Posisi kalangan milenial secara bertahap mendapatkan atensi dan sorotan, terkait kontribusi mereka terhadap pembangunan negara bangsa ke depan. Terlebih mulai 2019, kalangan milenial mulai diproyeksikan akan mengisi berbagai macam posisi strategis, baik sektor publik maupun sektor swasta.

Mereka diharapkan akan membawa restorasi yang lebih baik bagi Indonesia karena mereka adalah generasi yang dibentuk dan dididik dengan berbagai macam fasilitas memadai. Umumnya mereka berada dalam dua posisi dilematis, antara ingin menjadi eksis atau ingin menjadi narsis dalam dunia politik. Eksis secara politik itu bisa diartikan sebagai upaya menjadikan politik bentuk arena pencarian jati diri.

Kalangan milenial melihat ini sebagai peluang melepaskan diri dari stigma sebagai generasi protektif. Mereka lebih mengedepankan berjejaring (networking) dalam membangun identitas dan representasi politik yang kemudian dimobilisasi jadi kerumunan (crowd) yang intinya menekan secara politis secara terus-menerus.

Politik anak muda sekarang ini memang berupaya untuk membangun keriuhan yang tujuannya menarik simpati yang lebih besar, baik secara luring maupun daring. Meskipun masih dikatakan sebagai permulaan, model seperti ini diperkirakan akan membesar pengaruhnya karena kalangan milenial lebih menyukai praktik informal dalam praktik formal. Sementara bagi kalangan milenial yang memilih jalur politik untuk narsis akan cenderung melihat politik sebagai bentuk pengakuan diri maupun kolektif. Mereka berupaya sebisa mungkin untuk diakui sebagai orang/kelompok penting tanpa peduli ideologi ataupun kepentingan.

Kondisi itulah yang sebenarnya menjadikan posisi kelompok milenial sendiri menjadi rentan karena mereka dengan mudah disusupi berbagai macam kepentingan tertentu. Adanya euforia dan luapan emosi yang belum stabil di kalangan milenial inilah yang kadang kala dimanfaatkan betul sebagai motor gerakan politik. Mereka ingin narsis, tak peduli apakah kepentingan politik yang didukung itu benar atau salah. Idealisme yang berkembang di kalangan mereka pada umumnya dibenturkan dengan narasi patriotisme ataupun narasi heroisme sebagai bentuk pandangan dasar politik mereka.

Tentunya narasi media konvensional menjadi preferensi utama mereka, tetapi sebenarnya yang lebih utama bagi kalangan milenial adalah pengaruh media sosial. Seketika pula mereka bisa terbius dengan kisah kepahlawanan di masa lampau untuk bisa diteruskan ke era sekarang ini. Namun, kadang kala mereka tidak melihat konteks dengan konten politik yang ingin mereka perjuangkan.

Hal itulah yang sering terjadi ketika kalangan milenial justru menjadi pahlawan kesiangan dengan semangat politik yang mereka dambakan. Ditambah lagi mereka juga terbius dengan labelisasi agen perubahan yang membuat kalangan milenial ini menjadi cepat besar kepala.

Kondisi itu bisa menjadi blunder bagi kalangan milenial yang ingin menciptakan perubahan karena acap kali mereka sangat canggih dalam berbicara mengenai politik secara futuristik, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan yang sifatnya menyangkut masalah kekinian, mereka seperti kehilangan kalimat untuk disampaikan meskipun mereka sendiri bisa menjawabnya.

Terbelah

Namun, hal tersebut dibarengi dengan mulai tingginya minat kalangan milenial masuk ke dalam arena politik dengan alasan untuk menyelamatkan bangsa. Tentunya idealisme tersebut patut dihargai karena mereka memiliki kesadaran untuk ikut andil dalam memperbaiki negeri ini. Munculnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai politik anak muda dalam Pemilu 2019 juga menjadi indikator bahwa sudah saatnya estafet kepemimpinan berganti kepada generasi muda.

Meski demikian, setelah mencermati dua perhelatan besar di negeri ini, yakni Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan pilkada serentak  2018 yang berlangsung di 171 daerah, tampaknya kita perlu menimbang kembali orientasi politik generasi milenial karena sebagian besar mereka sendiri terbelah antara menjadi bagian dari gelombang polarisasi politik atau menjadi gelombang transformasi politik.

Dalam kedua peristiwa pemilu tersebut, sangat jelas bahwa generasi milenial adalah pelaku dan juga korban atas praktik politik praktis yang berlaku di akar rumput. Mereka seolah-olah terombang-ambingkan dengan geliat politik yang ada tanpa mengerti substansi yang mereka pahami. Umumnya mereka dengan mudah terpengaruh secara emosional dan psikologis sehingga mudah berontak terhadap isu politik yang sifatnya sensitif. Terlebih lagi itu bisa menjadikan kalangan milenial saling serang antarsesamanya hanya karena perbedaan pilihan politik.

Dalam Pemilu 2019, generasi milenial mungkin tidak satu suara penuh dalam mendukung pasangan calon tertentu dan mereka juga sebenarnya sangat fluktuatif dalam menyikapi dinamika politik yang ada. Namun, yang jelas orientasi politik mereka akan tertuju pada figur atau calon yang tidak bertindak sebagai "bapak", tetapi sebagai "teman"  bagi mereka. Prasyarat itu menjadi mutlak bagi kandidat ataupun milenial itu sendiri bahwa masalah politik bukanlah masalah kompetisi, melainkan lebih pada membangun relasi.

Ke depan, peran mereka jelas akan berpengaruh, hanya mereka perlu dibina dan diselaraskan suaranya pada pilihan dan preferensi politik yang tepat. Jangan sampai potensi politik generasi milenial ini diabaikan karena mereka adalah generasi penerus pemimpin bangsa ke depan.