There will be no peace between the civilizations without a peace between the religions. And there will be no peace between the religions without
a dialogue between the religions.

(Kung 1998: 92)

Kendati mendapat banyak kritik, kata-kata Hans Kung dalam "A Global Ethic for Global Politics and Economics" itu jadi salah satu matra terpenting dalam usaha membangun dialog antaragama sebagai kunci mewujudkan perdamaian dunia.

Dialog antaragama amat penting kendati tak akan menyelesaikan semua persoalan. Namun, banyak persoalan yang sangat mungkin bisa diselesaikan melalui dialog agama. Dialog agama adalah kebutuhan untuk kehidupan dan kebersamaan kita sebagai umat manusia, baik dalam konteks kebangsaan Indonesia maupun dalam konteks yang lebih luas lagi.

Dialog antaragama adalah proses terus-menerus untuk membangun saling pemahaman dan saling menimba pelajaran antar-pemeluk agama. Membangun saling pemahaman itu tak mudah. Sebab, faktanya, tradisi agama-agama itu memang beragam. Ada agama Buddha atau Konfusianisme yang cenderung nonteistik dalam doktrin-doktrinnya, tetapi memiliki tekanan terhadap etik dan manajemen diri yang sangat kuat. Ada agama yang sangat menekankan aspek ketuhanan, seperti Islam, Kristen, dan Yahudi. Ritusnya juga memiliki keragaman yang luar biasa. Apalagi terkait pengalaman sosial para pemeluknya, tentu memiliki keragaman lebih banyak lagi.

Karena banyak dan luasnya keragaman, saling memahami itu bukan perkara mudah. Butuh kerelaan hati, pikiran, waktu, dan tenaga. Perlu proses terus-menerus yang harus dilakukan dalam tiap entitas kehidupan bersama dalam masyarakat. Karakter dialog agama yang dibutuhkan bukanlah yang formalistik, melainkan dialog dalam pengertian yang luas. Perjumpaan-perjumpaan alamiah, tulus, dan produktif yang melahirkan peningkatan saling pemahaman.

Saling pemahaman berarti orang lain makin tahu, menerima, dan menghormati segala hal terkait keberagamaan kita. Juga sebaliknya, kita makin memahami, mengerti, dan mensyukuri keberagamaan orang lain. Saling pemahaman berarti bukan sikap ignorance (cuek dan tak peduli) terhadap keragaman sebagaimana sikap toleransi yang pasif. Saling pemahaman adalah sikap penuh perhatian dan peduli.

Saling belajar

Proses yang juga harus dilakukan dalam dialog antaragama adalah saling belajar. John B Cobb Jr dalam Transforming Christianity and the World: A Way Beyond Absolutism and Relativism memberikan gambaran konsepsi yang tampak kontroversial tentang hasil dari proses belajar ini. Terjemahan dari konsep-konsep itu mungkin juga membuat banyak orang tak suka, seperti orang Kristen yang sudah terislamkan, orang Islam yang sudah terkristenkan, dan seterusnya.

Namun, tunggu dulu. Isi dari konsep itu sesungguhnya sama sekali tidak kontroversial. Contoh konkretnya, saya pernah mengikuti acara beberapa hari di UKSW, Salatiga, atas bantuan Prof John Titaley dan Issack Lattu. Dalam pembukaan acara itu setiap pagi digelar doa. Bagi saya sebagai Muslim, itu biasa saja. Akan tetapi, yang membuat saya mendapat pelajaran penting adalah pemimpin doa dan isi doanya.

Pemimpin doa itu ternyata siapa saja, bapak bagian layanan kebersihan, ibu bagian tata usaha, dosen, dan kadang unsur pimpinan. Isi doanya ternyata receh-receh, tetapi sangat mengena. "Bapak dari teman kami sedang menjalani operasi, berikanlah ia kekuatan, kesabaran, dan kesembuhan", yang disambut hadirin, "Amin". Pendoa lagi, "Anak kami sedang melaksanakan persiapan ujian, berilah ia kesuksesan", yang disambut, "Amin". Begitu-begitu saja, receh, tetapi sangat mengena.

Bagi saya sebagai Muslim, pengalaman sekitar 17 tahun lalu itu sangat berharga. Sebab, tradisi doa kami (Muslim), isi doa yang dilafalkan dengan bahasa Arab mengusung tema besar-besar: permintaan setinggi-tingginya, tetapi sering kurang relevan dengan konteks situasional jemaah. Dan, para pendoanya adalah orang yang dianggap paling otoritatif dalam agama, yaitu kiai, ustaz, dan lainnya. Biasanya laki-laki, jarang sekali pemimpin doa perempuan.

