ANTARA FOTO/DESTYAN SUJARWOKO

Polisi bersenjata berjaga saat digelarnya operasi penggeledahan oleh KPK di depan pintu gerbang rumah Cabup Petahana Tulungagung Syahri Mulyo, di Ngantru, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (9/6). Penggeledahan itu dilakukan untuk mencari bukti tambahan atas keterlibatan Syahri itu dalam dugaan korupsi proyek peningkatan infrastruktur jalan tahun 2017 yang saat ini tengah disidik KPK.

 

Kemenangan dua kandidat kepala daerah—keduanya masih berstatus tersangka korupsi—pada Pilkada 2018 mengindikasikan longgarnya sikap masyarakat pada korupsi.

Kedua calon kepala daerah yang berstatus tersangka korupsi itu, yakni calon gubernur Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus, diusung Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta calon bupati Tulungagung, Syahri Mulyo, diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Nasdem, memenangi Pilkada 2018. Keduanya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Syahri ditahan KPK saat berlangsung pemungutan suara pada 27 Juni lalu.

Sikap masyarakat terhadap perilaku korupsi tergambar dari indeks perilaku antikorupsi yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tahun 2017, nilai indeksnya 3,7; dengan angka 5 mewakili sikap paling menolak korupsi. Dengan angka indeks itu dapat diperkirakan masyarakat belum tegas menolak korupsi. Pertanyaan yang belum terjawab memuaskan adalah mengapa masyarakat belum juga tegas menolak korupsi setelah reformasi 1998, mengingat perubahan besar saat itu mengusung jargon tolak korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Tertangkapnya elite pemerintahan dan politik karena dugaan korupsi serta hukuman maksimal yang mereka terima telah rutin menjadi pemberitaan media massa. Pemberitaan itu mengabarkan perilaku korupsi sebagai musuh masyarakat sebab merugikan secara ekonomi, sosial, politik, dan moral. Meskipun demikian, ketika berhadapan dengan calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, masyarakat bersikap longgar.

Kita menduga sikap masyarakat itu, antara lain, karena tingkat pendidikan dan akses informasi yang tidak merata. Akibatnya, pemahaman tentang efek buruk korupsi tak sampai pada masyarakat. Masyarakat juga tidak mendapat informasi jelas mengenai calon kepala daerah sehingga mudah dipengaruhi.

 

Sudah banyak kajian mengenai dampak buruk korupsi pada kehidupan suatu bangsa. Praktik rente ekonomi dan ketidakpastian berusaha yang menyebabkan turunnya daya saing dan produktivitas bangsa serta melebarnya kesenjangan kemakmuran adalah beberapa akibat praktik korupsi. Kita masih mengalami praktik tersebut saat ini.

Untuk menekan praktik korupsi seminimal mungkin, kita memerlukan institusi andal. Yang dimaksud dengan institusi adalah peraturan hukum dan praktik yang memotivasi orang untuk bekerja keras, jujur, memberi kepastian imbalan adil atas kerja keras itu, sehingga memberi manfaat secara ekonomi untuk dirinya dan negara.

Melarang calon kepala daerah atau calon anggota legislatif yang terkena kasus korupsi mengikuti pilkada atau pemilu legislatif merupakan pilihan praktis. Institusi yang kita susun sudah seharusnya tidak memberi tempat kepada pemburu rente menguasai ekonomi dan politik, tetapi menjamin semua mendapat kesempatan adil berdasarkan rekam jejak prestasi.