ANTARA FOTO/SEPTIANDA PERDANA

Pekerja menyiapkan kotak surat suara Pilkada untuk didistribusikan di Gudang logistik KPU Medan, Sumatera Utara, Jumat (22/6). KPU Sumut mendistribusikan logistik ke 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumut untuk Pilkada serentak pada 27 Juni 2018.

Komisi Pemilihan Umum mengambil langkah terobosan dengan tidak memberikan ruang bagi bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.

Langkah itu dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Peraturan KPU itu dibutuhkan karena 1 Juli 2018, tahapan pemilu sudah memasuki tahapan pencalonan anggota legislatif. Selain bekas napi korupsi, bekas bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual anak juga dilarang menjadi caleg.

PKPU itu tidak diundangkan Kementerian Hukum dan HAM karena Menteri Hukum dan HAM tidak setuju terhadap larangan bekas napi koruptor masuk dalam PKPU. Ini disayangkan. Alasannya, substansi melarang bekas napi koruptor menjadi caleg bertentangan dengan undang-undang. Menurut kita, Menhuk dan HAM mengundangkan saja aturan itu. Bahwa masalah itu diuji materi, biarlah KPU yang menghadapinya.

ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI

Petugas membawa surat suara untuk didistribusikan di GOR STT Mandala, Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/6). KPU Kota Bandung mendistribusikan 1,7 juta surat suara Pilgub Jabar, dan 1,7 juta surat suara Pilwalkot Bandung ke 4.419 TPS yang ada di Kota Bandung.

Tarik-menarik KPU dengan Kementerian Hukum dan HAM itu tak terselesaikan. KPU akhirnya mengambil terobosan dengan memberlakukan PKPU No 20/2018 sejak ditetapkan KPU. Dengan klausul itu, peraturan KPU tidak butuh pengundangan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Terobosan itu memang berisiko hukum. PKPU itu terbuka diuji materi ke Mahkamah Agung. Meski penerbitan peraturan KPU itu berisiko hukum, kita mendukung semangat di balik penerbitan PKPU tersebut.

Dari sisi etika dan kepantasan, memang sangat tidak pantas calon anggota DPR diisi caleg yang pernah menjadi napi korupsi. Masuknya bekas napi korupsi ke DPR harus dicegah melalui pasal peraturan dan bukan semata-mata diserahkan kepada pemilih.

Hasil pemilihan kepala daerah memberikan gambaran, masyarakat pemilih tetap saja memilih kepala daerah kendati kepala daerah itu berada dalam tahanan KPK. Situasi anomi seperti itulah yang mengharuskan perlu aturan agar orang yang pernah bermasalah tidak menjadi caleg.

ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA

Ketua KPU RI Arief Budiman (tengah) didampingi oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) dan Ilham Saputra (kiri) memberikan keterangan pers terkait perkembangan Pilkada serentak 2018 di Gedung KPU Pusat, Jakarta, Jumat (29/6). KPU menyatakan Pilkada serentak 2018 berjalan aman dan lancar.

KPU telah berbuat sesuatu untuk mencegah masuknya bekas napi koruptor ke DPR. Langkah KPU itu patut diapresiasi. Bahwa akan ada calon anggota legislatif bekas koruptor yang menguji peraturan itu, hal tersebut merupakan hak mereka. Biarlah Mahkamah Agung menguji aturan tersebut.

Korupsi adalah musuh utama bangsa ini. Butuh keseriusan bangsa ini untuk memberantas korupsi. Perilaku korupsi telah mengakibatkan terjadi pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Argumen pemerintah bahwa hak mencalonkan diri, termasuk bagi bekas koruptor menjadi caleg, adalah hak manusia bisa benar pada satu sisi. Namun, pada sisi lain perilaku korupsi juga melanggar hak asasi manusia orang lain. Butuh keberanian elite bangsa ini untuk melarang bekas napi koruptor menjadi caleg. Keberanian itu ternyata ada di KPU. Langkah KPU patut didukung kendati ada risiko hukum.

Biarlah publik menilai, siapa sebenarnya yang punya komitmen memberantas korupsi serta siapa yang hanya berpura-pura dan siapa sebenarnya yang prokoruptor. Langkah bekas terpidana korupsi menggugat ke MA juga harus dihormati.

Kompas, 3 Juli 2018