Dalam kurun waktu dua bulan terakhir hingga jelang berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden, 10 Agustus 2018, manuver politik terus dilakukan para bakal calon dan partai politik.

Terlihat persoalan utamanya adalah menentukan calon wakil presiden (cawapres) di dua kubu yang ada, baik di kubu petahana Joko Widodo (Jokowi) maupun di kubu penantang Prabowo Subianto. Pertanyaan mendasar yang muncul, apakah penentuan cawapres itu berdasarkan pijakan visi dan misi yang sama (kesamaan ideologis), ataukah murni hanya hitung-hitungan matematis-politis untuk dapat memenangi kontestasi?

Di kubu petahana, misalnya, sejatinya partai pendukung yang bisa kita sebut koalisi sudah cukup solid jika melihat dari serangkaian pemberitaan tentang bagaimana Jokowi mengonsolidasikan diri dengan mengundang pimpinan parpol, yaitu PDI-P, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, Partai Hanura, bahkan parpol yang belum mempunyai kursi di DPR, yaitu Perindo dan PSI.

Sementara kubu Prabowo, selain Partai Gerindra, beberapa parpol lain sudah melakukan konsolidasi satu sama lain, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan PAN. Namun, hingga satu hari menjelang akhir masa pendaftaran, kedua kubu belum kunjung mengumumkan siapa cawapres—apalagi melakukan pendaftaran ke KPU.

Kondisi ini menggambarkan betapa dinamisnya politik Indonesia kontemporer. Koalisi dimaknai hanya sebatas bergabungnya beberapa parpol untuk mengusung pasangan capres-cawapres yang sama meskipun tentu dalam prosesnya akan dilakukan pembahasan tentang visi misi pasangan capres dan cawapres tersebut.

David Apter menyatakan, koalisi merupakan kumpulan individu atau kelompok sosial yang punya visi dan misi tersendiri, yang kemudian bergabung untuk tujuan bersama sehingga visi dan misi semula masing-masing menjadi tersamarkan. Koalisi sosial akan runtuh dan terpecah apabila sudah mencapai apa yang menjadi tujuan bersama (koalisi)-nya, terlebih jika dikaitkan dengan distribusi kekuasaan dalam kelompok sosial-politik.

Dinamika politik Indonesia itu sesungguhnya merupakan sebuah kondisi yang "normal" dalam konteks budaya politik yang bersemai di bumi Indonesia. Budaya politik dimaksud adalah tumbuhnya kesadaran bahwa Indonesia ini heterogen sehingga kontestasi pilpres lebih dimaknai pemilihannya melalui metode pemilihan langsung, tetapi cara-cara berkontestasinya tetap dengan cara lama, yakni menggabungkan dua kekuatan utama dalam masyarakat yaitu "abangan" dan "santri" serta ditambah "priayi" sebagaimana tesis Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat yang melakukan penelitian tentang Indonesia  (khususnya Jawa) dalam buku yang terkenal, The Religion of Java.

Kedua kubu pasangan capres- cawapres terlihat berusaha menggabungkan kekuatan-kekuatan dimaksud dalam masyarakat. Betapa Jokowi berusaha menghilangkan stigma islamopobia, selain dengan berkoalisi dengan beberapa partai Islam (PPP, dan PKB), juga menggandeng (sebagai kandidat cawapres) beberapa tokoh agama, seperti sosok Ma'ruf Amin dan Mahfud MD.

Sementara Prabowo dikaitkan dengan koalisi keumatan termasuk dengan Persaudaraan Alumni 212 serta adanya Ijtima Ulama yang mengusulkan dua nama, yaitu Salim Segaf Al'Jufrie (PKS) dan Ustaz Abdul Somad (belakangan menegaskan tak mau ikut dalam kontestasi politik). Bahkan koalisi di kubu Prabowo memberikan tekanan jika tak memilih satu dari dua nama hasil Ijtima Ulama, koalisi akan buyar. PKS dan PAN masih membuka ruang untuk tidak bergabung dengan koalisi Prabowo.

Fenomena "ijo royo-royo"

Pada masa Orde Baru, sekitar 10 tahun terakhir Presiden Soeharto berkuasa, muncul istilah "ijo Royo-royo", manakala kekuasaan sangat dekat atau setidaknya berusaha mendekati umat Islam yang sebelumnya dirasa terpinggirkan. Hal itu tentu dalam rangka bagaimana agar kekuasaan dapat terus langgeng dengan cara mendekati kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik bangsa.

Hari ini, kondisi serupa muncul yaitu bagaimana kedua kubu berusaha mendekati umat Islam yang dinilai memiliki pengaruh signifikan. Bedanya, hari ini proses peralihan kekuasaan dilakukan secara langsung sehingga akan sangat terlihat bagaimana pengaruh umat Islam dalam pemilu yang memberikan suara secara langsung (one person one vote one value). Meski demikian, harus juga dilihat sejarah politik Indonesia bahwa sesungguhnya kekuatan umat Islam tidak selalu berada dalam satu kubu.

Dengan tak memisahkan antara dua ormas keislaman terbesar, sejatinya kekuatan umat Islam selalu terdapat perbedaan dalam menyikapi kondisi politik. Sejak lahirnya Masyumi yang diikuti keluarnya Nahdlatul Ulama dan kemudian menjadi satu kekuatan politik sendiri hingga masa reformasi ini betapa kekuatan politik Islam cenderung tersebar dalam beberapa parpol yang berbasis massa Islam seperti PKB, PPP, PKS, PAN, dan PBB.

Begitu juga kaum nasionalis dan kekaryaan tersebar dalam beberapa parpol sejak awal reformasi yang berganti-ganti nama hingga akhirnya pada hari ini diwakili beberapa parpol seperti PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, Hanura, Perindo, dan PSI, ditambah beberapa parpol baru (muka lama) yaitu Partai Berkarya dan Partai Garuda.

Melihat kondisi di atas, sesungguhnya pertanyaan di awal dapat dijawab bahwa koalisi yang terjadi bukanlah didasarkan atas kesamaan visi misi (ideologi) dari awal, melainkan lebih kepada hitung-hitungan matematika politik yang berpijak pada kolaborasi antara kaum nasionalis dan agama, ditambah kaum priayi (mengikuti istilah Geertz). Dengan demikian, siapa pun yang nanti berkuasa tak akan berbeda jauh dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan Pancasila.

Yang membedakan hanyalah cara menjalankan amanat. Memang patut diwaspadai adanya anasir-anasir dalam kekuasaan sebagaimana yang terjadi di masa lalu, bahkan di belahan dunia mana pun, sebagai dampak kian mengglobalnya dunia saat ini.

Ujian terberat kita adalah menjaga kebinekaan dan rasa nasionalisme zaman now. Semangat nasionalisme yang ada harus disesuaikan dengan kondisi zaman dengan tetap berlandaskan kepada dasar negara Pancasila serta bentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Pilpres hanyalah jembatan menuju Indonesia yang semakin berdaulat. Rakyat memiliki hak menentukan arah bangsa ini melalui pemimpinnya yang dipilih. Koreksi rakyat dilakukan setiap lima tahun. Semoga Indonesia semakin maju tanpa harus terbelah dan bertikai antar- sesama anak bangsa.