Adalah benar apabila lingkungan hidup dikatakan sebagai milik semua orang. Untuk itu disebut dalam UUD 1945 Pasal 28H (1) bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun, karakteristik lingkungan hidup (LH) itu tidak seperti barang ekonomi biasa, semakin langka semakin mahal harganya. Kelangkaan LH sering kali tidak diikuti oleh peningkatan perhatian terhadap LH. Dengan kata lain, "harga LH" bisa tetap murah, bahkan tidak dihargai, walaupun pasokan LH semakin rendah.

Fakta di lapangan juga membuktikan, walaupun banjir, kekeringan, sungai-sungai tercemar, air bersih untuk minum semakin langka, binatang-binatang buruan telah musnah, pembangunan ekonomi masih tetap dominan untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), dengan dampak lingkungan yang buruk. Beberapa kota di Indonesia, yang semula tidak pernah banjir, kini telah menjadi langganan banjir, dan fakta-fakta itu belum menjadi pemicu kuat untuk menghargai LH.

Bahkan demikian pula di Pulau Jawa umumnya, dengan seluruh wilayah kabupaten telah mempunyai indeks rentan bencana sangat tinggi, industri ekstraktif tetap diizinkan dengan perhatian terhadap LH yang masih menjadi pertanyaan.

Tragedi kebebasan

Sudah 50 tahun lalu Garrett Hardin, dosen Ekologi Manusia, Universitas California, memublikasikan artikel terkenal: "The Tragedy of the Commons" dalam majalah Science. Artikel tahun 1968 itu diawali pernyataan JB Wiesner dan HF York, bahwa terdapat fenomena masalah yang dialami masyarakat, yaitu tak memiliki solusi teknis. Solusi teknis dimaksud yaitu tindakan yang membutuhkan perubahan hanya dalam teknik ilmu alam, menuntut sedikit atau tidak sama sekali mengubah nilai-nilai manusia atau ide-ide moralitas.

Hardin mengambil karya klasik Adam Smith, The Wealth of Nations (1776), yang memopulerkan "tangan tak terlihat (invisible hand)", yaitu gagasan bahwa seorang individu yang "hanya menginginkan keuntungannya sendiri" seolah-olah, dipimpin oleh tangan tak terlihat, dapat mempromosikan kepentingan publik. Adam Smith berkontribusi pada kecenderungan dominasi pemikiran yang sejak saat itu mengganggu analisis rasional, yang berasumsi bahwa keputusan yang dilakukan secara individual akan, pada kenyataannya, menjadi keputusan terbaik bagi seluruh masyarakat.

Hardin memberi contoh, di dalam pemanfaatan padang rumput milik bersama yang terbuka untuk semua, dengan pendekatan invisible hand tersebut, setiap penggembala akan berusaha memelihara ternak sebanyak mungkin. Pengaturan seperti itu dapat bekerja dengan cukup memuaskan selama berabad-abad karena adanya perang suku, perburuan, dan penyakit yang mengendalikan jumlah manusia sehingga binatang piaraannya jauh di bawah daya dukung pada rumput.

Namun, datang pula di suatu hari, ketika tujuan stabilitas sosial tanpa perang, perburuan dan penyakit menjadi kenyataan, jumlah manusia dan ternak meningkat. Pada titik ini, kerusakan terjadi pada sumber daya alam milik bersama, yang disebut sebagai tragedi. Tragedi itu akibat penggembala rasional menyimpulkan bahwa satu-satunya cara yang masuk akal baginya untuk menambah penghasilan adalah menambah hewan piaraan yang dilepas ke padang rumput itu. Ini juga diikuti penggembala lainnya. Setiap penggembala rasional akan menyimpulkan hal yang sama untuk berbagi hak milik bersama.

Di situlah terjadi tragedi. Setiap orang terkunci dalam sistem yang memaksa mereka meningkatkan hewan piaraannya tanpa batas—di dunia dengan SDA terbatas. Maka, merusak adalah tujuan semua orang, dan masing-masing mengejar kepentingannya sendiri-sendiri dalam masyarakat yang percaya pada kebebasan, yaitu kebebasan dalam kebersamaan yang membawa kehancuran bagi semuanya.

Hardin juga menyatakan bahwa secara terbalik, tragedi milik bersama juga muncul dalam masalah polusi. Ini bukan soal mengambil sesuatu dari milik bersama seperti padang penggembalaan tadi, tetapi memasukkan sesuatu—limbah, bahan kimia, radioaktif, atau limbah panas—ke dalam air atau ke udara. Dalam hal ini manusia rasional punya hitungan bahwa biaya limbah yang dibuang ke tempat milik umum itu lebih kecil daripada biaya memurnikan limbahnya sebelum dibuang.

Karena cara pikir itu dipakai semua orang, kita akan terkunci dalam sistem "mengotori rumah kita sendiri", selama kita bersikap dan mengandalkan rasionalitas yang bebas.

