ANTARA FOTO/ALOYSIUS JAROT NUGROHO

Pekerja menghaluskan bagian detail kerajinan miniatur patung Buddha di Ngadirojo, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (5/7). Berbagi jenis hasil kerajinan miniatur patung keramik seperti patung Buddha, patung penari Bali yang terbuat dari bahan dasar tanah liat atau stoneware itu dijual dengan harga Rp 100 ribu hingga Rp 30 juta tergantung tingkat kesulitan dan ukuran dalam pembuatannya dan telah diekspor ke Amerika Serikat, India, Dubai, Kanada dan Inggris.

Dampak perang dagang global yang kian memanas antara AS dan mitra dagang, khususnya China, mulai dirasakan Indonesia, baik langsung maupun tak langsung.

Kondisi ini menuntut kita harus bersiap untuk kondisi terburuk. Kita melihat kegagapan pemerintah saat ancaman sudah di depan mata. Apalagi dengan Indonesia kini sudah masuk dalam target langsung sasaran kebijakan proteksionis masif yang dilancarkan Trump, lewat rencana AS mengevaluasi pemberlakuan tarif preferensi pada 124 produk ekspor dari Indonesia.

Kita tak bisa lagi menganggap enteng dampak destruktif perang dagang, yang ibaratnya kini belum pada skala puncaknya, mengingat aksi saling balas yang terus dilancarkan AS dan China. Indonesia adalah satu dari 16 mitra dagang utama, yang diidentifikasi AS sebagai penyumbang defisit neraca dagang AS, sehingga lambat atau cepat akan jadi target sasaran tembak.

Padahal, tanpa itu pun, kita sudah pasti akan terkena dampak tak langsung perang dagang. Mulai dari membanjirnya impor, tekanan ke pasar keuangan, eksodus arus modal, dan terancamnya pertumbuhan ekonomi. Berkobarnya perang dagang akan kian meningkatkan gejolak dan ketidakpastian ekonomi global yang bisa menuntun pada krisis atau resesi dunia.

Situasi ini menuntut setiap negara mengamankan kepentingan dalam negerinya. Memperkuat ketahanan ekonomi domestik jadi tantangan terbesar, termasuk dengan menggenjot permintaan domestik, memperketat pasar dalam negeri, mengendalikan defisit transaksi berjalan, mendorong arus masuk dana asing.

Sejauh ini, sebagai bentuk respons yang agak terlambat, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah, seperti membentuk kelompok kerja antisipasi perang dagang serta berbagai insentif untuk industri. Di antaranya dengan menurunkan bea masuk impor untuk industri berorientasi ekspor, memberikan insentif bagi industri padat karya dan UMKM, menggaet investasi megaproyek terutama yang sifatnya substitusi impor atau berorientasi ekspor, serta mengembangkan sektor seperti pariwisata.

Semua langkah ini tentu tak bisa diharapkan berdampak seketika dalam melindungi industri dalam negeri dari dampak perang dagang. Desakan dari berbagai kalangan muncul untuk mempercepat negosiasi perdagangan bebas dan kesepakatan bilateral dengan AS, Uni Eropa, dan mitra dagang penting lain. Pemerintah harus memaksimumkan lobi lewat negosiasi, dengan mengerahkan negosiator-negosiator dan pelobi terbaik, untuk menghindarkan ancaman tindakan semena-mena terhadap produk ekspor dan pukulan terhadap pasar dalam negeri kita.

Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto tak menutup kemungkinan dilancarkannya langkah retaliasi jika kondisi memaksa. Namun, sekali lagi, perang dagang tak akan menguntungkan semua, kecuali segelintir negara. Posisi kita sebagai pemain kecil dalam perdagangan global membuat Indonesia terjepit dan harus bisa mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk melindungi kepentingan dalam negeri.

Kegagapan dalam merespons dan mengantisipasi perang dagang membuat pilihan yang kita miliki saat ini tak banyak, kecuali menekan dampak yang ada. Sementara, sejauh ini, kita belum melihat langkah-langkah yang dampaknya akan segera dirasakan, khususnya dalam menekan ancaman kian membengkaknya defisit perdagangan dan transaksi berjalan, yang efek dominonya terhadap perekonomian bisa meluber ke mana-mana.

Kompas, 12 Juli 2018