Di negara tanda, jelas, tanda itu sendiri yang berdaulat. Bahasa adalah alat utamanya sebab, seperti dikatakan Saussure (1991), bahasa adalah tanda yang paling sempurna. Maka, di negara tanda, yang ditemukan, dilihat, diraba, dicium, dan seterusnya adalah bahasa. Tindakan diproyeksikan sebagai bahasa sehingga bahasa itu sendiri kemudian jadi tindakan. Karena demikian situasinya, di negara tanda orang- orang tak pernah berhenti berbahasa sehingga semakin jauh meninggalkan realitas. Sebab, semakin sering bahasa diucapkan, semakin banyak "sang pengganti difungsikan" dan, dengan begitu, kian bertambah realitas yang "digantikan". Ini berarti semakin banyak yang tersembunyi, bersembunyi, dan disembunyikan.

Menjadi artis

Dalam realitas yang tersembunyi itulah negara tanda dibangun. Artinya, ia dibangun oleh bahasa. Para pencipta bahasa adalah mereka yang memiliki negara tanda. Hal itu berarti untuk memiliki negara tanda, orang harus belajar menciptakan bahasa. Menciptakan bahasa tak sama dengan mendirikan gedung kelurahan, yang sementereng apa pun tak akan menjadi sejarah. Keberhasilan menciptakan bahasa akan tampak manakala terjadi sesuatu yang paradoks, yakni ketika bahasa itu sendiri kemudian melahirkan penciptanya. Artinya, menciptakan bahasa adalah menciptakan ibu bagi penciptanya sendiri. Ini seperti bertentangan dengan kelumrahan, tetapi demikianlah faktanya. Sebab, dari bahasa yang diciptakan penciptanya terus-menerus dilahirkan.

Salah satu contoh pencipta bahasa dengan model itu adalah artis atau selebritas. Menjadi artis adalah melangkah ke dunia tanda, masuk ke dalam hiruk-pikuk bahasa. Jika artis mau bertahan hidup, mau tak mau, suka tak suka, ia harus mengubah tubuhnya menjadi bahasa. Dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah bahasa. Dengan begitu, tubuhnya tak pernah berhenti berbicara, bahkan ketika tertidur. Ia terus-menerus menciptakan bahasa sehingga ia terus-menerus dilahirkan darinya.

Karena artis mencipta dan terlahir dari bahasa sedemikian, ia sangat cocok hidup di negara tanda. Di negara tanda, membenci artis dapat berarti pula mencintainya. Sebab, saat ia dibenci sekalipun, ia sedang dibahasakan. Artinya, ia dilahirkan. Lagi dan lagi. Itu mengapa, di negara tanda, artis dapat melenggang ke gedung legislatif, jadi senator, bahkan jadi pejabat eksekutif. Maka, jika ingin jadi senator, rintisan karier yang tepat adalah melalui jalan keartisan. Barangsiapa melakukannya, ia akan dapat dua keuntungan material dalam hidupnya, keuntungan sebagai artis pada awalnya dan menjadi senator pada akhirnya.

Siapa pun boleh mengatakan artis yang jadi senator atau pejabat eksekutif tidak hanya memiliki modal tubuhnya yang telah menjadi bahasa itu, tetapi juga kemampuan lain. Apa itu? Sampai hari ini, faktanya tak pernah ada. Bahkan, untuk mengubah tatanan keartisan itu sendiri, nol. Di negara tanda, tentu saja itu bukan perkara. Alih-alih diperkarakan, ruang untuk bertumbuhnya malah kian meluas. Sebagai tanda bahasa, artis bukan tereliminasi, melainkan justru menghela yang lain ke dalamnya. Lihatlah, sebagian politisi dan pejabat justru berupaya keras untuk menjadi "seperti artis".

Mereka berlomba-lomba menciptakan bahasa supaya mereka terus-menerus dilahirkan, minimal dalam satu dasawarsa. Maka, tak aneh jika kemudian sepatu sneakers sekonyong-konyong laku keras sebab tidak hanya digunakan untuk dolanan atau show artis di panggung, tetapi juga untuk pertunjukan politisi di gedung agung. T-Shirt, celana jins, peci, dan lain-lain kini berpindah ke dalam bahasa baru, meninggalkan bahasa awal.

