
Suasana pelayanan taksi bandara di Terminal 3, Bandara Soekarno Hatta, Senin (16/7/2018) malam.
Rajakan Pengangkut Umum
Pada April lalu, ketika saya naik taksi dari Stasiun Kereta Api Bandung, sopir taksi curhat sudah menunggu empat jam sejak subuh. Rupanya taksi tersebut menunggu kedatangan kereta api malam dari Jawa Tengah/Jawa Timur yang semua tiba terlambat waktu itu.
Pada saat keluar stasiun, taksi tadi masih harus membayar biaya parkir Rp 12.000. Artinya, tarif parkir taksi disamakan dengan tarif mobil pribadi. Sopir taksi yang malang, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Saya langsung membayangkan bagaimana apabila tarif parkir taksi dan moda pengangkut umum lain tidak dikenai biaya. Bayangan saya berlanjut dengan lahan parkir yang terbatas juga disediakan, terutama bagi taksi dan moda pengangkut umum lain, ketimbang dipenuhi kendaraan pribadi.
Dengan terbatas dan sulitnya parkir bagi kendaraan pribadi, saya bayangkan penumpang menuju ke atau dari stasiun akan memilih menggunakan pengangkut umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadi yang sulit parkir.
Saya juga bayangkan bagaimana jika penumpang kereta api dimanjakan dengan naik atau turun dari pengangkut umum terlindung dari panas dan hujan. Hal ini juga saya bayangkan berlaku bagi fasilitas dan layanan penghubung berbagai terminal moda transportasi publik lain: kereta api, darat, udara, laut.
Kita semua tahu bahwa salah satu tingkat layanan yang baik adalah layanan door to door dari asal sampai tujuan, termasuk fasilitas pejalan kaki yang manusiawi, seperti adanya eskalator dan elevator, ketimbang jembatan penyeberangan yang panjang dan tidak rumah pengguna.
Demikian juga pergerakan pengangkut umum bebas hambatan, tanpa terhenti lampu lalu lintas, lewat lajur khusus, dilengkapi dengan tiket terpadu dan terjangkau, dan sebagainya.
Intinya, tingkat layanan pengangkut umum harus lebih baik ketimbang kendaraan pribadi, termasuk bagi pengguna difabel. Semuanya untuk menjadikan pengangkut umum sebagai "raja" jalanan ketimbang kendaraan pribadi yang rakus ruang, rakus energi, penyebar polusi, dan seterusnya. Semoga.
BS Kusbiantoro
Kecamatan Cicendo, Bandung
Kartunis Menonjol 1950-an
Mengenang kartunis GM Sudarta yang meninggal pada 30 Juni 2018, Darminto M Sudarmo, pemerhati humor, menulis di Kompas, 7 Juli 2018: "Oom Pasikom dan Tenggang Rasa". Dituturkan, "Tahun 1950-an ada beberapa kartunis menonjol, seperti Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke SD (Abadi)".
Sekadar meluruskan, sedekat yang saya ingat, Ramelan itu kartunis koran Pedoman dan majalah yang "seinduk", Siasat. Ramelan biasa membubuhkan inisial RAN di sudut karyanya. Kartunis Suluh Indonesia dan koran "sekubu", Berita Minggu, adalah Deddy Soemitro.
WIRASMO W WIROTO
Pekerja Pers (1957-2004), PPI, Pekayon Jaya,
Bekasi
Tanggapan Tokopedia
Berdasarkan pengecekan lebih lanjut terhadap kasus Saudara Bambang Widodo pada surat pembaca Kompas, 27 Juni 2018, kami mohon maaf.
Pada umumnya pembelian reksa dana di Tokopedia butuh 48 jam pada hari kerja untuk diproses. Keterlambatan terjadi karena transaksi masuk setelah periode cut-off Tokopedia yang diikuti hari libur nasional pada tanggal 29 Mei 2018.
Untuk dana hasil penjualan reksa dana, Tokopedia menyediakan pilihan untuk diteruskan ke Tokocash ataupun ke Saldo Tokopedia yang nantinya bisa ditransfer ke rekening bank pengguna Tokopedia. Pada 27 Juni 2018, kami sudah menghubungi Saudara Bambang.
Elison Koenaifi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar