Walaupun penandatanganan ini bukan merupakan langkah definitif dalam divestasi Freeport Indonesia, hal itu tetap memiliki nilai simbolik untuk mengatur detail teknis divestasi selanjutnya.

Pada wilayah detail selanjutnyalah kehati-hatian dan transparansi harus diterapkan secara total agar divestasi ini ditujukan untuk sebesar-besaranya kemakmuran rakyat.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan CEO Freeport-McMoran Inc, Richard C Adkerson (kanan ke kiri) memberikan keterangan pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2018). Freeport-McMoran Inc selaku induk usaha PT Freeport Indonesia menyatakan kesediaan untuk menjalankan sejumlah kesepakatan antara lain pembangunan smelter dan divestasi saham sebesar 51% terkait kelanjutan operasional di Indonesia.

Salah satu kritik dari keseluruhan proses yang telah dilakukan adalah tingkat kejelasan dan koherensi informasi dari negosiasi yang sudah dilakukan. Harus diakui pemerintah secara berkala memberikan informasi terkait proses negosiasi, tetapi informasi yang diberikan sering kali ambigu dan tidak sinkron.

Publik yang menyimak proses ini secara dekat, setidaknya saya, sering kali kehilangan orientasi, terutama terkait arah divestasi yang akan dilakukan. Pada satu kesempatan arah divestasi mengindikasikan akan membeli hak partisipasi (participation interest) Rio Tinto, tetapi pada kesempatan lain terlihat seolah-olah akan melakukan akuisisi langsung saham Freeport Indonesia.

Keterangan pers yang diberikan pemerintah terkait penandatanganan head of agreements (HoA) setidaknya memberi terang arah divestasi yang akan dilakukan, yakni melakukan pembelian hak partisipasi Rio Tinto dan melakukan akuisisi saham Freeport Indonesia melalui pembelian Indocooper Investama dari Freeport McMoran.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kegiatan operasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, 12 Mei 2012. Kontrak karya FI akan berakhir pada 2021 dan bisa mengajukan perpanjangan operasi paling cepat pada 2019.

Terdapat beberapa catatan penting dari arah ini. Pertama, pembelian hak partisipasi Rio Tinto tidak dapat secara otomatis diterjemahkan sebagai kepemilikan saham terhadap Freeport Indonesia. Hal ini menjadi problematik dikarenakan Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengamanatkan divestasi saham dilakukan oleh perusahaan tambang penerima konsesi, dalam hal ini Freeport Indonesia.

Kedua, proses divestasi besar seperti pada kasus Freeport Indonesia selalu melibatkan transaksi bisnis yang rumit dengan melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengalaman divestasi Freeport Indonesia sebelumnya, penting untuk mendorong keterbukaan secara penuh untuk meningkatkan pengawasan publik untuk memastikan penerima manfaat terbesar adalah rakyat Indonesia.

Hak partisipasi Rio Tinto

Arah dengan cara membeli hak partisipasi Rio Tinto dalam divestasi Freeport Indonesia mungkin merupakan langkah optimal yang dapat dilakukan, dibandingkan opsi untuk membeli saham Freeport Indonesia dari Freeport Amerika (Freeport McMoran) secara langsung.

Saya menangkap salah satu rasional dari kebijakan ini, bahwa akuisisi langsung saham Freeport Indonesia tidak membuat Pemerintah Indonesia lantas menguasai porsi terbesar dari produksi tambang. Hal ini disebabkan Freeport Indonesia hanya menguasai 60 persen hasil produksi, sedangkan 40 persen lainnya adalah hak Rio Tinto.

KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Seorang staf PT Freeport Indonesia, Kamis (2/2/2012) tengah melihat proses flotasi atau pengapungan mineral tambang seperti tembaga, emas, dan perak. Proses itu dilakukan untuk memperoleh konsentrat yang terdiri dari tembaga, emas, dan perak. Konsentrat itu kemudian dialirkan ke Pelabuhan Amamapare, dikeringkan, dan kemudian dikirim kepada pabrik-pabrik pencoran.

Penguasaan 60 persen hasil produksi ini masih harus dibagi lagi dengan Freeport McMoran sebagai pemegang saham lainnya di Freeport Indonesia sehingga hasil ekonomi yang didapat berpotensi menjadi tidak optimal.

Meski demikian, rute divestasi dengan membeli hak partisipasi Rio Tinto menjadi problematik. Hak partisipasi Rio Tinto merupakan joint venture (JV) yang distrukturkan secara kontraktual. Pada model ini para pihak tidak mendirikan badan hukum untuk melaksanakan kegiatan usahanya, tetapi menstrukturkan berdasarkan kontribusi terhadap biaya yang dikeluarkan untuk kemudian membagi hasil dari hasil produksi.

Secara sederhana, Freeport McMoran mengijonkan 40 persen hasil produksi kepada Rio Tinto untuk menopang pembiayaan. Oleh karena itu, 40 persen yang dimaksud bukan merupakan kepemilikan saham terhadap Freeport Indonesia, melainkan kepemilikan atas 40 persen dari total hasil tambang yang diproduksi.
Persoalan akan muncul jika membaca UU Minerba secara literal.

