Pada 12 Juli 2018 PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah menandatangani heads of agreement dengan Freeport McMoran serta Rio Tinto yang disaksikan oleh Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan Menteri BUMN.

Inti kesepakatan adalah proses yang harus dijalankan agar Indonesia melalui Inalum bersama-sama perusahaan patungan antara Inalum dan Pemda Papua memperoleh 51 persen saham di PT Freeport Indonesia (PT FI).

Bukan jual-beli

Satu hal yang perlu diluruskan untuk kepentingan masyarakat adalah heads of agreement (HoA) bukanlah perjanjian jual-beli saham. Pasca-HoA ditandatangani tidak menjadikan Inalum serta-merta menjadi pemilik 51 persen saham di PT FI. Fakta ini penting agar tidak ada euforia berlebihan di masyarakat seolah FI secara mayoritas telah berada di tangan Ibu Pertiwi.

HoA pada intinya mengatur hanya dua hal penting. Pertama adalah struktur transaksi divestasi, dan kedua adalah nilai transaksi divestasi. Langkah lanjutan dari HoA adalah membuat perjanjian yang lebih rinci terkait jual-beli saham (participating interest), perjanjian para pemegang saham (shareholder agreement) dan exchange agreement. Di sinilah adagium para ahli hukum berlaku bahwa the devil is on the detail (setannya ada pada detail). Para ahli hukum yang mewakili Inalum harus piawai dan cerdas, tidak kalah oleh ahli hukum yang disewa Freeport McMoran (FM) dan Rio Tinto.

Untuk diketahui, kemunculan Rio Tinto disebabkan adanya perjanjian pada 11 Oktober 1996 dengan PT FI dalam suatu perjanjian yang disebut sebagai participation agreement. Berdasarkan perjanjian tersebut, Rio Tinto memasukkan dana ke PT FI. Sebagai imbalan, Rio Tinto akan mendapatkan 40 persen jumlah produksi pada level tertentu hingga 2022. Setelah 2022, jumlah yang didapat adalah 40 persen dari keseluruhan produksi dari PT FI.

Penulis tidak mengetahui secara jelas kapan perjanjian ini akan berakhir. Meski penulis tidak melihat isi perjanjian antara PT FI dan Rio Tinto, dugaan penulis participation interest inilah yang dapat dikonversi oleh Rio Tinto menjadi saham di PT FI. Melalui proses inilah Inalum membeli participating interest Rio Tinto dan pada gilirannya mendapatkan saham di PT FI.

Harga yang harus dibayarkan oleh Inalum atas participating interest kepada Rio Tinto berdasarkan HoA sebesar 3,5 miliar dollar AS. Sementara sisa 350 juta dollar AS digunakan oleh Inalum untuk membeli saham yang dimiliki FM di PT FI melalui afiliasinya, Indocopper Investama, sebesar 5,616 persen.

Pada akhirnya kepemilikan saham di PT FI menjadi FM 48,78 persen, Inalum 5,616 persen, serta perusahaan patungan antara Inalum dan Pemda Papua sebesar 45,616 persen. Dari tiga pemegang saham ini, yang terafiliasi dengan Pemerintah Indonesia total menjadi 51,232 persen, sementara FM 48,78 persen.

Perlu diketahui berbagai langkah dalam HoA untuk divestasi akan dilakukan apabila memenuhi tiga syarat yang telah disepakati Pemerintah Indonesia dengan FM pada 29 Agustus 2017 terpenuhi. Pertama, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT FI telah mendapatkan perpanjangan dari pemerintah hingga 2041. Kedua, pembangunan smelter telah dilakukan PT FI. Terakhir, terdapat kepastian jaminan pajak dan royalti yang dimintakan oleh FM kepada Pemerintah Indonesia.

Masalah

Meski kehadiran HoA perlu disambut dengan baik, proses divestasi yang diatur dalam HoA menyisakan sejumlah masalah.  Pertama soal perpanjangan IUPK hingga 2041. Pemerintah ada pada sikap perpanjangan IUPK 2 x 10 tahun akan diberikan apabila berbagai perjanjian untuk divestasi sudah efektif berlaku.

Sementara dari sisi manajemen Inalum yang dikehendaki adalah berbagai perjanjian ditandatangani apabila perpanjangan IUPK telah diberikan pemerintah. Ini bisa dipahami karena manajemen bersepakat dengan FM dan Rio Tinto untuk harga yang tercantum dalam HoA sebesar 3,85 miliar dollar AS atas basis operasional PT FI hingga 2041.

Jika tidak ada perpanjangan IUPK, biaya sebesar 3,85 miliar dollar AS merupakan angka yang fantastis mengingat izin PT FI akan berakhir 2021. Jika jumlah ini yang dibayarkan tanpa adanya kepastian perpanjangan, manajemen Inalum bukannya tak mungkin di kemudian hari dianggap terlibat dalam tindak pidana korupsi karena telah mengakibatkan kerugian negara.

