ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA

Tim Kuasa Hukum calon petahana Walikota dan Wakil Walikota Makasar yang didiskualifikasi, Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari (kanan) mangajukan permohonan atas sengketa Pilkada 2018 di Makassar, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (10/7). Sudah 40 pemohon yang mendaftarkan permohonan gugatan sengketa Pilkada 2018 kepada MK, dari 40 permohonan tersebut, 27 didaftarkan secara langsung dan 13 secara online.

Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar memastikan, pemilihan kepala daerah di ibu kota Sulawesi Selatan itu, Jumat (6/7/2018), dimenangi oleh kotak kosong.

Makassar menjadi salah satu dari 16 daerah yang menggelar pilkada dengan kotak kosong karena hanya diikuti satu pasangan calon. Di Makassar, kotak kosong memperoleh 300.795 suara atau 53,23 persen, mengalahkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi yang meraih 264.245 suara, atau 46,77 persen.

Menurut Pasal 54D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota menetapkan pasangan calon terpilih dengan calon tunggal jika memperoleh suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Munafri-Rahmatika pun tak terpilih. Padahal, pasangan itu diusung 10 parpol, yang memiliki 43 dari 50 kursi di DPRD Makassar.

Sesuai UU Pilkada, Munafri-Rahmatika diizinkan mengikuti pilkada pada tahun berikutnya, atau pada pilkada yang telah dijadwalkan sebelumnya. UU menetapkan pilkada serentak akan digelar lagi pada 2020 sehingga, jika mau, pasangan calon kepala daerah yang gagal di Makassar itu bisa mencalonkan kembali.

Secara teoretis, pasangan Munafri-Rahmatika boleh saja mengajukan sengketa hasil pilkada itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, Pasal 158 Ayat (2d) menyatakan, untuk kabupaten/kota berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara hanya dimungkinkan jika ada perbedaan paling banyak 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah. Makassar kini berpenduduk lebih dari 1,7 juta jiwa sehingga, secara teknis, MK akan menolak jika ada keberatan terkait hasil Pilkada Makassar, yang selisihnya mencapai 6,46 persen.

Pasal 54D Ayat (4) UU No 10/2016 memastikan, jika belum ada kepala daerah terpilih, pemerintah menugaskan penjabat bupati, penjabat wali kota, atau penjabat gubernur. Masa jabatan Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto akan berakhir 8 Mei 2019. Penunjukan penjabat wali kota baru bisa dilakukan tahun depan. UU Pilkada mengatur, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat dari jabatan pimpinan tinggi pratama, dari aparatur sipil negara atau aparatur negara lainnya. Sebelum menjadi wali kota, Ramdhan menjadi arsitek.

Dari sisi pemerintahan, tak akan ada masalah, meskipun kotak kosong memenangi Pilkada Makassar. Layanan publik tetap akan berlanjut walaupun tahun depan Makassar dipimpin penjabat wali kota, yang memiliki keterbatasan wewenang. Namun, mengapa baru kali ini kotak kosong menang di pilkada?

Kotak kosong di Makassar memang tidak biasa karena semula pilkada tak hanya diminati Munafri-Rahmatika. Ramdhan, berpasangan dengan Indira Mulyasari, pernah mendaftarkan diri ke KPU. Namun, pencalonannya dibatalkan Mahkamah Agung. Ramdhan melakukan "perlawanan", memilih kotak kosong, yang ternyata diikuti warga Makassar lainnya. Hal ini menunjukkan rakyat kian dewasa dan mandiri menentukan pilihannya.

Selain itu, Guru Besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menegaskan, pengaturan pilkada, yang dibuat pemerintah dan DPR, semestinya memfasilitasi rakyat untuk memperoleh pemimpin yang baik, bukan justru memfasilitasi dominasi oligarki (Kompas, 3/7/2018).

Kompas, 11 Juli 2018