Hal ini disebabkan divestasi yang dimaksud adalah divestasi terhadap Freeport Indonesia sebagai pemegang konsesi. Karena membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto, bukan berarti membeli 40 persen saham Freeport Indonesia.

Dalam situasi ini, menjadi penting untuk melenturkan pembacaan terhadap kewajiban divestasi di UU Minerba dengan mengontekskannya ke dalam filosofi yang lebih luas terkait dengan divestasi sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945. Hakikat dasar dari dikuasai negara tidak terbatas pada penguasaan kontrol pada perusahaan yang diberikan konsesi semata, tetapi lebih dari itu konteks kontrol lebih menitikberatkan pada kontrol terhadap hasil tambang.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai (tengah), bersama dua Pemantau Komnas HAM Agus Suntoro (kiri) dan Andri Wahyu menunjukkan buku laporan atas hak ulayat masyarakat adat Amungme terkait beroperasinya PT Freeport saat Komnas HAM mengadakan jumpa pers di kantor mereka di Jakarta, Jumat (24/2/2017). Dalam kesempatan itu mereka merekomendasikan adanya ganti rugi tanah masyarakat dan mendorong agar masyarakat adat Amungme mendapat saham PT Freeport secara cuma-cuma.

Saya berpendapat, penguasaan hak partisipasi juga merupakan bentuk kontrol langsung dari pengertian dikuasai negara, di samping juga model penguasaan saham dari perusahaan pemegang konsesinya.

Selain itu, struktur JV pada umumnya selalu memuat klausul bagi pihak pemegang hak partisipasi untuk turut serta dalam pengambilan keputusan strategis sehingga secara tidak langsung pemegang hak partisipasi juga memiliki kontrol terhadap perusahaan pemegang konsesi.

Tampaknya juga pemerintah hanya menggunakan ini sebagai strategi antara, di mana pemerintah akan mengubah JV kontraktual ini menjadi JV entitas, di mana hak partisipasi yang dibeli akan dikonversikan menjadi saham di dalam Freeport Indonesia.

Keterbukaan total

Catatan kedua yang terpenting adalah mendorong transparansi secara maksimal. Perlu dicatat bahwa divestasi saham Freeport Indonesia bukan baru pertama kali ini dilakukan. Sebelumnya Freeport Indonesia telah melakukan divestasi pada akhir tahun 1991, sebesar 10 persen, kepada entitas Indonesia. Proses divestasi itu diwarnai pencarian rente, yang dilakukan "pebisnis Indonesia penting dengan koneksi Jakarta". (Danise Leith, 2002)

Ironisnya, tujuan divestasi menjadi gagal karena ujung akhir dari akrobat pencarian rente ini adalah kembalinya saham yang sudah didivestasikan kepada Freeport McMoran melalui kepemilikan saham di Indocopper Investama. Tentu saja proses yang lalu harus menjadi pelajaran penting bagi divestasi kali ini.

Saya dapat membayangkan pemerintah/Inalum akan mencari pembiayaan yang cukup signifikan untuk menutupi biaya pembelian saham Indocopper dan hak partisipasi Rio Tinto yang mencapai 3,85 miliar dollar AS. Hal ini tentu melibatkan skema yang rumit di antara banyak pihak.

KOMPAS/NOBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIA

Suasana tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Mimika, Papua, Jumat (16/7/2017). PT Freeport menginvestasikan 4 miliar dollar AS untuk membangun tambang bawah tanah dan akan menambah 15 miliar dollar AS jika perpanjangan kontrak disetujui pemerintah.

Pada wilayah inilah pemerintah harus terbuka secara total melakukan penjelasan mengenai, antara lain, opsi yang diambil, siapa saja yang terlibat, bagaimana keterlibatannya. Keterbukaan ini untuk menghindari praktik pencarian rente yang merugikan rakyat Indonesia.

Pada sisi lain, Freeport McMoran juga dituntut untuk menunjukkan integritasnya dengan sikap tegas menolak para pencari rente, seperti yang sudah ditunjukkan pada skandal yang melibatkan Setya Novanto dan Riza Chalid beberapa waktu lalu.

Hal yang harus diingat oleh Freeport McMoran dan perusahaan lain dengan investasi jangka panjang adalah strategi membeli patronase politik pada era demokrasi di Indonesia saat ini bukan strategi yang tepat, karena penguasa datang dan pergi melalui pemilihan umum.

Terlebih-lebih dengan kuatnya institusi pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan adanya Foreign Corrupt Practice Act di banyak negara maju—yakni undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan dari negara-negara tersebut untuk melakukan penyuapan atau korupsi di negara di luar negara mereka—yang membuat risiko yang ditempuh tidak sebanding dengan hasil yang ingin dicapai.

Oleh karena itu, pengalaman Freeport pada divestasi 1991 dengan tunduk pada tekanan pencari rente yang dekat dengan kekuasaan tidak boleh terulang kembali.