Presiden Joko Widodo duduk di hadapan peserta konferensi Islam moderat di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (1/5/2018). Konferensi bertajuk High Level Consultation Meeting-World Muslim Scholars on Wasatiya Al-Islam dihadiri sekitar 100 tokoh ulama dan cendekiawan muslim dari dalam maupun luar negeri.

Bulan Mei lalu, saya jadi saksi perhelatan penting berkumpul dan urun rembuk para tokoh agama dunia guna membangun peradaban yang lebih bermartabat.

Acara yang diberi tajuk High Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyah Islam tersebut ingin kembali meneguhkan komitmen para cendekiawan, ulama, dan tokoh Muslim dunia untuk memerangi gerakan radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Acara ini dihadiri lebih dari 50 negara. Grand Syaikh Al-Azhar Prof Dr Ahmad Muhammad at-Thayyib dalam pidatonya mengatakan bahwa wasatiyyah (moderat) itu bukan hanya bermakna menjaga keseimbangan, lebih jauh adalah menegakkan prinsip kebenaran dan keadilan.

Selang sehari setelah pembukaan acara tersebut, di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Grand Syaikh Al-Azhar menekankan kembali pentingnya perdamaian, keadilan, dan sikap moderatisme atau wasatiyyah. Dalam kesempatan itu ada yang menarik perhatian ketika ia menyatakan, gerakan radikalisasi dan takfirisasi, mengafir-ngafirkan orang lain, itu merupakan kebodohan dalam memahami roh dan substansi agama. Grand Syaikh Al-Azhar dengan tegas menolak pemahaman agama yang memonopoli kebenaran.

Berkait dengan itu, ia—mengutip Imam al-Asy'ari dalam kitab Al-Ibanah (1985)—secara tegas mengatakan, wanadinu bian la nukaffir ahadan min ahlil qibalti bidzanbin yartakibuhu, 'kami tidak mengafirkan siapa pun yang masih menghadap kiblat, meski dia melakukan dosa besar, sepanjang yang bersangkutan tak menganggap halal perbuatan-perbuatan dosa tersebut'.

Poin ini penting dan memiliki titik relevansi yang sangat tinggi dengan kondisi keberagamaan kita hari ini, ketika gerakan yang cenderung mengafirkan dan anti-liyan menggelinding sedemikian lajunya.

Pandangan-pandangan Grand Syaikh Al-Azhar mengingatkan kita pada pendapat KH Ahmad Shiddiq (1987) tentang universalisme Islam. Islam memiliki watak universal dan kosmopolit. Universalisme dan kosmopolitanisme Islam bukan berarti bahwa Islam mengatur segala-galanya secara rigid, ketat, terperinci, dan juga seragam. Watak universalisme Islam justru ada pada bervariasinya dalam mengatur pelbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi.

Pandangan yang demikian universal ini, misalnya, tecermin dalam adagium al-ibrah bi umumil lafdzhi, la bikhususis sabab (universalitas teks, partikularitas konteks). Artinya, ajaran Islam tersebut bisa diterapkan secara universal. Watak universalisme Islam tersebut membuatnya jadi sejalan dengan nilai-nilai atau kecenderungan-kecenderungan positif yang sudah ada dan sudah langgeng sebelumnya. Watak universal Islam tersebut berkait-paut dengan tugas utama Nabi Muhammad SAW, yakni menyempurnakan nilai-nilai positif tersebut.

Maka, Islam sesungguhnya sampai kapan pun tidak bisa dipertentangkan dengan nilai-nilai positif yang bahkan itu bersumber dari luar Islam sekalipun. Sebut contoh: demokrasi. Jika ada pihak yang dengan getol mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kafir dan Pancasila sebagai dasar negara adalah taghut, dengan tegas kita katakan bahwa suara lantang tersebut keluar dari mereka yang tidak memahami dengan jernih dan mendalami ajaran islam.

Negara adalah wujud persekutuan sosial dan kekuasaan yang merupakan salah satu sarana untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diridai oleh Allah. Oleh karena itu, Islam harus hadir sebagai instrumen penting untuk menopang negara dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.

Islam menjadi spirit yang melebur dan senyawa dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi sistem bernegara. Islam juga menjadi serbuk yang merasuk ke dalam Pancasila yang sudah disepakati sebagai dasar negara.

Menjadi wasit

Persoalan yang sangat menarik untuk dijadikan renungan bersama bagi kita adalah pemilihan terminologi wasatiyyah. Jika selama ini kita cenderung mengartikannya sebagai sikap moderat, dengan tanpa mengesampingkan makna tersebut, saya ingin mengartikannya sebagai penengah atau wasit. Dalam konteks ini, saya meyakini bahwa Indonesia sanggup dan mampu serta memiliki kapabilitas untuk menjadi "wasit" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dalam skala global.

Ini sangat penting dikemukakan: bahwa watak ke-wasatiyyah-an atau moderatisme itu melekat pada subyek, dan Indonesia memiliki modal dan kemampuan untuk itu. Wasit adalah mereka yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya. Wasit adalah mereka yang mementingkan keadilan dan kejernihan dalam memandang sebuah persoalan.

Wasit adalah mereka yang tidak berat sebelah dalam memutuskan perkara. Wasit tidak memihak pada siapa, tetapi pada apa. Dalam konteks ini, apa yang dimaksud adalah nilai, cita-cita, dan tujuan bersama, yakni menciptakan tatanan dunia yang penuh kesejukan dan perdamaian.

Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang, termasuk dalam menghadapi berbagai peristiwa  besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin dipelajari orang lain, termasuk mereka yang jauh-jauh datang dari mancanegara. Banyak ahli tarekat ingin belajar pada pengalaman Indonesia. Demikian pula para aktivis dan politisi dunia, termasuk dari Afghanistan, Yaman, dan Jordania, berusaha mencoba bertukar pengalaman dan belajar bagaimana meleburkan spirit agama guna merekatkan keutuhan bangsa.

Indonesia memang multietnis, multiagama dan ideologi, tetapi kerukunan sosial bisa terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang mendalam serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh bernama Pancasila. Bandingkan dengan Timur Tengah yang relatif homogen secara agama, bahkan etnis,  tetapi mereka sulit bersatu, bahkan selalu dalam ketegangan.

Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos sehingga rapuh. Tak ada sikap tawasuth (moderat), tawazun (proporsional berimbang), dan tasamuh (toleran). Karena itu, mereka ingin belajar kepada kita. Kita pun siap berdialog dan bertukar pengalaman dengan mereka. Penting dikemukakan, Indonesia siap menjadi kiblat keberislaman dan keberagamaan yang toleran, penuh kepedulian, tepa selira, dan tenggang rasa.

Benang merah yang bisa ditarik dari penjelasan di atas adalah bahwa karakter Islam Indonesia, atau dalam terminologi Nahdlatul Ulama diistilahkan dengan Islam Nusantara, berwujud spirit kebangsaan dengan spirit keberislaman dirangkum senada seirama dan sepenarikan napas. Agama—dalam konteks ini Islam—tidak memiliki kutub yang bertentangan dengan demokrasi, nasionalisme, dan juga kebangsaan.

Islam adalah agama yang penuh kemuliaan. Maka, bagi mereka yang mengimplementasikan agama tidak dengan pendekatan dan cara-cara yang mulia, bisa dipastikan mereka justru jauh dari agama.