Beberapa waktu terakhir, kita merasa antusias dan bersemangat karena disuguhi cerita-cerita kemenangan orang muda di dunia olahraga. Ada pertarungan Piala Dunia yang berakhir dengan "Les Bleus" menang 4-2 atas Kroasia. Dari Indonesia ada Muhammad Zohri (18) yang memenangi nomor lari 100 meter di Kejuaraan Dunia Atletik U-20. Prestasinya sedemikian memotivasi Ahmad Ambali Sukur, Jeanny Nuraini Amelia, Adi Ramli Sidiq, dan Wempy Pelamonia sehingga dapat menggaet empat emas di ASEAN School Games 2018. Viral pula di media sosial perjuangan luar biasa dari pesenam Averie Mitchell (10) yang dapat demikian kuat, seimbang, dan indah meliukkan badan, berputar, berlari, dan meloncat. Padahal, sejak usia 2 tahun kaki kanannya diamputasi hingga pangkal paha.

Bicara tentang olahraga prestasi adalah bicara mengenai perjuangan dan penetapan target atau goal setting. Locke dan Latham (1985) menguraikan berbagai studi mengenai penetapan sasaran dalam konteks organisasi dan laboratorium, yang menurut mereka dapat diterapkan dalam dunia olahraga. Namun, barangkali kita perlu melihat dengan cara sebaliknya: kisah-kisah prestasi tinggi di dunia olahraga ternyata demikian menyemangati kita. Mengajak kita berefleksi mengenai apa yang telah kita capai di bidang masing-masing, dan mengingatkan kembali mengenai pentingnya perjuangan, penetapan sasaran, dan strategi dalam konteks apa pun.

Spesifik dan menantang

Keberhasilan dalam olahraga dan dalam bidang apa pun banyak tergantung dari kompetensi (masuk di dalamnya keterampilan) serta motivasi dan sikap mental. Untuk sampai pada kompetensi terbaik dan sikap mental tertinggi, kita bertumpu pada teknik penetapan sasaran atau goal setting. Dalam olahraga, pelatih harus punya sasaran jelas, demikian pula tim dan setiap individu anggota tim.

Tidak cukup untuk berpesan do your best mengingat pesan itu belum mengarahkan secara jelas kita harus ke mana, sejauh mana, secepat apa, dengan kualitas bagaimana. Sasaran spesifik akan mengarahkan aktivitas secara lebih efektif dan andal daripada sasaran yang kabur atau umum. Oleh karena itu, di konteks apa pun saja, termasuk yang bernuansa kualitatif-subyektif (misalnya bila saya ingin memotivasi klien untuk meningkatkan keterampilan sosial), sasaran perlu terukur jelas dalam bentuk angka.

Sasaran harus menantang untuk menghadirkan unjuk kerja maksimal. Sasaran yang sulit atau menuntut perjuangan serius akan menghasilkan unjuk kerja lebih baik daripada sasaran yang moderat atau relatif mudah. Meski begitu, sasaran seyogianya juga tidak sedemikian sulit sehingga tidak dianggap sekadar impian kosong dan gagal mengundang motivasi berjuang saking tidak realistisnya.

Agar dapat dipahami lebih realistis, sasaran jangka panjang dapat dipecah-pecah dalam sasaran-sasaran jangka pendek. Jika harus meningkatkan kecepatan lari, secara bertahap kita menetapkan peningkatan kecepatan dengan membuat sasaran-sasaran jangka pendek. Demikian pulalah yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi atau meningkatkan cakupan bisnis. Itu pulalah yang dilakukan si kecil Averie Mitchell yang dapat meloncat tinggi dan meliuk-berputar dengan demikian indahnya. Membuat kita tercengang sekaligus merasa malu karena betapa mudahnya kita menyerah menghadapi tantangan yang mungkin kecil saja.

Umpan balik dan strategi

Harus ada komitmen pada sasaran yang telah ditetapkan. Bila tidak, individu atau tim tidak peduli atau tidak akan memfokuskan diri pada sasaran secara serius. Karena itu, dalam kerja tim sasaran bersama dan sasaran individual perlu diketahui dengan jelas oleh semua. Dengan demikian, ada rasa bertanggung jawab dari masing-masing anggota untuk memberikan sumbangan terbaik. Dalam kerja tim diperlukan pula kerja sama dan koordinasi.

Penetapan sasaran harus dibarengi dengan umpan balik. Tanpa umpan balik, segalanya tidak bermakna. Dengan umpan balik dari waktu ke waktu, goal setting akan membantu kita memfokus dan mengarahkan aktivitas, sekaligus membiasakan atau meregulasi upaya yang kita keluarkan. Semakin sulit sasarannya, semakin besar upaya yang dikeluarkan untuk mencapainya.

Ada umpan balik yang terkait dengan kemajuan, ada pula yang memfokus pada kualitas atau akurasi tindakan. Kemajuan dapat dilihat dari unjuk kerja dari waktu ke waktu, yang menginformasikan kepada kita: sebaik apa unjuk kerja hingga saat tertentu, masih berapa jauhkah itu dari sasaran akhir, dan apakah kita membuat kemajuan dalam hal kecepatan dan akurasi. Dari situ, strategi selanjutnya dapat ditetapkan.

Penetapan sasaran dan umpan balik akan meningkatkan kegigihan karena upaya dijaga untuk terus dijalankan. Dalam prosesnya, sekaligus dapat muncul strategi-strategi baru untuk meningkatkan unjuk kerja. Bila ada cara kerja yang tidak efektif, akan dapat dipikirkan cara-cara lain yang lebih efektif.

Yang tampaknya perlu dicatat, dalam lembaga sering ada birokrasi yang rumit, dengan uraian-uraian tugas atau sasaran kecil yang tidak jelas kaitannya dengan sasaran besar. Sedemikian rupa sehingga kalaupun ada sasaran besar, sasaran besar itu tak terlihat dan tak punya makna lagi. Kelompok kerja telanjur bingung, tertekan, kehabisan energi, dan hilang motivasi.

Kata Locke dan Latham (1985): "The athlete should not be burdened by goal overload. People can only remember so much at once, and this capacity is reduced under conditions of stress." Jadi, sasaran harus dapat didefinisikan pada satu atau beberapa elemen penting saja yang terus diingat dan jadi arah utama.