Hardin juga membuat pertanyaan: "Jika kita minta seseorang yang sedang mengeksploitasi bentang alam sebagai barang milik bersama harus berhenti atas nama hati nurani, apa yang akan dia dengar?" Secara sadar atau tidak sadar, seseorang itu akan merasa bahwa ia telah menerima dua komunikasi yang bertentangan. Pertama, dari komunikasi langsung: "Jika Anda tidak melakukan apa yang kami minta, kami akan secara terbuka mengutuk Anda karena tidak bertindak seperti warga negara yang bertanggung jawab".

Kedua, komunikasi yang tidak disengaja: "Jika Anda bertingkah laku seperti yang kami minta, kami akan dengan sekejap mengecap Anda sebagai orang bodoh, karena yang lain mengeksploitasi bentang alam itu." Setiap orang kemudian terperangkap dalam apa yang disebut Bateson sebagai "ikatan ganda". Retorika yang digunakan pada kejadian semacam itu dirancang untuk menghasilkan perasaan bersalah pada orang yang tidak kooperatif. Selama berabad-abad diasumsikan bahwa rasa bersalah adalah unsur yang berharga, bahkan mungkin sangat diperlukan, dari kehidupan yang beradab. Sekarang, kita mulai meragukannya.

LH dan biaya transaksi tinggi

"Milik bersama" yang disebut di atas dapat diartikan sebagai hutan negara, tanah negara, daerah aliran sungai (DAS), maupun bahan-bahan tambang, sungai dan laut, yaitu SDA yang dikuasai negara. Kekayaan negara itu ketika dimanfaatkan oleh individu atau usaha-usaha komersial, dengan keuntungan pada tiap-tiap pelaku, dapat menghasilkan fakta serupa dengan kejadian tragedi milik bersama yang dibicarakan.

Maka, ketika invisible hand yang mempromosikan dicapainya kepentingan publik dari pelaksanaan diperolehnya keuntungan sendiri-sendiri, tidak menjadi kenyataan. Persoalannya justru ada pada pelaksanaan tawaran solusi atas tragedi itu. Kelemahan penegakan hukum administrasi terjadi karena adanya biaya transaksi tinggi.

Dengan tingginya biaya transaksi itu, ekspansi penggunaan sumber daya bersama tanpa izin memang dapat terjadi di tempat yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai lokasi yang tak mudah diketahui. Tetapi juga benar bahwa hasil ekspansi itu sudah menjadi vila dan kolam renang umum komersial dengan akses sangat mudah didatangi banyak orang. Misalnya kawasan hutan di Bogor, Jawa Barat, dengan luas 49.342,59 ha telah terdapat ekspansi penggunaan lahan seluas 22.107,65 ha. Demikian pula pencemaran di sungai-sungai oleh pabrik-pabrik yang mudah aksesnya untuk dijangkau.

Pelaksanaan pemerintahan dapat mempunyai dua sisi. Sisi hukum formal, instruksi-instruksi internal, imbauan dan ajakan terbuka, sosialisasi norma dan tindakan berdasarkan peraturan perundangan, yang berada di sisi terang. Di sisi lain, sisi gelap, yaitu adanya tindakan-tindakan, bahkan oleh orang yang sama sebagai pelaku sisi terang, yang menginstruksikan hal berbeda. Bisa seperti itu apabila pemerintahan yang disebut tadi tidak lebih dari sekumpulan orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi masing-masing.

Kontradiksi-kontradiksi itu intinya sebagai upaya bagaimana tragedi dapat dilindungi, dibuat aneka kekuatan dengan berbagai cara; dari mulai adanya peluang kerja, pengembangan usaha, hingga intimidasi dan penegakan hukum maupun penarikan denda pada orang-orang di lingkungan yang coba menghalanginya. Kuasa ini praksisnya adalah keberhasilan para pelaku tragedi merebut hak-hak esensial negara yang memang negara itu berhak menghukum dan menarik pajak.

Dengan kondisi seperti itu, walaupun diberlakukan sejumlah instrumen pengendalian kerusakan terhadap pelaku-pelaku tragedi, misalnya melalui amdal dan izin lingkungan, pengendalian itu belum sepenuhnya mampu mencapai tujuannya. Ditengarai terdapat 31 titik kelemahan instrumen lingkungan hidup itu, yang bisa menjadi penyebabnya. Litbang KPK selama periode 2013 hingga 2017 telah membuktikan adanya biaya transaksi tinggi itu, dan karena itu terdapat sejumlah program pengendalian perilaku—yang memang bukan berupa solusi teknis, yang disebut Hardin sebagai tak ada solusi jenis itu—melainkan pada perbaikan tata kelola pengelolaan SDA.

Soal identitas manusia

Fakta-fakta yang diungkap itu, walaupun ada dan menjadi kenyataan, bukankah fakta yang mudah dibuka. Sebagian orang malah mengatakan hal itu sebagai fakta tabu apabila diungkap. Membuka fakta-fakta itu dianggap semacam mengingkari nalar kesopanan dan budi pekerti. Padahal, nalar kesopan-santunan sosial dan budi pekerti itu bisa menjadi solusi atas masalah milik bersama akibat permintaan yang tak terbatas. Sebagaimana disebut Hardin dalam tesisnya: "The population problem there has no technical solution; it requires a fundamental extention in morality".