Ucapan itu amat terkenal tahun 1950-an dan 1960-an di Indonesia ketika terjadi Perang Dingin di dunia Barat yang demokrasi-kapitalis melawan Blok Timur yang sosialis-komunis.

Ucapan itu muncul di wilayah politik yang sudah lama dikenal sebagai "politik itu kotor". Politik berhubungan dengan kekuasaan negara. Apa pun aliran politiknya tentu tujuan politiknya baik juga sesuai dengan ideologisnya, karena ideologi dasarnya pemikiran rasional. Namun, mewujudkan ideologi dalam praktik kekuasaan itu sudah merupakan praktik kehidupan yang mengenal etika atau moralitas baik dan jahat.

Intinya, apa pun ideologi politiknya asal dicapai dengan perbuatan-perbuatan bermoral dapat diterima. Tujuan yang baik harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula. Cara-cara yang tidak baik atau tidak bermoral akan menghancurkan tujuan politiknya sendiri, entah cepat atau lambat. Betapa mulianya tujuan kalau ditempuh dengan perbuatan-perbuatan mengancam, meneror, membohongi, hoaks, khianat, membunuh, menganiaya, dan segala perbuatan tercela yang lain, akan menghancurkan kemuliaan tujuannya.

Baik dan jahat itu masalah perbuatan manusia. Pikiran dan omongannya tiap hari mungkin mulia dan suci, tetapi kalau perbuatannya bertentangan dengan omongannya sendiri, maka dia orang jahat.

Dalam satu rezim terjadi bahwa Pancasila itu luhur dan mulia dan perlu ditatarkan ke semua pegawai negeri, tetapi kalau praktik Pancasilanya tidak wujud, bahkan bertentangan dengan ajarannya, maka kehancuran rezim itu sudah di depan mata, lama atau tidak. Dan Pancasila sendiri kehilangan kepercayaannya. Tujuan tidak sejalan dengan cara hidupnya.

Mungkin sebaliknya, yakni orang-orang kampung di pedalaman yang tak tahu-menahu rumusan ideologi Pancasila, tetapi cara hidupnya benar-benar Pancasilais seperti digembar-gemborkan orang-orang kota, maka merekalah pancasilais sejati. Pancasila itu bukan kata-kata, melainkan perbuatan nyata.

Mereka toleran dan menghormati perbedaan. Adat kami begini adat kamu begitu. Mereka gotong royong. Kami tak punya motor, tetangga yang punya, dipersilakan pinjam kalau benar-benar membutuhkan. Mengakui milik bersama itu juga tampak apabila tetangga kena musibah anaknya hilang, maka seluruh kampung mengalami kehilangan anaknya sendiri, ikut sibuk mencari.

Cara, perbuatan, proses itu lebih penting dari hasilnya. Tujuan menghalalkan cara hanya peduli pada hasil, bukan prosesnya. Tujuan menghalalkan cara sudah menjadi penyakit budaya kita sekarang ini. Sikap dasar konsumtif ini menjadi penyebabnya. Kita ini bukan lagi bangsa produktif, melainkan bangsa konsumtif.

Manusia konsumtif adalah penikmat kerja orang lain. Manusia konsumtif cenderung malas. Mereka tidak mau tahu proses produksi benda-benda konsumsi. Yang penting bagaimana mendapatkan barang-barang konsumsi itu, baik teknologi, ekonomi, ilmu pengetahuan, kesenian. Semakin banyak dan semakin tinggi nilai benda konsumsi semakin banggalah mereka.

Akibat watak dasar ini, "tujuan menghalalkan cara" dilakukan entah dengan mengelabui, membohongi, mencuri, membunuh, intimidasi, meneror, dan lain-lain segala perbuatan jahat. Itulah sebabnya, para koruptor kelas kakap tenang-tenang saja diseret ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan tertawa bangga sembari mengacungkan jari tanda V yang artinya "pahlawan".

Menghargai proses

Bangsa-bangsa yang menghargai proses lebih tahu diri soal perbuatan jahat dan perbuatan mulia. Mereka malu bukan main terungkap skandal seksnya dengan perempuan lain, apalagi ketahuan korupsi, ketahuan menjual dokumen rahasia negara. Mereka bangsa produktif dan kreatif yang menjunjung tinggi nilai proses. Bahwa segala sesuatu ada sebagai hasil proses bekerja. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa ini mampu mengekspor produk kerjanya ke lain bangsa.

Mungkinkah ini akibat dari pendidikan kita yang konsumtif? Anak-anak kita diberi pengetahuan sebanyak-banyaknya dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Semakin banyak buku referensi dan semakin banyak kutipan semakin tinggi nilainya.

Meskipun ini memang penting, tetapi tidak diimbangi dengan pendidikan kreatif dan produktif yang mementingkan proses dari pada hasil.

Di zaman revolusi 1948 saya duduk di sekolah rakyat kelas tiga, pada pelajaran Ilmu Bumi kami disuruh guru membuat peta kelas yang menggambarkan di mana tempat duduk guru, di mana letak papan tulis, di mana letak bangku saya dan teman-teman. Setelah itu kami disuruh menggambar peta seluruh sekolah, di mana letak kelas saya, kelas-kelas lain, dan kantor kepala sekolah dan guru. Juga peta sekolah yang ada di tepi jalan raya dan sungai besar yang memotong jalan itu.

Pengetahuan peta itu kami kerjakan sendiri dan kami produksi sendiri dari pengalaman nyata lingkungan sendiri, bukan dari buku dan bukan dari guru. Guru-guru kami adalah hasil pendidikan sekolah guru zaman Belanda yang terkenal dengan disiplinnya yang keras.

Di "zaman now" yang kita bangga-banggakan ini, pendidikan konsumtif lebih hebat lagi dengan tersedianya teknologi canggih yang kita konsumsi. Kalau dulu di zaman pra-teknologi komunikasi tugas dosen untuk sebuah makalah memakan waktu sedikitnya dua minggu, di "zaman now" ini cukup dua jam kerja. Referensi dan kutipan juga berasal dari "kotak ajaib" itu.

Pendidikan proses yang menekankan kreasi dan produksi barangkali dapat menghapuskan mentalitas "tujuan menghalalkan segala cara" ini.