KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Ilustrasi: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Aliansi Masyarakat Adat Nisantara (AMAN) dan Komnas HAM akan menggelar kegiatan Parade Kain Nusantara serta diskusi mengenai pengelolaan kain tradisional di Jakarta pada 27 Agustus 2017. Perwakilan dari tiga intitusi itu memberikan keterangan pers mengenai kegiatan yang berkaitan dnegan peringatan Masyarakat Adat Sedunia dan HUT ke-72 Kemerdekaan RI.

Tahun ini masyarakat adat Nusantara memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus dengan perasaan yang masih sama: terpinggirkan dan kurang diakui sebagai warga negara.

Kondisi masyarakat adat di Nusantara  saat ini ibarat tikus yang mati di lumbung padi, menjadi orang asing di tanah sendiri karena wilayah adat sebagai sumber ruang hidup dan penghidupannya diambil alih secara sepihak oleh pemerintah atas nama pembangunan.

Hal ini makin diperparah dengan situasi hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat adat yang bersifat sektoral. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, hingga kini ada 262 warga masyarakat adat mengalami kriminalisasi yang berujung pada jeruji besi karena mempertahankan hak atas wilayah adatnya.

Harapan masyarakat adat Nusantara atas pemenuhan dan perlindungan hak mereka sempat muncul pada 16 Mei 2013. Saat itu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas permohonan pengujian UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan AMAN bersama dua anggota komunitas masyarakat adat dari Kenegerian Kuntu (Riau) dan Kasepuhan Cisitu (Banten). Putusan ini selanjutnya dikenal dengan Putusan MK No 35/PUU-X/2012 (Putusan MK.35).

Secara singkat, putusan ini menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Putusan MK. 35 mengoreksi secara mendasar mengenai hak menguasai oleh negara di sektor kehutanan dengan menyatakan bahwa penetapan hutan adat sebagai hutan negara di dalam UU Kehutanan merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945. Penguasaan negara terhadap wilayah adat di dalam kawasan hutan tidak boleh mengabaikan, apalagi menghapuskan hak masyarakat adat atas hutan adatnya.

Lima tahun

Waktu terus berjalan. Kini lima tahun sudah MK memutuskan soal hutan adat bukan lagi hutan negara. Namun, putusan itu terkesan tidak bisa berjalan di lapangan. Sejak Putusan MK.35 dikeluarkan, belum banyak yang betul-betul berubah. Hutan-hutan adat masih dikuasai perusahaan dan pemerintah.

Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 disebutkan, target penetapan hutan adat 5.008.000 hektar. Suatu angka sangat fantastis jika dibandingkan realisasi penetapan hutan adat yang hingga saat ini baru 17.089,99 hektar.

Rakornas Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 23-24 Januari 2018 berhasil mengidentifikasi potensi hutan adat seluas 6,2 juta hektar. Suatu langkah yang perlu diapresasi, tetapi sayangnya upaya percepatan tersebut hingga kini berjalan di tempat.

Alih-alih melakukan percepatan, sektoralisme dan paradigma pengakuan masyarakat adat masih jadi perdebatan yang tak kunjung usai di antara kementerian dan lembaga. Hal ini mencerminkan politik setengah hati ke masyarakat adat dan tidak adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan amanat Putusan MK.35.

Sebaliknya, komitmen dan dukungan masyarakat sipil telah banyak dilakukan agar mandat koreksi konstitusional kebijakan negara atas hak dan wilayah masyarakat adat di kawasan hutan dapat segera dilaksanakan. AMAN bersama gerakan pendukungnya telah menyerahkan peta wilayah adat seluas 9,3 juta hektar untuk segera ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah.

Selain itu, bersama kelompok masyarakat sipil, AMAN terus mendorong adanya kebijakan negara untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pada saat yang sama Komnas HAM telah melakukan inquiry nasional hak masyarakat adat yang berada di dalam kawasan hutan. Komnas HAM menyatakan, terjadinya pelanggaran HAM masyarakat adat akibat ketiadaan pengakuan hukum dan sektoralisme pengaturan pengakuan hak masyarakat adat. Karut- marut pengaturan hukum telah menjadi "jantung" tindakan diskriminasi dan kriminalisasi hak masyarakat adat dalam mempertahankan hak tradisionalnya terkait dengan hutan adat.

Di sisi lain, keharusan pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah jadi tantangan implementasi Putusan MK.35. Tidak adanya dukungan politik yang kuat dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah dan tantangan politik lokal dalam melahirkan peraturan daerah membuat pengembalian hak masyarakat adat atas hutan adat tampaknya masih di awang-awang.

Pengesahan RUU 

Konstitusi mengharuskan negara hadir untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat. Hal ini sejalan dengan komitmen politik Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Putusan MK.35 hendaknya dimaknai sebagai penanda pemulihan terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat yang telah diabaikan oleh negara pada masa lalu.

Upaya pemulihan itu hanya dapat dilakukan dengan menghilangkan politik setengah hati ke masyarakat adat. Ini dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, menyediakan sistem atau mekanisme penetapan hutan adat yang mudah bagi masyarakat adat, murah bagi pemerintah dan hasilnya legitimate, tidak hanya bagi masyarakat adat yang telah memenuhi syarat, tetapi juga diperlukan upaya diskresi bagi mereka yang belum mampu memenuhi ketentuan UU Kehutanan.

Kedua, dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat jadi UU. Hal ini jadi solusi dalam mengakhiri politik pengabaian dan sektoralisme pengaturan masyarakat adat yang selama ini terjadi. Draf RUU Masyarakat Adat yang akan dibahas saat ini harus mampu menjawab dua kebutuhan tersebut untuk mempercepat pemulihan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya yang berada di dalam kawasan hutan.

Muhammad Arman Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)


Kompas, 4 Juli 2018