Hasil riset mutakhir Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), The Bootstrap Index (3/8), menyebut waktu yang dibutuhkan 10 persen penduduk paling miskin di sejumlah negara untuk meraih pendapatan rata-rata di negara masing-masing.

Denmark, Swedia, Australia, dan Jepang hanya perlu waktu 2-4 generasi, Inggris, Italia, dan Amerika Serikat 5 generasi, China dan India 7 generasi, sementara Brasil dan Afrika Selatan 9 generasi. Jangka waktu lama dan kesulitan mobilitas ke atas kaum termiskin itu merupakan pembelajaran mahal dan butuh kajian saksama, terkait sistem politik dan ekonomi setiap negara.

Dari data BPS yang menampilkan disparitas tinggi kemiskinan desa-kota (13,20 berbanding 7,02 persen per Maret 2018), kita dapat menjejak akar persoalan dan upaya yang telah ditempuh untuk mengatasinya. Ada lima sumber utama kemiskinan dan ketimpangan dengan derajat pengaruh bervariasi. Pertama, sebab internal yang mencakup individual-komunal-lingkungan. Ketimpangan akibat kemiskinan struktural berupa menetapnya pola kehidupan subsisten, keterisolasian, dan ketergantungan dari luar masih cukup banyak kendati proporsinya secara nasional semakin berkurang.

Ratusan bahkan ribuan pulau di Provinsi Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Sulawesi Utara dan Tenggara, NTT, NTB, Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, serta beberapa provinsi lain yang angka kemiskinannya tinggi membutuhkan afirmasi kebijakan, agar tak terus dirundung masalah daya beli dan kesulitan mengakses kebutuhan dasar.

Bank Dunia akhir 2017 merilis sekitar 35 persen penduduk Indonesia digolongkan miskin dan rentan jatuh miskin, terutama oleh krisis ekonomi dan lonjakan harga bahan pokok. Disparitas tinggi kemiskinan desa-kota secara umum menunjuk problem struktural dislokasi sumber daya dan perbedaan akses ekonomi. Kaum miskin pedesaan kian besar apabila inflasi tinggi akibat basis produksi dan rantai distribusi lemah, nilai tukar produk pertanian terus tertekan, dan akses ke barang industri sukar dan mahal. Apalagi kekeringan dan kebanjiran (sesekali serangan hama penyakit) cenderung jadi bencana rutin tahunan yang belum bisa diantisipasi.

Konfigurasi 20 persen penduduk tergolong menengah-atas, 45 persen "bersiap masuk kategori kelas menengah", serta 35 persen golongan miskin dan rentan miskin, sepintas menerbitkan optimisme. Namun, problem natural dan struktural sebab-sebab kemiskinan dan ketimpangan belum sepenuhnya dapat perhatian dan penanganan saksama. BPS melansir data kemiskinan per Maret 2018 mencatat prestasi besar sepanjang sejarah, di bawah satu digit (9,82 persen, setara 25,95 juta penduduk). Sebelumnya, Bank Dunia juga merilis peningkatan kelas menengah, mencapai 52 juta orang yang menyumbang 43 persen total konsumsi rumah tangga. Kedua fakta itu patut disyukuri, tetapi tetap perlu dikritisi. Bukan karena batas kemiskinan atau patokan pengeluaran konsumsi di dua kelompok itu, melainkan ketahanan menghadapi guncangan ekonomi dan kelangsungan mempertahankan standar hidup layak.

Penguasa-pengusaha

Kedua, redistribusi modal, aset, infrastruktur, dan organisasi belum menyentuh kebutuhan esensial. Dana transfer ke daerah, kendati terus diperbaiki variabel pengaruhnya, belum mengubah secara fundamental ketergantungan daerah ke pusat dan struktur belanja. Mayoritas daerah—seperti pusat—mengalokasikan anggarannya untuk belanja rutin: gaji pegawai dan aneka derivatnya. Rendahnya kemampuan meningkatkan pendapatan asli daerah lewat pembangkitan kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber daya lokal merupakan potret umum sebagian besar portofolio pemda. Demikian pula, penyebaran pembangunan infrastruktur membutuhkan skema kebijakan pendukung agar terjadi pemerataan akses pemanfaatan yang adil dan tidak berpotensi semakin memperlebar kesenjangan.

Pada tata kelola organisasi, kebutuhan pokok terletak pada kemampuan memastikan semua instrumen bantuan memiliki daya ungkit menciptakan kemandirian. Kita masih jauh dari memenuhi syarat untuk memasuki era Revolusi Industri 4.0 jika basis produksi—khususnya pertanian—belum terhubung dengan permintaan pasar. Di sini, pemberdayaan semestinya bergerak ke jurusan baru: pendampingan tak kenal henti untuk meraih otonomi individu dan kelompok. Jika aneka bantuan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang disalurkan kepada Kelompok Penerima Manfaat (KPM) di suatu daerah tidak berkurang signifikan dalam jangka waktu tertentu, perlu ada evaluasi kritis terhadap tata kelola program tersebut.

