasi yang selalu tak terduga? Atau dengan kata lain, gol (kemenangan) tercipta dalam peristiwa yang tidak bisa secara pasti diperhitungkan. Sehebat apa pun pemain yang menciptakan gol itu. Walau akal sehat mati-matian menolaknya, ternyata faktor mistiklah, dari ketakterdugaan hingga keberuntungan, yang justru menjadi penentu utama.

Agama sepakbola

Mistisisme dalam arti yang longgar, sekurangnya tak hanya dalam pengertian religius atau spiritual saja, memiliki tempat tersendiri dalam sejarah peradaban dan juga kebudayaan manusia. Ia menjadi tempat pelbagai bentuk misteri (natural maupun nurtural) sekaligus faktor-eksplisit di mana kemajuan manusia tercipta. Kemajuan yang dilakukan manusia dengan tingkat keyakinan yang tinggi, katakanlah, terhadap nilai-nilai atau cita-cita yang mulia atau kepercayaan pada satu hal (yang mistis-supranatural, misalnya) penentu final dari semua usaha manusia.

Keyakinan mistikal inilah driver atau pendorong terkuat terciptanya berbagai temuan hebat dan perjuangan dahsyat dalam sejarah bangsa-bangsa. Dengannya, seseorang bisa menafikan atau melupakan hal-hal lain, bahkan yang begitu dekat dengan kita (kerabat, sahabat, keluarga atau kampung halaman) demi tercapainya nilai luhur/mulia tadi.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI

Suporter tim nasional Argentina membawa replika kepala pemain legenda Diego Maradona menjelang pertandingan babak 16 besar Piala Dunia 2014 antara La Albieceleste dan Swiss di Arena Corinthians, Sao Paulo, Brasil, Selasa (1/7/2014). Suporter Argentina berharap Lionel Messi dan kawan-kawan mengulang era Maradona dengan mempersembahkan gelar ketiga juara dunia.

Semua orang, pecinta sepakbola terutama, mafhum apa yang dikatakan pemain terbaik sejagat saat ini, Lionel Messi, di atas adalah sebuah kenyataan. Bila tidak dengan keyakinan yang melampaui sekadar perhitungan akal, tentu Messi (atau siapa pun) tak akan melakukan pengorbanan yang begitu luar biasa. Menghabiskan 13-14 jam sehari di masa remaja hanya untuk berlatih menendang atau mengolah bola.

Begitupun apa yang dikatakan penyanyi-penulisa lagu kondang cum fans-berat sepakbola, Darius Rucker di atas, menjadi salah satu ilustrasi dari kenyataan mistikal ini. Begitu dalamnya seseorang tenggelam dalam lautan sepakbola, seolah ia bagian integral bahkan spiritual kita. Ia seperti agama. "Selebihnya cuma teori," ujar Josef Herbeger, pemain dan pelatih legendaris Jerman yang membawa Jerman pertama kali memenangi Jules Rimet pada 1954, dalam final yang dikenang sebagai "Keajaiban Bern".

Maka ketika tiga miliar manusia, hampir setengah penduduk dunia, atau mungkin dua pertiga penduduk dewasanya, terpaku pada layar atau lapangan di mana 22 manusia –secara menggelikan—memperebutkan sebuah bola, apa sebenarnya yang terjadi? Sepakbola ada sihir, magic, tingkat super tinggi, yang tak hanya mengisap Rp 170 triliun dana negara Rusia, triliunan lagi dari sponsor dan penonton, tapi juga menghipnotis para pemimpin negara dan eksekutif-top perusahaan ternama hingga pemulung kertas di sudut Jakarta.

Sebuah mistika yang menurut penganut teori konspiratif secara sengaja diciptakan sebagai candu, untuk membuat dunia berpaling dari kesusahan, krisis, bencana termasuk rekayasa licik super elite dunia untuk membuat dunia lupa pada rancangan licik mereka menguasai dunia itu. Ajang di mana totalitarianisme akut dari wasit kita selebrasi tanpa reserve, seperti membela keyakinan kita yang tak terbantahkan: sepakbola. Bagaimana lagi, jika "agama terbesar di dunia saat ini ternyata bukan lagi sebuah agama".