Lalu Muhammad Zohri memang fenomenal. Tak banyak warga kita yang bisa disejajarkan dengannya. Tanggung jawab bangsa untuk meraih prestasi lebih tinggi lagi.

Berbeda dengan Lalu, perjalanan karier Franklin Ramses Burumi di dunia atletik terbilang singkat. Burumi meraih medali emas nomor 100 meter putra pada SEA Games 2011 di usia 20 tahun. Akan tetapi, pada PON Riau 2012, Burumi hanya meraih medali perak karena cedera lutut akibat kecelakaan lalu lintas di Jayapura seusai SEA Games.

Pencapaian Burumi dan Lalu yang baru berusia 18 tahun itu memang cukup menggembirakan. Namun, kita tidak boleh larut. Jangan seperti Burumi, kita bersama harus mau dan mampu mengawal perjalanan panjang Lalu untuk mencapai prestasi yang jauh lebih tinggi lagi. Apalagi, Lalu meraih medali emas di Tampere, Finlandia, dengan catatan waktu cukup fantastis, 10,18 detik.

Kurang dari sebulan lagi, Lalu akan tampil dalam arena Asian Games. Kita tidak berharap Lalu harus mempersembahkan medali. Jika ia bisa mempertahankan catatan waktu yang dicapai di Tampere, itu sudah cukup bagus.

Pada Asian Games nanti, setidaknya dua pelari memiliki catatan waktu lebih baik dari Lalu. Pertama, Femi Ogunode (27) asal Qatar, peraih medali emas Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, dengan catatan waktu 9,93 detik. Kedua, sprinter asal China, Su Bingtian (28), pemegang rekor Asia dengan catatan waktu 9,91 detik, yang diraih saat tampil pada kejuaraan atletik World Challenge Meeting di Madrid, Spanyol, 2018.

Kita tahu bahwa untuk mempertajam kecepatan tidak bisa dilakukan dengan mudah. Bahkan, untuk memperbarui rekor nasional yang dipegang Suryo Agung Wibowo (10,17 detik), Lalu harus berlatih lebih keras. Artinya, untuk mengejar jarak 0,01 detik dibutuhkan latihan dan waktu. Syukur kalau hal itu bisa dicapai pada Asian Games bulan depan.

Kita hanya tahu Lalu berhasil meraih medali emas, tetapi kita tidak tahu bagaimana Lalu berlatih untuk dapat mencapainya. Kita tahu di ujung, tetapi tidak mau tahu proses bagaimana Lalu bisa sampai ke situ.

Dalam banyak hal, kita sering kali hanya mau melihat keberhasilan dan mengkritik habis kegagalan. Kita tak pernah belajar membenahi persoalan dari hulu sehingga cerita keberhasilan tak sekadar kebetulan belaka. Di saat ada talenta berbakat, di saat itulah keberhasilan diraih.

Berbicara olahraga, kita harus berbicara tentang pembinaan berkelanjutan. Kita tidak cukup hanya memuji keberhasilan, tanpa membenahi program, pola latihan, dan tak kalah penting penerapan sport sciences.

Bukan rahasia bahwa sejumlah pelatih di Indonesia melatih atlet berdasarkan pengalaman semasa menjadi atlet. Akibatnya, pencapaian sang atlet tidak bisa maksimal. Dalam kasus Lalu, misalnya, PB PASI mendatangkan pelatih Hary Mara dari AS.