Ketiga, upah murah dan ketidakadilan sistem perpajakan. Standar upah pekerja di Indonesia relatif tergolong rendah dibanding kemampuan daya beli. Meski terjadi kenaikan upah berlipat berbanding harga komoditas pangan utama, implikasinya pada kemampuan menabung secara agregat belum tumbuh signifikan. Ditjen Pajak beralasan, rasio pajak (tax ratio) rendah (di bawah 11 persen) lantaran basis pajak (tax based) juga rendah. Syarat jadi pengusaha kena pajak (PKP) omzet minimal Rp 4,8 miliar per tahun. Batasan penghasilan tak kena pajak (PTKP) Rp 54 juta per tahun. Akibatnya, PTKP di Indonesia sekitar 0,4 persen dari produk nasional bruto (PNB) per kapita, sedangkan negara-negara ASEAN rata-rata hanya 0,1 persen. Dengan basis pajak itu, semua pekerja penerima UMR tak kena pajak.

Desain kebijakan UMR seperti ini patut dikritisi karena menyebabkan UMR seolah dibuat terhindar dari batasan minimal PTKP. Namun, sasaran terhadap wajib pajak nonkaryawan, yaitu kaum profesional (PPh 25/29), termasuk UKM dan wirausahawan, juga harus diintensifkan karena strukturnya yang njomplang. Padahal, ada peluang besar, jika rasio pajak mencapai 15 persen, dapat membebaskan pemerintah dari keharusan utang untuk menutup defisit APBN dan biayai pembangunan. Beberapa faktor yang berkontribusi atas rendahnya penghimpunan pajak: tingginya transaksi tunai akibat minimnya upaya membatasi transaksi pembayaran itu, belum terintegrasinya data elektronik instansi obyek pajak dengan otoritas pajak, fleksibililitas dan independensi rendah otoritas pajak untuk mengelola SDM, anggaran dan organisasi.

OECD menyebutkan, Ditjen Pajak hanya punya tiga dari 11 kewenangan pokok agar otoritas pajak bekerja optimal. Struktur kelembagaan Ditjen Pajak yang hanya setingkat eselon satu, tetapi memikul tanggung jawab besar menghimpun bagian terbesar penerimaan negara, jelas tak memadai. RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang tengah digodok DPR dan pemerintah semestinya memastikan kewenangan otoritas pajak jadi lebih kuat. Tingkat kepatuhan rendah sebagaimana terekam dari banyaknya badan usaha yang tak punya NPWP dan fenomena politik "penguasa-pengusaha" di beberapa daerah jadi konsiderans penguatan badan khusus pajak, terutama untuk kepastian peningkatan basis pajak, keberlanjutan redistribusi modal, dan keadilan.

Permufakatan jahat

Keempat, suburnya korupsi dan ekonomi rente. Korupsi kini telah merangsek sejak desain perencanaan anggaran. Keputusan pengadilan dalam vonis para terdakwa KTP elektronik jelas menyebut  "permufakatan jahat" sejak perencanaan.

Gejala ini bukan lagi berupa kasus, melainkan kecenderungan umum dari bukti serangkaian operasi tangkap tangan KPK dengan motif ijon proyek di sejumlah daerah. Ekses under utility akibat wabah korupsi jenis ini sungguh merusak dan berakibat langsung pada ketimpangan dan kemiskinan. Ekonomi rente, terutama penguasaan komoditas tertentu berbasis impor pada sejumlah kecil perusahaan, juga membuat harga yang terbentuk tak wajar. Usulan from view to many player untuk menciptakan persaingan terbuka dan fair telah lama dimunculkan, tetapi tak direspons sebagaimana mestinya.

Kelima, ketidakseimbangan global. Integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global membawa dampak langsung perdagangan dan aliran modal. Defisit transaksi berjalan telah lama diketahui biang keladi pelemahan rupiah dan menggerus daya beli. Struktur produksi nasional belum mengarah ke industri manufaktur berorientasi ekspor dan substitusi impor, lebih banyak mengandalkan ekspor komoditas dan hasil tambang. Masalah struktural ini butuh perbaikan mendasar berupa kebijakan jangka menengah-panjang serta kepemimpinan yang konsisten untuk merealisasikan kebijakan itu.

Resep Hernando de Soto (Mystery of Capital, 2000) dengan solusi kunci sekuritisasi aset golongan miskin dan Amartya Sen (Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, 1981) pada peningkatan kapabilitas dan aksesibilitas, banyak menginspirasi para pembuat kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Resep dua peraih Nobel itu hanya kompatibel jika negara memiliki seperangkat afirmasi dan kebijakan berkelanjutan. Inisiasi program perhutanan sosial berbasis reforma agraria kini sedang bergerak ke jurusan baru kemitraan kehutanan dengan avalis (penjamin) Perhutani atau badan khusus perhimpunan kelompok tani. Pendampingan pola kemitraan mensyaratkan terbentuknya koperasi dengan tata kelola usaha tani profesional, penerapan sistem resi gudang dan sebagainya guna meningkatkan posisi tawar petani produsen terhadap pasar.

Seperti Revolusi Hijau, Revolusi Industri 4.0 berbasis digital juga berpotensi menggusur produsen lemah akses dan teknologi akibat asimetris hubungan produksi dan pasar. Redistribusi aset berupa lahan seharusnya beriringan dan terintegrasi dengan pola usaha tani yang mampu menjawab tantangan perubahan pasar. Alexis de Tocqueville menulis dalam Memoir on Poperism (1835): "Manusia purba setara karena lemah dan bodoh. Manusia beradab menjadi setara karena memiliki sarana meraih kenyamanan dan kebahagiaan." Jika di masyarakat dan negara beradab ada ketimpangan tinggi, kita wajib menafsir dan menata ulang tatanan ekonomi-politik agar itu tak kian menganga.