Tampaknya kita belum belajar dengan benar tentang sejarah. Padahal, sejarah bisa menuntun kita dengan benar untuk menuju dan merawat suatu perubahan.

Dua puluh tahun sudah reformasi terlewati tanpa ada perubahan substansi. Demikian kata sebagian besar para pengamat dan kritikus! Namun, saya tak mau terjebak dengan pandangan yang ada (pro dan kontra), tetapi ingin menghadirkan kerisauan apakah 10 atau 20 tahun ke depan kita akan membiarkan situasi seperti ini terus berulang?

Dua puluh tahun yang lalu, saat saya masih mahasiswa semester keempat, reformasi bergulir dan berhasil menjatuhkan Presiden Soeharto. Namun, sangat disayangkan, 20 tahun yang lalu gagasan besar enam tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa sekadar cek kosong yang diberikan kepada elite-elite bangsa. Alhasil, tidak sedikit para senior aktivis kampus saat itu ikut "terjebak", bahkan masuk "kubangan" kekuasaan dan melupakan tuntutan reformasi yang mulia tersebut. Mengapa? Jawabannya karena cek kosong yang diberikan tidak disertai dengan instrumen dan metode yang jelas!

Beberapa waktu lalu, media (arus utama ataupun media sosial) kembali mempertontonkan berbagai aksi memperingati reformasi 1998. Suasana peringatan memang sarat dengan kritik kekuasaan. Saya kira hal ini wajar karena tahun ini adalah tahun politik.

Namun, sadarkah kita bahwa kejadian dan situasi saat ini (kurs rupiah mencapai Rp 14.200 per dollar AS, impor pangan, kesenjangan desa, dan lain sebagainya) jangan sampai terulang lagi pada masa yang akan datang. Masa di mana golongan usia muda (usia produktif) Indonesia akan mendominasi dari 271 juta pada 2020 menjadi 305 juta pada 2035, serta kenaikan kelas menengah (mereka yang menyelesaikan studi di perguruan tinggi) dari 37,7 persen (80 juta jiwa) menjadi 56,5 persen (134 juta jiwa). Cukup sudah cek kosong tuntutan reformasi 1998 adalah pil pahit yang harus kita telan bersama-sama.

Saya masih berpandangan bahwa enam tuntutan reformasi 1998 masih relevan dan penting untuk diperjuangkan para mantan aktivis. Alasannya sederhana. Pertama, ke depan, secara alamiah pasti terjadi alih generasi kepemimpinan di negeri ini, di mana golongan tua yang jadi elite saat ini akan ter- gantikan dengan golongan muda. Kedua, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya masih belum optimal tergarap dengan baik oleh para mantan aktivis.

Jika kedua alasan di atas sepenuhnya disadari, kita bisa memulainya dari desa. Para aktivis kampus seyogianya sudah menghiasi reproduksi kepemimpinan dari desa menuju kepemimpinan nasional. Sebab, desa adalah arena pembuktian kepemimpinan para aktivis kampus yang sejati.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membuka ruang arena kepada para aktivis kampus untuk menguji kepemimpinan dan idealisme membangun Indonesia. Itu karena akar persoalan dan kreativitas menjawab tantangan zaman sesungguhnya ada di desa. Tak mustahil suatu saat nanti kepemimpinan bupati/wali kota, gubernur, dan presiden akan lahir dari kepemimpinan desa. Kepemimpinan desa adalah kesejatian gaya kepemimpinan yang mampu menjawab persoalan substansi yang dibutuhkan Indonesia pada masa depan.

Lima agenda

Romantisisme reformasi tahun 1998 yang memberikan cek kosong kepada generasi terdahulu sudah saatnya kita akhiri. Romantisisme biarlah jadi pelajaran berharga untuk memperbaiki bangsa ini ke depan. Saatnya menguji kepemimpinan para aktivis kampus guna merebut dan membangun desa. Sebab, wajah Indonesia sesungguhnya adalah wajah desa hari ini yang penuh ragam persoalan yang menanti sentuhan para mantan aktivis kampus.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan mantan aktivis kampus untuk menjadi aktivis desa yang mampu menyelesaikan lima agenda yang menanti di desa. Pertama, desa-desa Indonesia kaya pangan (73,14 persen dari 74.958 desa adalah desa bertipologi pertanian), tetapi ironinya Indonesia menjadi negara pengimpor pangan. Dalam kondisi ini, kepemimpinan desa harus mampu membuktikan bahwa Indonesia harus berdaulat pangan sebab persoalan pangan adalah persoalan mati-hidupnya suatu bangsa!

Kedua, desa-desa pertanian adalah desa-desa yang identik dengan ketertinggalan. Artinya, Indonesia mengalami krisis kedaulatan yang jadi ancaman ke depan. Kepemimpinan desa dalam konteks ini adalah kemampuan mendaulatkan desa menjadi desa-desa yang memiliki pangan berlebih.

Ketiga, desa-desa di Indonesia mengalami problem kemiskinan dan pengelolaan ekonomi perdesaan yang belum optimal. Tercatat 14-20 persen kantong kemiskinan terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia, pantai selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera, serta 183 kabupaten tertinggal. Di sinilah pembuktian kepemimpinan desa sangat dibutuhkan sebagai jejak rekam keteladanan.

Keempat, posisi golongan muda sebagai subyek kemiskinan dan fenomena lost generation pemuda desa. Ke depan, 50 persen populasi penduduk di negara-negara berkembang adalah penduduk yang tergolong pemuda dan 70 persennya diduga akan mengalami kemiskinan ekstrem yang tinggal di perdesaan. Agenda ini mengisyaratkan bahwa Indonesia akan mengalami keadaan di mana desa sebagai sumber kehidupan bangsa Indonesia akan ditinggalkan oleh pemuda desa. Oleh karena itu, kepemimpinan desa yang dimotori mantan aktivis kampus harus tampil sebagai agen perubahan yang memberikan keyakinan kepada para pemuda bahwa merebut desa adalah tugas sejarah.

Terakhir, kelima, agenda menuntaskan korupsi dana desa. Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya agenda nasional ini menembus desa sebagai jantung pertahanan Indonesia. Membiarkan situasi seperti ini akan menjadi persoalan besar pada masa depan sehingga kepemimpinan desa yang berkarakter sangat dibutuhkan untuk mengembalikan marwah pembangunan desa. Para mantan aktivis kampus harus hadir untuk mengembalikan marwah tersebut.