AFP/TOLGA AKMEN

Foto ini diambil pada 27 Maret 2018 saat Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson meninggalkan 10 Downing Street di pusat kota London setelah mendatangi pertemuan rutin kabinet. Ia mengundurkan diri setelah beberapa jam sebelumnya menteri untuk Brexit David Davies terlebih dahulu mengundurkan diri.

Skema Brexit yang disetujui kabinet Perdana Menteri Theresa May kurang disukai kelompok garis keras pendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Dua tokoh utamanya mengundurkan diri. Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson dan Menteri Urusan Brexit David Davis meletakkan jabatan karena menilai skema Brexit yang disiapkan oleh London untuk dinegosiasikan dengan UE terlalu lunak. Johnson bahkan menyebut, dengan model tersebut, Inggris tak ubahnya koloni dari UE.

Sebaliknya, bagi dunia bisnis, skema Brexit yang disepakati kabinet Inggris pada Jumat pekan lalu dinilai akan membawa negara itu pada arah Brexit lunak (soft Brexit). Artinya, setelah resmi keluar dari UE pada tahun depan, perdagangan ataupun lalu lintas jasa antara negara itu dan Eropa tetap mudah. Situasi ini jelas menguntungkan dunia usaha.

Akan tetapi, model seperti ini, dari sisi politik, tentu harus dibayar Inggris dengan tetap memiliki sejumlah ikatan terhadap Eropa, antara lain keharusan mengadopsi sebagian peraturan yang dibuat oleh UE. Tak pelak, Johnson menyebut, sesungguhnya, lewat skema Brexit yang disepakati kabinet pekan lalu, mimpi perceraian Inggris dari UE mati.

Di sisi lain, menurut analis keuangan, tindakan Davis yang mengundurkan diri pada Minggu (8/7/2018) membuat investor kian optimistis dan yakin bahwa Inggris bakal menempuh soft Brexit. Akibatnya, pound sterling, Senin (9/7), mencapai posisi tertingginya selama satu bulan terakhir terhadap dollar Amerika Serikat, yakni di atas 1,33 dollar AS. Akan tetapi, ketika Johnson juga mengundurkan diri sebagai menlu, mata uang itu tiba-tiba turun. Pasar tampaknya menilai Inggris akan memasuki krisis politik setelah Johnson mundur.

Pengunduran diri Johnson dan Davis menunjukkan, selama ini ada perbedaan mendalam di kalangan Partai Konservatif dalam menghadapi isu Brexit. Setelah mundurnya Johnson, terbuka peluang terjadi upaya menggeser May sebagai pemimpin kubu Konservatif, yang berdampak pada pergantian perdana menteri.

Namun, ada sinyal bahwa kelompok garis keras Brexit, yang menghendaki Inggris sama sekali terputus dari UE tanpa perjanjian parsial apa pun, tidak berminat menggeser May. Sinyal ini ditunjukkan oleh Davis yang menyatakan dirinya tidak akan mendukung pergantian kepemimpinan.

Selain itu, upaya pergantian kepemimpinan Konservatif yang dilancarkan kubu garis keras bisa saja gagal. Dampaknya secara politik: kubu pro-Brexit akan melemah. Situasi ini tentu bukan hal yang dikehendaki oleh mereka yang menginginkan Inggris meninggalkan UE.

Turbulensi yang dialami May dan kabinetnya setelah pengunduran diri Johnson menunjukkan, isu Brexit merupakan perkara yang sangat pelik. Kelancaran lalu lintas perdagangan serta jasa antara Inggris dan Eropa selama ini menguntungkan London. Namun, hasil referendum Brexit pada 2016 membalikkan semuanya. Tugas berat pemerintahan Inggris sekarang ialah memastikan Brexit tidak membuat negara itu mengalami kemunduran.


Kompas, 11 Juli 2018