KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC)

Mantan Bupati Kepulauan Sula Maluku Utara yang juga mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus usai diperiksa selama sembilan jam oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (2/7/18) akhirnya di tahan. Ahmad dengan mengunakan baju tahanan KPK berjalan menuju mobil tahanan. Mantan Bupati Kepulauan Sula tersebut diperiksasebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembebasan lahan Bandara Bobong tahun anggaran 2009.

Bangsa ini tampaknya segera memasuki era politik yang kian absurd. Politik yang terlalu mengedepankan aspek legal, tetapi mengabaikan etika dan moralitas.

Akal sehat pun terpinggirkan. Data sementara hasil pemilihan kepala daerah 27 Juni 2018 menunjukkan tren memprihatinkan dari sisi pemberantasan korupsi. Elite politik bersuara keras untuk memerangi korupsi. Ketetapan MPR tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dibuat tahun 1998.

Namun, meskipun tidak mayoritas, di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Tulungagung dan Provinsi Maluku Utara, calon kepala daerah yang berstatus tersangka dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memenangi pemilihan kepala daerah. Memang belum ada hasil resmi KPU, tetapi hasil real count KPU menunjukkan tren ke arah sana.

Di Tulungagung, berdasarkan hasil rekapitulasi formulir C1, pasangan Syahri Mulyono-Maryoto Birowo mendapat 59,8 persen suara. Syahri, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan KPK sejak 9 Juni 2018, dan Maryoto mengungguli pasangan Margiono-Eko Prisdianto yang mendapat 40,2 persen suara.

Di Maluku Utara, calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus ditahan KPK sejak Senin, 2 Juli 2018. Hidayat ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Maret 2018. Hasil hitung cepat KPU hingga Jumat (29/6/2018), pukul 18.30 WIB, dengan data masuk 99,49 persen, mencatat 176.019 suara (31,9 persen) untuk pasangan Hidayat-Rivai Umar tersebut. Mereka bersaing ketat dengan Abdul Gani Kasuba-M Al Yasin Ali: 167.453 suara (30,38 persen). Hasil itu memang belum final. Otoritas penghitungan suara adalah milik KPU berdasarkan hasil penghitungan suara manual berjenjang.

 

Seperti dikutip harian ini, Hidayat tetap merasa yakin akan dilantik meskipun statusnya kini resmi sebagai tahanan KPK. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersikap legalistis. "Tetap dilantik sampai ada kekuatan hukum tetap bersalah atau tidak," kata Tjahjo di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (29/6), ketika ditanya soal kemenangan Syahri sebagai Bupati Tulungagung.

Realitas pikada, minimal di dua tempat itu, paling tidak memberikan gambaran bahwa perang melawan korupsi belumlah menjadi agenda publik. Masyarakat masih permisif terhadap korupsi. Isu korupsi dengan sangat mudah dibingkai sebagai rekayasa politik untuk menjatuhkan lawan politik dalam pilkada. Fenomena ini tentunya menarik dipelajari untuk mencari resep terbaik pemberantasan korupsi.

Jika tahapan politik dan tren ini berlanjut, publik kemudian akan disuguhi pertunjukan politik menarik. Sesuai dengan UU Pilkada, pelantikan gubernur terpilih akan dilakukan di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. Undang-undang juga mengatur Presiden bisa diwakilkan kepada Wakil Presiden atau Menteri Dalam Negeri.

Akankah Presiden Jokowi melantik gubernur terpilih dalam status tersangka korupsi ditahan KPK, inilah era absurditas politik yang akan kita masuki? Kita lihat nanti.


Kompas, 4 Juli 2018