DOK. SETPRES

Presiden Joko Widodo tengah berdialog dengan warga saat kunjungan kerja ke Indramayu, Jawa Barat, Rabu (6/6/2018)

Di tengah ikhtiar kebangsaan mengatasi ketimpangan ekonomi, Presiden Joko Widodo, Rabu (6/6/2018), meluncurkan Bank Mikro Nelayan di Desa Karangsong, Indramayu, Jawa Barat.

Laporan Bappenas (2015) yang dituangkan ke dalam Dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia (2016) menyebut angka ketimpangan penghasilan rumah tangga nelayan dan masyarakat pesisir pernah mencapai 0,54. Kesenjangan teramat parah justru terjadi di sekitar usaha perikanan yang notabene memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan aktivitas ekonomi lain.

Sebut saja, lautnya luas dan sumber daya ikannya kaya. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan populasi nelayan terbesar di dunia dengan kekuatan sekitar 600.000 armada perikanan. Namun, ibarat menyembuhkan penyakit kronis, mengatasi persoalan ekonomi di desa nelayan membutuhkan skala prioritas yang menyasar langsung akar persoalan.

Hambatan

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, mayoritas usaha perikanan nasional adalah skala kecil. Di hulu, sekitar 95 persen nelayan menggunakan armada berukuran kurang dari 10 gross ton (GT) dan tak bermesin. Lalu, 54 persen pembudidaya ikan mengelola kolam kurang dari 0,1 hektar. Di hilir, aktivitas pengolahan ikan yang seharusnya menjadi ujung tombak peningkatan nilai tambah produk perikanan justru 99 persennya skala kecil.

Survei terhadap 8.146 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang didampingi penyuluh perikanan (2016) menemukan, 66 persen responden mengaku penghambat utama untuk mengembangkan usaha perikanan adalah modal. Lalu, berturut-turut, 13 persen terkait akses pasar, 11 persen terkait manajemen usaha, 5 persen terkait teknologi, 3 persen terkait mitra usaha, dan barulah sisanya berkaitan dengan masalah SDM. Hasil survei ini memberi dua pelajaran penting.

Pertama, berpuluh-puluh tahun prioritas pemerintah dalam pembangunan sektor perikanan dan kesejahteraan nelayan salah sasaran, yakni terfokus pada persoalan minor (SDM dan teknologi), bukan utama: permodalan. Hasilnya, berbagai inovasi teknologi alat tangkap dan kapal ikan terus bermunculan. Sebagian besar inovasi berhenti di riset, pelatihan, hingga akhirnya sulit diimplementasikan karena ketiadaan modal untuk memassalkan.

Kedua, skema pembiayaan modal usaha nelayan yang tersedia belum sepenuhnya mengakomodasi UMKM perikanan yang karakter usahanya sangat dinamis. Sebenarnya, pemerintah sejak satu dekade silam telah menyiapkan kredit usaha rakyat (KUR) untuk membantu UMKM perikanan. Namun, realisasi serapan KUR di sektor perikanan sangat rendah, masing-masing sekitar 1,22 persen di 2016, 2,65 persen di 2017, dan April 2018 hanya 1,47 persen.

Ketiadaan agunan jadi alasan paling klasik sulitnya nelayan mendapat KUR. Meski berkali-kali pemerintah menyampaikan agar pinjaman di bawah Rp 25 juta tak perlu agunan, nyatanya masih ada bank penyalur minta sertifikat tanah, rumah, atau kendaraan bermotor sebagai jaminan.

Solusi

Bank Mikro Nelayan harus digunakan sebagai bekal UMKM perikanan nasional terus berkembang: dari skala mikro ke kecil; dari kecil ke menengah; lalu menengah ke skala besar atau industri. Maka, secara operasional, bank ini harus menjangkau semua nelayan Indonesia, di timur Indonesia, di pulau-pulau kecil dan perbatasan yang jauh dari layanan perbankan.

Rencana KKP membangun 20 sentra kelautan dan perikanan terpadu di wilayah-wilayah perbatasan harus dilengkapi dengan layanan Bank Mikro Nelayan. Dengan begitu, nelayan di perbatasan tidak kembali menjadi penonton. Kemudahan akses permodalan harus mengubah "penonton" menjadi pemain utama, sejalan dengan berkembangnya infrastruktur dan akses pasar yang disiapkan pemerintah sejak empat tahun terakhir.

Kedua, menambah jumlah tenaga pendamping Bank Mikro Nelayan. Kehadiran para pendamping sebagai "jaminan" bagi nelayan dan bank mikro terhindar dari risiko gagal usaha dan gagal bayar. Tantangannya, hingga saat ini Bank Mikro Nelayan hanya memiliki 110 tenaga pendamping. Padahal, berdasarkan data potensi desa (2014), desa pesisir di Indonesia berjumlah lebih dari 12.000.

Solusi pada tahap paling awal, pemerintah dapat mengoptimalkan 5.600 tenaga penyuluh perikanan KKP dan jaringan organisasi kemasyarakatan di daerah untuk dibekali keahlian pendampingan usaha perikanan. Dengan begitu, Bank Mikro Nelayan segera menjadi solusi mengatasi ketimpangan dan kemiskinan.