KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Presiden Joko Widodo memberi sambutan dihadapan pelaku UMKM pada peluncuran PPh Final UMKM 0.5% di JX International, Surabaya, Jumat (22/6/2018). Pemberlakukan PP tersebut diharapkan membuat beban pajak semakin kecil sehingga pelaku UMKM memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar untuk mengembangkan usaha dan melakukan investasi.

Presiden Joko Widodo di Surabaya (22/6/2018) mengumumkan insentif pajak berupa pengurangan tarif pajak bagi wajib pajak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Regulasi yang tertuang dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 secara khusus mengatur Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Hal mendasar yang diatur dan ditunggu pelaku usaha adalah turunnya besaran tarif pajak mulai 1 Juli 2018 menjadi 0,5 persen dari sebelumnya 1 persen.

Jika kita lihat perkembangan UMKM di Tanah Air sepuluh tahun terakhir, sangat cepat penyebarannya di seluruh wilayah dari Aceh hingga Papua. Untuk mencari suatu barang yang dibutuhkan, kini dengan mudah dan cepat bisa didapatkan, di mana pun tempatnya. Apalagi dengan teknologi informatika/ digital yang terus berkembang sebagai alat bisnis telah mendorong bertambahnya jumlah pelaku UMKM, baik di bidang kuliner, busana, suvenir, maupun peralatan rumah tangga, karena transaksi jual-beli menjadi lebih mudah dan murah.

Ada lima hal yang menjadi dasar pertimbangan dilakukan penurunan tarif pajak bagi UMKM. Pertama, untuk mendorong peran serta masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal, agar makroekonomi kita bisa tumbuh dengan baik, sehingga lapangan kerja semakin terbuka lagi. Kedua, lebih memberikan keadilan bagi sesama pelaku UMKM, terutama yang selama ini masih belum membayar pajak. Ketiga, kemudahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan karena cukup menghitung pajak 0,5 persen dari omzet setiap bulan dan langsung bayar. Keempat, memberikan kesempatan kepada UMKM berkontribusi bagi negara. Dan kelima, meningkatnya pengetahuan tentang manfaat pajak bagi masyarakat.

Skema penurunan tarif pajak ini termasuk moderat karena mencapai 50 persen dari tarif semula. Apakah dengan penurunan tarif akan memengaruhi penerimaan pajak 2018? Di sinilah diharapkan terjadi apa yang disebut a contra action to return dalam perpajakan, yaitu dengan menurunkan tarif akan menambah jumlah pembayar pajak. Hasil akhirnya, diharapkan penerimaan pajak minimum sama bahkan melebihi dari jumlah semula ketika tarifnya 1 persen.

Sisi lainnya adalah mendorong keadilan. Dengan tarif rendah dan murah, adanya keengganan UMKM selama ini membayar pajak karena tarif dianggap masih berat akan makin sirna. Yang semula belum membayar pajak menjadi bayar pajak. Akan makin banyak UMKM yang berkontribusi membayar pajak secara proporsional karena tarif pajaknya flat. Misalnya, dengan omzet Rp 100 juta sebulan, UMKM cukup membayar pajak hanya Rp 500.000.

Adapun aspek ekonominya, selain UMKM sendiri dapat merasakan manfaatnya, yakni membayar pajak yang rendah/ murah, juga berdampak positif bagi kegiatan ekonomi makro. Ini bisa dilihat dari perhitungan berikut.

Jika 2017 penerimaan pajak dari UMKM sekitar Rp 106,3 triliun, dengan asumsi pertumbuhan 15 persen, maka akan ada Rp 61,1 triliun potensi kehilangan sebagai tambahan dana yang dapat dimanfaatkan UMKM pada 2018 untuk kegiatan usahanya. Mengingat transaksi yang dilakukan UMKM sangat cepat, akan menghasilkan dampak berganda bagi perekonomian. Akan ada keuntungan investasi atau return of investment (RoI) dari tambahan dana berupa tax save itu sekitar Rp 11 triliun bagi perekonomian makro kita.

Selanjutnya, jika UMKM yang umumnya sektor informal selama ini menyerap tenaga kerja sekitar 57 persen dari total tenaga kerja, akan ada lagi tambahan tenaga kerja yang dapat diserap dari tambahan dana untuk usaha dan efek berganda tadi.

Perubahan kriteria

UMKM yang memanfaatkan tarif pajak 0,5 persen masih tetap sama dengan sebelumnya, yaitu hanya wajib pajak yang peredaran bruto (omzet) setahun maksimal Rp 4,8 miliar. Jika wajib pajak memiliki beberapa tempat usaha, baik berupa gerai maupun cabang, maka seluruh omzetnya dijumlahkan sebagai satu kesatuan. Misalnya, UMKM memiliki gerai di Tanah Abang, Jakarta, dengan omzet Rp 2,35 miliar, gerai di Bandung beromzet Rp 1,15 miliar, dan gerai di Surabaya beromzet Rp 850 juta setahun. Dengan total omzet Rp 4,35 miliar, UMKM tersebut dapat memanfaatkan tarif 0,5 persen untuk pembayaran pajaknya, yaitu hanya Rp 21,75 juta setahun.

Dibandingkan regulasi semula (PP 46/2013), selain tarif pajak, ada beberapa perubahan penting yang diatur dalam PP 23/2018. Pertama, adanya batasan jangka waktu pemanfaatannya bagi wajib pajak UMKM. Bagi orang pribadi, jangka waktunya tujuh tahun, sedangkan badan dibedakan antara bentuk perseroan terbatas (PT) selama tiga tahun, dan bentuk CV, firma, dan koperasi selama empat tahun. Setelah lewat jangka waktu ini, UMKM sudah masuk kepada skema umum untuk penghitungan pajaknya.

Kedua, tak semua UMKM dapat memanfaatkan skema tarif 0,5 persen ini. Ketentuan PP 23/2018 tak berlaku bagi wajib pajak dengan spesifikasi berikut. Wajib pajak yang memilih untuk dikenai PPh dengan tarif umum yang diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Kemudian wajib pajak badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94/2010, juga bentuk usaha tetap (BUT). Juga badan bentuk CV dan firma yang dibentuk beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus, dan menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Pelunasan pajaknya dilakukan dengan menyetor sendiri, dapat dilakukan di teller bank, atau melalui electronic data capture (EDC). Jika transaksinya dengan pihak lain, yaitu wajib pajak atau instansi pemerintah, pelunasan pajaknya dapat dilakukan melalui pemotongan dan pemungutan pajak.

Kemudahan pajak murah telah diberikan pemerintah. Kini saatnya UMKM berkontribusi bagi pembangunan negara dengan membayar pajak 0,5 persen.