Ketika saya sebagai Muslim memahami itu, lalu mengambil pelajaran dari praksis beragama saudara Kristiani itu, saya disebut Christianized Muslim, orang Islam yang sudah belajar kepada orang Kristen. Pelajaran yang saya ambil misalnya berdoa tidak harus dipimpin otoritas sebab dalam Islam pun dinyatakan, doa orang fakir miskin yang teraniaya itu paling makbul. Isi doa juga akan lebih mengena jika terkait konteks riil yang dihadapi jemaah. Sejak dulu saya ingin menerapkan itu ketika memulai kuliah di UIN Sunan Kalijaga, tetapi dalam praktik tak mudah istikamah: seperti mendoakan bersama orangtua mahasiswa jika ada yang sakit, sekadar membaca Al-Fatihah, misalnya.

Jadi, Christianized Muslim itu bukan berarti sebagai Muslim larut dan mengikuti agama Kristiani. Namun, Muslim belajar dari tradisi saudara Kristiani dalam mengamalkan agamanya  untuk memperkuat dan memperdalam pemahaman terhadap agamanya sendiri. Jadi, idealnya menurut konsep itu, pemeluk agama itu banyak belajar pada praksis agama orang lain, tetapi sekaligus sangat teguh dan kuat berpijak terhadap agamanya sendiri. Dua hal yang tampak berlawanan ini nyata bisa dilakukan bersamaan.

Contoh lain, pengalaman saya naik bus kota di Yogyakarta. Saya sering duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang pergi atau pulang dari gereja di Jalan Gejayan. Ketika saya tanya dari gereja mana, mereka pun bertanya balik, "Bapak di gereja mana biasanya?" Saya menjawab, "Saya di masjid, Bu. Saya Muslim."

Meskipun jawaban itu sedikit mengagetkannya, faktanya lalu terjadi saling cerita mengenai ritual dalam Islam dan Kristen.

Saya bercerita tentang kewajiban berwudu sebelum shalat. Yang mengejutkan saya, ternyata wudu belum mereka kenal meski kata itu mungkin kerap terdengar. Saya pun bercerita bahwa wudu adalah aktivitas bersuci seperti ini-itu. Ibu itu senang sekali dan merasa mendapat pengetahuan baru dari penjelasan saya. Mungkin pengalaman sekitar 15 tahun lalu itu ada manfaatnya juga buat beliau.

Jadi, dialog agama idealnya adalah meneguhkan identitasnya, bukan lamis dengan pernyataan-pernyataan kesamaan yang kadang palsu. Dialog sebaiknya dimulai dari titik perbedaan, mengatakan tentang diri apa adanya dan senyatanya, lalu berkembang menjadi saling memahami, lalu saling belajar sampai pada titik yang tak berujung.

Tidak pluralis

Saling pemahaman juga berarti bukan melakukan eliminasi terhadap perbedaan. Perbedaan adalah nyata, fakta, dan hakikat. Mengingkari adanya keragaman bahkan dalam satu agama pun, menurut Jamal al-Bana, adik pendiri Al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Bana, dalam buku Al-Ta'addudiyyah Fi Mujtama' Islamy, adalah ingkar terhadap kebenaran dan ketentuan Ilahi. Dalam ketentuan Ilahi itu jelas, semua aspek dalam kehidupan manusia itu beragam dan yang tunggal itu hanya satu, yakni Yang Mahatunggal.

Jadi, keragaman itu harus diterima, dipahami, disyukuri. Perbedaan bukan malah dipaksa-paksa jadi sesuatu yang sama. Dialog antaragama bukan bertujuan menjadikan agama-agama yang berbeda menjadi sama. Tindakan memaksakan atau mempersamakan agama-agama adalah pengkhianatan paling besar terhadap pluralitas agama. Itu adalah tindakan yang antipluralitas kendati sering dinamakan pluralisme. Dialog justru diperlukan untuk melihat dan memahami perbedaan senyatanya.

Pada titik ini, usaha-usaha pencarian titik temu teologis antaragama seperti yang pernah diusung John Hick (1995), Farid Esack (2002), Nurcholish Madjid (1995), Karl Rahner (1995), atau Imtiyaz Yusuf (2009), menurut penulis, bukan agenda mendesak dan penting. Dialog agama yang berpretensi mencari-cari kesamaan justru cenderung buang-buang tenaga.