Dalam artikelnya di Kompas, 12 Juli 2018, Eddy OS Hiariej menjawab keberatan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan delik korupsi di Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana.

Tulisan itu menanggapi pernyataan saya tentang tujuh kelemahan delik korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Sejatinya, perdebatan retorik semacam ini tak diperlukan lagi mengingat Presiden Joko Widodo telah menyampaikan sikapnya terkait dengan penyusunan RUU HP. Saya hadir pula dalam pertemuan tersebut, tetapi sekadar memberikan pemahaman yang obyektif bagi masyarakat dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, berikut disampaikan beberapa catatan yang relevan.

Dalam pertemuan 4 Juli 2018 dengan unsur pimpinan KPK, Presiden telah menyampaikan sikapnya agar tim penyusun RUU HP lebih mendengarkan masukan KPK dan pemangku kepentingan lainnya. Presiden juga menyampaikan agar tidak perlu kesusu membatasi 17 Agustus 2018 sebagai tanggal pengesahan RUU HP.

Lebih dari itu, Presiden menegaskan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak boleh melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Etikanya, perintah Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus ditaati oleh jajaran di bawahnya, termasuk tim penyusun RUU HP.

Sikap KPK

Sampai hari ini KPK konsisten mendorong agar delik korupsi diatur seluruhnya dalam undang- undang khusus di luar KUHP. Tak ada pergeseran sikap ataupun perubahan argumentasi yang mendasari pikiran itu. Penyajian argumentasi dapat beragam.

Secara lengkap argumentasi itu telah disampaikan dalam surat formal kepada pemerintah sehingga tidak perlu dijelaskan ulang. Untuk publikasi umum, keberatan tersebut disederhanakan menjadi sepuluh keberatan, atau karena keterbatasan kolom opini, cukup tujuh keberatan, yang esensinya sama.

Kepada Presiden disampaikan lima pokok pikiran utama. Pertama, masyarakat masih melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kedua, korupsi menjadi perhatian dunia internasional. Ketiga, perlunya perlakuan khusus terhadap kejahatan korupsi.

Keempat, tidak ada insentif terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan dimasukkannya delik korupsi dalam RUU HP. Kelima, risiko melemahnya upaya pemberantasan korupsi dan terganggunya kewenangan KPK akibat kodifikasi.

Membicarakan perdebatan teknis hukum yang retorik dan teoretis kepada masyarakat dan Presiden jelas tidak relevan mengingat Presiden adalah kepala negara, bukan pakar pidana.

Sesat pikir?

Tudingan bahwa KPK dan publik sesat pikir mencerminkan arogansi, padahal kesimpulan tersebut berangkat dari kesalahan memahami argumentasi. Tidak ada premis umum yang menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa semata-mata karena diatur di luar KUHP.

Justifikasi korupsi sebagai kejahatan luar biasa dapat dibaca jelas dalam penjelasan UU No 30/2002, konsideran menimbang dan penjelasan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001. Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi harus diperlakukan khusus, berbeda dengan kejahatan umumnya, dan karena itu berbagai penyimpangan terhadap prinsip umum harus dilakukan.

Supaya jelas dan sistematis dibuatlah dalam aturan terpisah dari KUHP. Memasukkan delik korupsi, seperti rumusan dalam rancangan, dikhawatirkan mengurangi kekhususan dimaksud. Kekeliruan memahami argumentasi telah menyebabkan yang bersangkutan gagal menarik kesimpulan yang benar dan relevan, ignoratio elenchi.

Eddy OS Hiariej sebenarnya pernah menegaskan "logikanya nanti kalau masuk KUHP, kejahatan korupsi akan setara dengan orang mencuri ayam. Dengan dimasukkannya korupsi dalam KUHP, akan mengancam eksistensi KPK karena keberadaan lembaga ini cenderung tidak lagi diperlukan". Meski belakangan pandangannya berubah setelah masuk sebagai tim ahli RUU HP.

Insentif

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah ada insentif (manfaat) bagi pemberantasan korupsi dengan masuknya delik korupsi dalam RUU HP? Tidak ada! Pertanyaan ini diajukan untuk mengarahkan upaya pembaruan hukum termasuk kodifikasi sebagai sarana mewujudkan kemanfaatan masyarakat, termasuk dalam usaha melakukan pemberantasan korupsi.

Jadi, maknanya lebih dari sekadar kegiatan membukukan aturan sebagaimana disampaikan tim penyusun. Ini adalah nalar umum (common sense), tidak melulu berkaitan dengan teori utilitarian dan Jeremy Bentham.

IC van der Vlies dalam Handboek Wetgeving menguraikan perihal pergeseran kodifikasi menuju modifikasi. Membukukan aturan dalam kitab hukum banyak dilakukan pada abad ke-18 sampi ke-19, tetapi motif tersebut telah ditinggalkan. Tugas pembuat UU tidak lagi sekadar mengumpulkan dan membukukan, tetapi lebih ditujukan untuk melakukan perubahan sosial. Ini adalah karakter modifikasi yang hari ini tecermin dalam berbagai aturan di banyak negara maju.

Kalaupun kodifikasi dijadikan pilihan, pembuat undang-undang harus mampu merumuskan kaidah-kaidah hukum secara cermat terinci dan tidak bermakna ganda, demikian dijelaskan JA Pontier dalam Rechtsvinding.

Faktanya, rumusan delik korupsi dalam rancangan menjadi sumber perdebatan publik. Kodifikasi sebatas kepentingan akademis akan mengecewakan masyarakat, apalagi tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk penyusunan RUU HP diambil dari pajak rakyat.

Agar tidak gegabah, tim penyusun perlu lebih banyak mendengarkan masukan dan memperbaiki apa-apa yang menjadi catatan. Resistensi tim penyusun terhadap kritik malah membuat upaya pembaruan KUHP menjadi kontraproduktif. Lagi pula, tak ada ruginya bersikap terbuka dan akomodatif mengingat perubahan KUHP akan diberlakukan bagi masyarakat dan penegak hukum.