Saat banyak orang masih merayakan Lebaran, pada 18 Juni 2018 lalu Kapal Motor Sinar Bangun tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara. Korban hilang mencapai sekitar 200 orang, diduga terjebak dalam kapal yang tenggelam itu. Ada banyak lagi peristiwa buruk dan traumatis yang menyisakan haru biru perasaan, termasuk di dalamnya perasaan bersalah mungkin hingga jangka panjang.

Saat banyak orang masih merayakan Lebaran, pada 18 Juni 2018 lalu Kapal Motor Sinar Bangun tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara. Korban hilang mencapai sekitar 200 orang, diduga terjebak dalam kapal yang tenggelam itu. Ada banyak lagi peristiwa buruk dan traumatis yang menyisakan haru biru perasaan, termasuk di dalamnya perasaan bersalah mungkin hingga jangka panjang.

Menyusul suatu kejadian buruk yang mengejutkan, misalnya, anak meninggal mendadak, pasangan kehilangan pekerjaan, sahabat mengalami kecelakaan, atau rekan kerja gugur dalam menjalankan tugas, tak jarang kita menghayati beban rasa bersalah yang besar. Beban rasa bersalah itu sedemikian rupa sehingga mengganggu rutinitas dan kesejahteraan hidup sehari-hari. Mengapa demikian dan bagaimana mengatasinya?

Merasa ikut bertanggung jawab

Peristiwa buruk atau mengejutkan yang dialami dalam skala relatif kecil saja dapat menghadirkan perasaan bersalah apalagi peristiwa tragis yang menghadirkan stres lebih tinggi.

Bencana alam yang tak terhindarkan dan dipahami sepenuhnya sebagai kehendak Tuhan akan lebih mudah diterima dan tidak menghadirkan rasa bersalah yang besar dibandingkan dengan bila kejadiannya akibat kelalaian atau perilaku manusia.

Bila hubungan kita dekat dengan orang yang mengalami peristiwa, lebih mudah bagi kita untuk merasa bersalah. Meski tak mengenal atau berhubungan langsung dengan pihak yang terkena, persepsi bahwa kita bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya peristiwa (misalnya menjadi manajer yang harusnya mengawasi keamanan tempat hiburan yang mengalami kebakaran) juga dapat menghadirkan rasa bersalah.

Penyesalan yang lebih besar muncul apabila peristiwanya tidak dapat dikembalikan ke kondisi semula. Apalagi bila kita berpersepsi hal tersebut sebenarnya dapat dihindari. Penyesalan tersebut tertampilkan dari pikiran yang berulang muncul, misalnya: "Seandainya saya mengantar sendiri, tentu ibu saya masih hidup," atau "Kalau saya mau menerima nasihat istri saya, anak saya pasti masih bersama saya sekarang."

Bila orang yang disayangi meninggal karena hal yang telah diantisipasi sebelumnya situasinya akan lebih baik daripada ia meninggal mendadak. Keluarga atau orang dekat dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang sebelumnya menggantung. Anak mungkin akan lebih sabar menghadapi orangtuanya, bersedia memaafkan, atau secara khusus menyediakan waktu bagi orangtuanya.

Bila peristiwa terjadi mendadak, isu-isu yang menggantung, misalnya, permusuhan dalam keluarga dan konflik akibat kesalahpahaman tak terselesaikan. Barangkali juga ada rencana bersama, janji-janji, atau hal tertentu yang ingin disampaikan yang jadinya tak tersampaikan.

Memperbaiki keadaan

Rasa bersalah yang besar dapat mengundang depresi. Kita terus sedih, mungkin jadi kurang produktif bekerja, terganggu tidur atau sulit berkonsentrasi karena berulang teringat kejadian dan menyalahkan diri: "Mestinya aku tahu kalau naik kapal seperti itu tidak aman, mengapa aku membiarkan? Mengapa aku setega itu?"

Untuk menghindarinya, kadang kita secara sengaja mengingatkan diri agar tidak mengingat kejadian yang memunculkan rasa bersalah. Dalam situasi demikian, rasa bersalah memang dapat ditekan, tetapi tak jarang akan muncul kembali. Juga upaya untuk menghindari atau menolak ingatan dapat memunculkan masalah atau gangguan lain. Jadi, tampaknya perlu dilakukan cara lain untuk mengatasinya.

Bila rasa bersalah demikian kuat, kita perlu mengecek, apakah kita bersikap adil pada diri sendiri? Apakah kita menyesali yang telah terjadi dan membandingkannya dengan hal-hal ideal yang tidak mungkin terjadi atau belum ada? Apakah kita lupa untuk mempertimbangkan berbagai sisi positif ataupun niat baik di balik tindakan yang diambil? Bila demikian halnya, kita perlu mengubah cara berpikir. Misalnya, ayah memang memilih pergi bersenang-senang dengan sahabat lamanya dan tidak mau diantar, atau rekan kerja kita tidak akan menyalahkan kita, dan pasti akan bahagia karena telah gugur dalam menjalankan tugas.

Mengingatkan diri bahwa tidak ada orang yang sempurna sekaligus memaafkan diri sendiri juga akan membantu. Di agama yang berbeda-beda, kita mengenal doa yang didaraskan berulang-ulang yang isinya pengakuan atas kesalahan, serta permohonan untuk memperoleh belas kasihan dan ampunan. Beberapa klien saya menyampaikan bahwa doa memohon maaf dan memohon belas kasihan itu mengingatkan akan keterbatasan manusia, mengingatkan untuk terus rendah hati, sekaligus membantu memperkuat batin.

Pada cukup banyak orang, rasa bersalah menjadi desakan untuk memperbaiki keadaan atau membuat perubahan. Dengan melakukan sesuatu yang dianggap positif, rasa bersalah dapat dikurangi, sementara berbagai penghayatan positif dan menguatkan akan hadir.

Perubahan atau perbaikan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian pada isu atau kelompok sasaran khusus tertentu yang memberikan makna personal. Bentuknya dapat beragam, misalnya, menjadi relawan untuk mendampingi lansia atau penyandang disabilitas (karena merasa saat orangtua hidup, kurang memberikan perhatian pada orangtua), mendonasikan uang untuk rumah aman (ada rasa bersalah besar karena tidak dapat membantu adik yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga), atau untuk riset kanker pada anak-anak (anak meninggal karena kanker).