Masalah kedua, terkait dengan pernyataan dari FM dan Rio Tinto ke otoritas pasar modal yang menyatakan bahwa HoA bukanlah perjanjian yang mengikat (non-binding agreement). Sementara Menteri BUMN mengatakan, perjanjian telah mengikat para pihak yang menandatangani.  Kejelasan untuk ini dibutuhkan mengingat antara perjanjian yang binding dan non-binding memiliki konsekuensi hukum yang berbeda jika HoA disengketakan di depan lembaga penyelesaian sengketa.

Secara hukum akan lebih baik apabila HoA tidak dianggap sebagai perjanjian yang mengikat. Alasannya, karena angka 3,85 miliar dollar AS itu bukanlah harga mati. Harga ini masih merupakan harga indikasi yang dapat dinegosiasikan oleh para pihak.

Ketiga, jika proses divestasi ini telah selesai dan Indonesia (melalui Inalum dan perusahaan patungan Inalum dengan Pemda Papua) memiliki 51 persen saham, apakah kepemilikan mayoritas saham berarti memiliki pengendalian terhadap jalannya perusahaan?

Bisa saja Indonesia adalah pemilik saham mayoritas, tetapi tidak memiliki hak untuk mengendalikan perusahaan. Ini terjadi apabila dalam anggaran dasar ditentukan pembuatan keputusan di rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, dan direksi harus dihadiri semua pihak. Atau bisa diatur agar jumlah minoritas bisa membuat keputusan sepanjang FM ada di dalamnya.

Sejak awal FM menghendaki, meski Indonesia memiliki mayoritas, kendali operasi ada pada FM. Situasi seperti ini tentu tidak menguntungkan Indonesia. Jika Indonesia hendak membuat keputusan, tetapi tidak memperoleh persetujuan dari FM, maka keputusan tidak akan terjadi. Contoh lain adalah ketika ada permintaan penambahan modal oleh direksi, maka Indonesia mempunyai porsi untuk berkontribusi lebih besar.

Intinya, mayoritas kepemilikan saham jangan hanya dilihat dari dividen yang akan didapat, tetapi berbagai aspek dari tindakan korporasi.

Masalah keempat adalah masalah yang terkait dengan syarat yang diminta FM, yaitu perjanjian stabilisasi investasi. Inti dari perjanjian ini adalah agar FM akan menikmati pembayaran pajak dan royalti yang tetap (flat) hingga paling tidak 2041. Perjanjian yang diminta ini akan sama dengan kontrak karya (KK).

Perjanjian seperti ini jelas janggal di era sekarang. Janggal karena seolah entitas swasta dapat membelenggu kedaulatan suatu negara seperti pada era VOC. Apalagi berdasarkan Undang-Undang Mineral Batubara perjanjian yang sama atau mirip dengan KK tidak diperbolehkan lagi.

Solusi bagi pemerintah adalah membuat peraturan perundang-undangan yang akan mengatur secara khusus terkait perlakuan perpajakan dan royalti di bidang tambang. Namun, menjadi masalah apakah FM mau menerima hal ini mengingat kekhawatiran mereka apakah apabila ada pergantian pemerintah, peraturan pun akan berubah? Akan tetapi, pemerintah tentu tak boleh kalah dengan permintaan dari FM. Pemerintah harus menjaga marwah kedaulatannya, termasuk kedaulatan hukum dalam pengenaan pajak dan royalti.

Masalah kelima adalah ketika hingga akhir tahun negosiasi tidak selesai dan perjanjian tidak kunjung ditandatangani, bagaimana nasib divestasi berdasarkan HoA? Belum lagi jika ada perubahan yang memegang tampuk pemerintahan, apakah pemerintah baru akan terikat dengan HoA?

Kawal

Dalam proses negosiasi pasca-HoA, direksi Inalum tentu jangan ditekan oleh siapa pun, termasuk pemerintah. Mereka tidak perlu diberi tenggat. Justru tenggat akan melemahkan posisi tawar Inalum. Kepentingan Indonesia tentu harus menjadi hal yang dikedepankan oleh direksi Inalum dalam proses divestasi. Menjadi persoalan, apa yang menjadi kepentingan Indonesia? Di sinilah direksi perlu untuk menangkap apa yang menjadi arahan dari pimpinan negeri dan menyerap aspirasi masyarakat sekaligus.

Satu hal yang akan bertentangan dengan kepentingan Indonesia adalah Indonesia menjadi mayoritas pemegang saham pada PT FI, tetapi sebenarnya menjadi pecundang. Oleh karena itu, masyarakat dan berbagai komponen bangsa wajib mengawal setiap langkah pemerintah dan direksi Inalum dalam proses divestasi pasca-HoA.