Saat ini, semua partai politik sibuk menyiapkan kadernya untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun, keterbatasan kader menyebabkan proses seleksi dan nominasi tidak maksimal. Padahal, mereka diharapkan dapat meningkatkan suara partai dalam pemilu mendatang.

Ini karena masa depan suatu partai politik juga ditentukan sejauh mana perolehan suara dalam pemilu: minimal melewati nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen.

Untuk memenuhi tujuan itu, partai harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Caranya dengan mencalonkan tokoh-tokoh publik dengan pendukung riil dalam jumlah banyak. Akibatnya, kepala daerah yang kalah dalam pilkada lalu pun dibujuk untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, atau DPR.

Bagi pengurus partai politik, walaupun kalah, jumlah suara yang didapatkan kepala daerah tersebut cukup mencerminkan popularitas dan pendukung yang dapat menaikkan suara partai.

Partai tetap harus berhitung apakah dukungan yang diperoleh nantinya dapat melewati nilai ambang batas. Apalagi, jumlah partai bertambah menjadi 16 partai politik di tingkat nasional dan 4 partai lokal di Aceh.

Salah satu cara mendapatkan dukungan suara pemilih sebanyak-banyaknya adalah dengan mencari sosok individu yang dikenal masyarakat. Ini tidak akan sesulit mereka yang baru terjun ke politik. Tidak heran, banyak partai politik mencari figur populer untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif.

Pendulang suara

Cara yang ditempuh partai politik untuk mendapatkan pendulang suara (vote getter) tentu tidak salah. Namun, cara ini jelas menjadi ancaman bagi proses kaderisasi kepemimpinan di partai politik ataupun kepemimpinan pemerintahan. Sayangnya, dalam proses rekrutmen politik yang dilakukan partai itu, banyak calon yang hanya populer, tetapi minus pengalaman dan kapasitas sebagai calon pemimpin.

Justru yang bermunculan kader-kader partai instan serta tidak mendalami manifesto politik partai yang mengusung mereka. Keadaan ini diperparah dengan saling bujuk sesama pengurus partai, meminta kader-kader yang sudah lama di suatu partai politik untuk pindah partai agar bisa mendapatkan nomor urut kecil dalam daftar calon. Perilaku seperti ini jelas akan melemahkan proses regenerasi dan kaderisasi partai politik.

Mengapa partai politik mencari cara mudah mendapatkan suara melalui calon vote getter ini? Kecenderungan ini cukup beralasan karena partai politik menginginkan kemenangan tanpa harus bersusah payah bekerja dan mengeluarkan uang banyak. Apalagi, dengan metode konversi suara menjadi kursi dengan metode divisor Sainte Lague pada Pemilu 2019 mendatang, suara yang diperoleh tidak akan bersisa jika dibagi sehingga sangat menguntungkan jika calon vote getter bisa mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.

Apalagi, di banyak daerah, hubungan elite dengan massa masih bersifat patron-klien. Akibatnya, budaya politik yang terbangun adalah budaya subyektif sehingga sang patron lebih mudah memobilisasi dukungan massa loyalis. Pola hubungan seperti ini banyak ditemukan di daerah perdesaan serta daerah pinggiran yang memang jadi target bagi partai politik untuk mendapatkan dukungan suara pemilih.

Kegagalan partai

Munculnya calon vote getter yang lebih diandalkan partai politik untuk meraup suara pemilih dengan cara instan adalah bukti kegagalan partai membangun konstituen ideologis mereka.

Partai politik lebih mementingkan figur dominan dalam partai ketimbang sistem ideologi partai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Padahal, dengan membangun basis konstituen ideologis, siapa pun kader yang maju sebagai calon anggota legislatif tidak menjadi persoalan. Konstituen partai harus meyakini, partai sudah menyiapkan kader-kader terbaiknya.

Fakta lain juga menjelaskan bahwa masyarakat kita jarang menjadi konstituen loyalis suatu partai politik. Umumnya pemilih di Indonesia adalah mereka yang tidak memiliki kedekatan psikologis dengan partai politik atau yang dikenal dengan identifikasi kepartaian (party identification). Justru kedekatan psikologis dan balutan emosi yang dibentuk individu kepada partai politik terletak pada siapa sosok atau figur yang mereka kagumi dalam partai tersebut. Dengan cara inilah, mereka baru bisa mengidentikkan dirinya kepada partai politik.

Jika sosok yang dikagumi ini meninggalkan partai, tidak jarang massa yang loyal kepada figur itu juga akan meninggalkan partai. Jadi, bukanlah suatu yang mengherankan jika akhir-akhir ini banyak partai politik mengaitkan figur Joko Widodo yang notabene adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai bagian dari partainya. Itu karena fakta saat ini, figur Presiden Joko Widodo adalah sosok pemimpin yang diinginkan masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan fase perkembangan partai politik menjadi modern, kekuatan figur memang tahapan awal untuk membangun soliditas partai berbasis ideologis. Namun, seiring dengan waktu, tentu ketergantungan pada kekuatan figur ini harus dialihkan pada sistem ideologi yang baik. Jangan sampai ketika figur dalam partai tersebut pergi, partai pun ditinggalkan pemilihnya.

Inilah salah satu kelemahan yang harus diantisipasi oleh partai politik dengan tidak hanya menggantungkan perolehan suara semata-mata kepada sosok vote getter. Untuk jangka panjang, partai politik harus mulai membangun pola hubungan yang rasional dengan pemilihnya berdasarkan ideologi politiknya. Melalui cara ini, kader-kader terbaik partai politik akan bermunculan dengan kapasitas dan integritasnya yang dibentuk oleh sistem ideologi yang baik.