FOTO-FOTO: KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Komunitas kartunis yang bergabung dalam Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) Bali menyelenggarakan pameran kartun nasional NKRI Harga Mati di Plaza Renon, Denpasar, Bali, mulai Minggu (20/8) hingga Selasa (22/8/2017). Kartun yang ditampilkan memvisualkan kepedulian dan kegelisahan kartunis Indonesia menyikapi persoalan di dalam negeri. 

Sejarah mencatat bahwa sejumlah perjuangan melawan penjajahan Belanda yang bersifat kedaerahan, yang terjadi dalam tenggang waktu 350 tahun masa penjajahan, tidak berhasil alias gagal. Namun, hanya dalam waktu 17 tahun, yaitu setelah segenap elite bangsa ini bersatu dalam tekad, semangat, dan tujuan perjuangan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober tahun 1928, bangsa ini bisa merdeka, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam perjalanannya, pasca-pengakuan kedaulatan, ternyata sebagian elite negeri ini kembali mengabaikan pentingnya persatuan dan kesatuan di antara mereka. Dan, apalagi setelah kepentingan bangsa dan negara tidak lagi ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan, bangsa ini kemudian terlibat dalam pergolakan bersenjata, konflik sosial, dan bahkan prahara kemanusiaan.

Yang pasti sejarah kelam tentang peradaban bangsa pernah kita lalui, dan bahkan dendam sosial yang timbul akibat pergolakan bersenjata DI/TII, PRRI, Permesta, G30S/PKI, GAM, dan OPM sempat menganga. Di negeri ini juga pernah terjadi kasus penembak misterius/petrus (1982-1983), penculikan aktivis dan disusul kerusuhan sosial menjelang Reformasi 1998, dan masih banyak lagi tragedi kemanusiaan lain, di mana sesama anak bangsa saling bunuh dan menistakan kemanusiaan dengan korban yang begitu besar.

Hal buruk pada level elite juga terjadi dalam tata kelola kekuasaan. Di era Orde Baru sesungguhnya juga sudah terjadi praktik kartel dan oligarki kekuasaan, tetapi dilakukan justru oleh rezim berkuasa. Dari sanalah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dilakukan secara masif, tetapi terkendali oleh penguasa.

Sementara di era Reformasi, kartel dan oligarki kekuasaan dilakukan oleh kolaborasi antara pemilik kapital dan "pemilik" partai. Praktik politik uang juga bukan lagi menjadi rahasia umum. Untuk menjadi kepala daerah diperlukan puluhan dan bahkan ratusan miliar rupiah sehingga wajar saja setelah berkuasa harus mengembalikan modal yang digunakannya. Hal serupa terjadi untuk meraih posisi sebagai anggota DPR/DPRD dan juga DPD.

Praktik korupsi dan mafia terjadi di semua lini pemerintahan, tak terkecuali dalam pemberian lisensi pengelolaan sumber daya alam dan jual beli jabatan. Masih banyak lagi belenggu realitas yang harus dihadapi bangsa ini.

Sistem, sumber masalah

Belakangan ini kita juga menyaksikan penyakit lama elite bangsa kambuh dengan suburnya. Atas nama demokrasi dan kebebasan sebagian elite bangsa ini kembali mengabaikan makna persatuan dan kesatuan di antara mereka dan kepentingan nasional tidak lagi ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Partai tidak lagi diposisikan sebagai wadah perjuangan orang-orang yang "seideologi" yang punya kesamaan cita-cita, tapi lebih dijadikan kendaraan untuk meraih kekuasaan.

Akhirnya, konflik kepengurusan terjadi pada hampir semua partai dan kita juga melihat kader partai pun loncat dari satu partai ke partai lainnya, tak peduli berbeda platform dan cita-cita sekalipun. Bahkan, sejumlah elite justru menempatkan partai layaknya perusahaan keluarga untuk membesarkan karier politik anak, kerabat, dan kroninya.

Lebih dari itu, sebagian elite bangsa kembali lupa bahwa di masa lalu agama sempat menjadi sumber malapetaka kemanusiaan karena dimanipulasi untuk kepentingan pribadi dan golongannya yang diatasnamakan perintah Tuhan Yang Esa. Bangsa ini juga sempat masuk dalam politik gaduh yang nyaris meretakkan kebinekaan kita dengan isu yang tidak ada kaitannya dengan kinerja pemerintah dan apalagi kepentingan rakyat sekalipun. Dan, sekadar penentuan pasangan capres/cawapres, kita semua dibikin letih seolah negeri ini milik sekelompok elite pemilik partai dan rakyat diposisikan sebagai penonton belaka.

Memang betul di negeri ini telah tergelar semua lembaga demokrasi, tapi betulkah sistem demokrasi kita telah didasarkan pada amanat sila keempat Pancasila, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"? Bukankah hikmat kebijaksanaan baru akan lahir manakala sistem yang ada dibangun berdasarkan pada akal sehat dan berbasis pada tata nilai?

Dan, kita semua juga tahu bahwa tata nilai itu sendiri baru akan muncul manakala rancang bangun sistem sepenuhnya didasarkan pada budaya bangsa.

Maka, pertanyaan yang harus dijawab kita semua, kapan dan di mana bapak pendiri bangsa (founding fathers) atau generasi penerusnya pernah merumuskan nilai-nilai operasional yang tertuang dalam batang tubuh UUD sebagai penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila dan benar-benar mendasarkan pada budaya bangsa?

Bukankah karena ketergesa-gesaan untuk menyatakan kemerdekaan, founding fathers belum sempat membahasnya. Kita juga menyaksikan bahwa dalam empat kali amendemen UUD 1945, Amien Rais dkk memilih langsung menukik ke perubahan pasal-pasal. Artinya, UUD hasil empat kali amendemen juga sama sekali bukan penjabaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam pasal-pasal batang tubuh UUD, dan apalagi membahas budaya sebagai basis dalam menyusun batang tubuh UUD itu sendiri.

Di sanalah pentingnya bangsa ini memprioritaskan untuk melakukan amendemen UUD kembali agar kesemrawutan sistem segera diakhiri. Dengan demikian , ke depan dalam praktik demokrasi kita tidak hanya mendasarkan pada sah atau tidak sahnya aturan main secara yuridis formal, tetapi juga mendasarkan pada etika moral.

Redesain manajemen negara

Di hari ulang tahun yang ke-73 NKRI, bulan ini, sepatutnya elite negeri ini mengambil hikmah dari perjalanan sejarah bangsanya untuk segera kembali bersatu dalam tekad serta semangat kebinekaan dalam bingkai NKRI, kembali menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Oleh karena itu, menjadi mendasar kalau dalam pemilu mendatang kedua pasangan capres/cawapres bisa menjadikannya amendemen UUD sebagai materi kontrak sosial dalam Pilpres 2019 mendatang.

Dengan demikian, pasca-Pemilu 2019 kita bisa segera menata ulang sistem kenegaraan yang secara utuh sebagai penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila dan sepenuhnya didasarkan pada tata nilai serta budaya bangsa, tak terkecuali untuk mengatur peran agama dalam tata kelola kekuasaan negara sehingga bangsa ini ke depan akan mampu memisah dan memilah antara penampilan agama sebagai simbol (action religious) dan agama sebagai perilaku (being religious).

Dengan demikian, bangsa ini akan segera tampil sebagai mercusuar dunia karena tak hanya mampu mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana dicanangkan dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi bisa kembali menjadi motor penggerak dalam mewujudkan tata dunia baru sebagaimana amanat Dasasila Bandung yang telah dicanangkan dalam Konferensi Asia-Afrika 1955.