Realitas bahasa

Jika begitu, apakah di negara tanda tidak ada pembangunan di luar bahasa? Bagaimana dengan dunia pendidikan yang berproses terus, infrastruktur yang digenjot, tol laut, dan lain-lain? Tentu semua itu menunjukkan bahwa pembangunan yang demikian dilaksanakan. Namun, pada ujungnya semua akan bermuara jadi bahasa, menjadi tanda. Dengan kata lain, realitas pembangunan pada akhirnya menjadi realitas bahasa. Sebagai realitas bahasa, pembangunan tidak lagi simetris dengan realitas riil yang terjadi. Pembangunan jalan tol yang belum selesai, misalnya, dalam realitas bahasa dinyatakan telah bisa digunakan, perubahan kurikulum sekolah menengah yang ruwet, dalam realitas bahasa dapat digambarkan sebagai kemajuan signifikan dalam dunia pendidikan, dan seterusnya. Namun, itu memang realitas bahasa.

Dalam realitas bahasa, jembatan, misalnya, tak pernah hadir sebagai jembatan, melainkan sebagai kata "jembatan". Sebagai jembatan, kita hanya bisa membangun sekali dalam setahun, tetapi sebagai kata "jembatan", kita bisa menciptakannya berkali-kali dalam sesaat. Ketimpangan antara realitas bahasa dan realitas riil demikian pada saat tertentu sering dipermasalahkan atau diperdebatkan. Namun, justru karena itu pembangunan sedang dilahirkan kembali. Sebab, perdebatan selalu meniscayakan perbedaan pendapat, pro dan kontra, melahirkan banyak bahasa. Otomatis kita kembali ke hiruk-pikuk bahasa. Di negara tanda, banyak pembangunan fisik yang sasarannya memang hanya untuk menciptakan bahasa; kongruen dengan seorang pejabat yang memakai T-Shirt pada acara resmi kenegaraan. Ia datang ke tempat itu untuk menciptakan bahasa, bukan untuk "kehadiran" di acaranya.

Negara dusta

Jika realitas telah dipindahkan ke dalam bahasa atau tanda sedemikian, mungkinkah negara tanda memiliki masa depan? Tanda diciptakan agar orang berada dalam ketegangan, agar kita selalu ingin tahu ada apa di balik tanda? Kita begitu penasaran, misalnya, kepada calon wakil presiden di kantong Jokowi. Kita tahu pada saatnya Jokowi akan mengumumkan calon itu, tetapi tak sekarang. Tunggu sampai cuaca cerah secerah matahari terbit dari timur, demikian kata Megawati. Dengan hal itu, berarti Jokowi dan Megawati menunda masa depan kita (tentang sesuatu yang ingin diketahui terkait cawapres tadi) di dalam harapan. Dengan kata lain, terdapat pengetahuan kita yang tertunda pada "politik kantong" Jokowi. Beranalogi ke sini, masa depan di negara tanda adalah ketegangan dan harapan. Kita akan bergerak ke masa depan dalam situasi ini terus-menerus: ketegangan dalam harapan jika tidak mau disebut dalam ketidakpastian.

Itulah negara tanda, yakni negara yang dibangun dalam bahasa. Di dalam negara tanda, sekali lagi, yang riil adalah tanda itu sendiri. Jika tanda merupakan sesuatu yang mewakili sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, jelas tanda bukan entitas yang asli. Sesuatu yang bukan asli niscaya palsu. Negara tanda, dengan demikian, adalah negara palsu. Paling tidak, di dalam negara tanda, yang dominan adalah kepalsuan, kepurapuraan. Oleh sebab itu—kembali mengutip Eco (1979)—semiotika sebagai ilmu menafsir tanda dapat disebut sebagai ilmu tentang dusta. Hal ini berarti bahwa negara tanda identik dengan negara dusta!