REUTERS/SPUTNIK/KREMLIN/ALEXEI NIKOLSKY

Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dan Presiden AS Donald Trump menggelar pertemuan di Helsinki, Finlandia, Senin (16/7/2018).

Presiden Amerika Serikat Donald Trump "tunduk" kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Itu anggapan publik terhadap pertemuan di Helsinki.

Pertemuan ini sejak awal sudah menimbulkan perdebatan keras di Washington karena selain waktunya tidak tepat, Trump juga tak memiliki agenda jelas untuk dibawa dalam pertemuan.

Waktunya tidak tepat karena Departemen Kehakiman AS baru saja mendakwa 12 pejabat intelijen Rusia yang diyakini terlibat dalam intervensi Pemilu AS 2016 dengan cara meretas data komputer milik Partai Demokrat. Tujuannya, untuk melemahkan posisi Hillary Clinton dan memenangkan Trump. Total sudah 25 warga Rusia yang didakwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan penyidik khusus Robert S Mueller.

Namun, alih-alih memanfaatkan pertemuan itu untuk menekan Putin, Trump justru menyalahkan publik Amerika. Ia menyalahkan "kebodohan" pemerintahan Barack Obama yang membiarkan peretasan terjadi. Ia menyalahkan media berpengaruh di AS dan menyebutnya sebagai fake news. Trump mengecam penyelidikan Mueller yang disebutnya sebagai "perburuan". Sebaliknya, Trump memuji Putin dan meyakini kebenaran yang disampaikan Putin bahwa Rusia tak pernah mengintervensi Pemilu AS.

Politisi di kubu Republik maupun Demokrat berang dan sangat kecewa terhadap penampilan Trump di Helsinki yang "kalah wibawa" dari Putin. Ketua DPR sampai Direktur Intelijen Nasional AS menegaskan bahwa Rusia nyata-nyata telah menyerang proses demokrasi di AS. Mereka juga kecewa karena Trump tidak menekan Putin terhadap isu Ukraina, di mana Rusia menginvasi Semenanjung Crimea pada 2015 sehingga dijatuhi sanksi ekonomi. Yang ada, dalam pertemuan G-7 beberapa waktu lalu, Trump mengusulkan agar Rusia dilibatkan kembali.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi ambisi Trump yang begitu menggebu-gebu untuk merangkul sosok-sosok kontroversial seperti Putin, dan sebelumnya Kim Jong Un?

Sejumlah analisis mengungkapkan, Trump rindu untuk disebut sebagai juru damai dunia dan terobsesi mengalahkan popularitas pendahulunya, Obama, yang meraih Nobel Perdamaian pada 2009. Jika memang alasannya untuk perdamaian, lantas sulit dimengerti mengapa ia mengacak-acak hubungan dengan para sekutunya di Asia dan Eropa?

Sebelum sampai di Helsinki, Trump melecehkan NATO dan mengancam akan keluar dari blok itu. Ia juga mengecam Perdana Menteri Inggris Theresa May dan melecehkan strategi Inggris terkait Brexit. Trump juga menyerang Kanselir Angela Merkel setelah sebelumnya menginisiasi perang tarif.